8 || Luka Dari Arsya

62 50 10
                                    

Happy Reading<3

Tak hanya letih, Arsya juga kacau. Semalam suntuk tak membiarkan matanya terpejam, Arsya memilih berjalan pulang paginya dalam keadaan tak karuan. Memutuskan kembali ke apartemen, Arsya ingin sejenak mengistirahatkan raga dan benak. Hendak satu tangannya terulur membuka pintu, namun sekat papan dengan gagang di depannya bersamaan terbuka dari dalam. Muak dengan apa yang tertangkap netra, Arsya membisu seiring kakinya berpijak masuk.

"Dari mana?"

Pertanyaan Zidan tak digubris oleh pemuda kaku. Pria berewok mengenakan setelan jas rapi mulai berbalik. "Dari mana?!"

"ARSYA!"

Berang keras diterima oleh indra pendengaran Arsya, raga yang kini berhenti tak kunjung memutar menghadap lawan bicara. Seluruh atensi Arsya hanya berpusat pada ruang di hadapan, netranya memancar tajam menusuk, napasnya terhela kuat sebelum celah bibir terbuka untuk memberi sebuah jawaban.

"Rumah sakit."

Tatap marah Zidan pada awalnya beralih luluh. "Kamu sakit?"

"Aisy," jawab Arsya, hirau pada kehadiran Sang Papa. Bahkan untuk saling bersemuka pun, Arsya begitu tak menginginkan.

"Udah—"

"Arsya enggak punya waktu untuk berdebat, Pa. Arsya capek," ujar Arsya, menyela ungkap yang hendak Zidan ucap.

Arsya begitu tahu perihal watak Sang Papa yang tak pernah dapat untuk dibantah, perdebatan amarah nantinya tak hanya membuat luka baru pada Arsya, melainkan segala sakit akan Arsya telan sendirian bersama rasa kecewa.

Langkah yang hendak Arsya gerakkan terpaksa terjeda setelah Zidan berkata, "gara-gara dia, kamu jadi anak pembangkang! Apa susahnya jadi anak yang nurut sama orang tua?"

"Aisy butuh Arsya, Pa."

"Cewek itu hanya bisa buat masalah! Jauhin dia, atau Papa bawa kamu pulang ke Indonesia!"

"Pa!" Kali ini Arsya berbalik. Kedua netra tajamnya bertemu dengan manik milik Zidan.

"Aisy sakit, Pa! Arsya enggak bisa ninggalin dia yang lagi sekarat sendirian, Aisy—"

"Kamu egois! Enggak pernah ngertiin Papa!"

Sontak kesetiap jemari tangan mengepal kuat-kuat, gemuruh marah pada dada semakin bergejolak membakar perasaan yang sedari tadi Arsya tahan agar tak segera menyembur murka.
Di balik bibir terkatup rapat tanpa celah terbuka, gemertak tiap susunan gigi menjadi bukti akan emosi yang tak mampu untuk Arsya tahan lagi. Seluruh pergerakan kecil tentu Zidan temu, tarikan seringai simpul tercipta seakan pria berewok menyukai adegan yang baru saja sengaja ada. Arsya hanya diam, menunggu apa yang hendak Sang Papa utarakan selanjutnya.

"Apa kamu enggak pernah mikir? Apa gunannya otak kamu kalau enggak buat mikir?"

Diam, Arsya hanya bergeming. Marahnya kali ini hanya sebatas mematung membisu, tidak lagi memiliki energi untuk melakukan pertengkaran dengan Zidan. Arsya sudah muak, berkata pun percuma mengingat segala utara nantinya hanya menjadi angin lalu tak kasat mata. Mencoba merasakan amarah dan keputusasaan membuncah dalam dada, tanpa berkata apa-apa, raga bongsor digerakkan menuju kamar. Aksi Sang anak diterima oleh Zidan, pintu yang ditarik oleh Arsya secara sengaja dibanting kuat.

Brakkk!!!

"ARSYA!"

Tidak selamanya orang tua menjadi rumah paling nyaman. Tanpa disadari, mereka pembuat luka paling parah.

🎡 🎡 🎡

" ... Arya bener-bener mirip sama lo, mangkannya Aisy selalu ganggu lo waktu pertama kali dia tau. Aisy mau buktiin ke gue, kalau lo reinkarnasi Arya."

[#2] HIRAETH : Turn Back TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang