5 || Flashdisk Merah

100 72 11
                                    

Happy Reading<3

Mengusap salah satu lengan kemaja yang dikenakan sebelum tubuh bongsor merunduk masuk mobil hitam dengan mesin telah menyala, tas ransel tersampir pada kedua pundak dilepasnya, satu tangan menarik kencang pintu kendaraan hingga dentum memekakkan telinga. Abai dengan Sang Papa, Arsya bergeming tanpa memedulikan sekitar seiring meremat ponsel pada satu genggamnya—hirau dengan seatbelt. Pria berewok yang terfokus pada setir mobil cukup memiliki naluri baik pada reaksi Sang putra.

"What are you doing?" tanya Zidan, satu tangannya terulur berusaha memutar radio dengan menepatkan musik yang sesuai.

Arsya menoleh pada jendela, tak ingin menjawab bahkan beragumen panjang. Netra penuh pancar bertemu pemilik rambut berponi berjalan bersama seorang gadis dengan ikatan kucir kuda setelah mobil yang membawa raganya melaju keluar dari gerbang kampus. Aisy bersama temannya, ingatan Arsya teralih pada kejadian siang tadi, ketika Zidan meminta gadis menyebalkan itu untuk jauh darinya. Entah Zidan lupa atau sengaja berkata demikian lantaran Arsya berada di sana meski tersekat ruang kaca riben.

"Jauhin cewek itu."

Lagi, indera pendengaran Arsya menangkap suara Zidan. Dirasa pria berewok menjadikan Arsya pusat, laki-laki berwajah datar memutuskan menimpal. "Kenapa?"

"Papa enggak suka kamu dekat-dekat sama dia." Zidan menghela. Alasan yang diungkap cukup klasik, tidak memungkinkan bagi Arsya untuk menerima permintaan Zidan begitu saja, apalagi cowok kaku itu selalu mengandalkan logika ketika berpikir.

"Arsya butuh alasan," kata Arsya.

Tak dipertemukan dengan Aisy saat itu, tidak menjadi mungkin kisah ini akan ada. Meski tetap tertulis, enggan untuk dinanti atau dijajaki. Setelah hal-hal yang terjadi secara tidak sengaja, Arsya ingin melibatkan Aisy sebagai siklus datang dan pergi. Tidak masalah jika Arsya menjadi payung bagi Aisy, Arsya akan tetap berteduh pada Zura.

"Papa enggak punya cukup alasan, cewek itu enggak baik."

Berdecih, Arsya tersenyum remeh—masih tetap berada pada posisi yang sama. Selanjutnya tidak ada lagi kalimat dan argumen menerobos masuk menuju gendang telinga. Memasuki area parkir apartemen, laju mobil makin perlahan hingga getar mesin tidak lagi nyala.

Tanpa mengatakan sepatah kata, bergegas turun dari kendaraan beroda empat. Arsya meraih tas menggunakan satu tangan cukup kasar. Kaki jenjang membawa pergi menjauh, melewati deret mobil mewah hingga langkah dengan alas berakhir di samping area hijau apartemen.

Meremat ponsel, tangan dengan lipatan kemeja terangkat. Benda pipih yang menyala diletak di samping telinga, dengung panjang berulang Arsya dapat. Namun, tidak segera terdengar suara dari seberang sana. Kembali melakukan hal yang sama, kali ke-empat embus napas lega menjadi sebuah jawab akan seluruh gelisah yang Arsya punya.

"Zura," kata Arsya, memanggil nama seseorang yang sedari tadi mengganggu benak. "Kali ini lo bisa jelasin, kenapa lo beberapa hari menghilang?"

Dari arah sana, tergigit bibir bawah cukup kuat. Gadis dengan rambut cokelat tengah berusaha agar tidak menumpahkan tangis. Napas Zura tak lagi tenang, entah mengapa menjadi emosional kala mendengar Arsya menyebut namanya.

"Gue capek, mangkannya gue lupa buat cek ponsel," jawab Zura.

Mengernyit, Arsya tertegun. Apa Arsya tidak salah dengar? Alasan tidak masuk akal apa lagi yang Arsya terima? Pemuda kaku menghela, suara napas berat sengaja ditarik dari celah bibir, terdengar oleh Zura dari seberang sana.

"Lo bisa nyempetin komunikasi sama gue. Enggak ada alasan siang sibuk, malam ngantuk, apalagi setiap hari capek," ucap Arsya, setelahnya Zura diam.

Mendadak Arsya teringat telepon dari Zura melalui nomor milik Axie kala pagi. Berusaha menghalau perasaan tak mengenakkan yang tanpa sadar seperti menetap di dalam kepala Arsya—seolah sepasang mata mengintai dari lawan arah.

[#2] HIRAETH : Turn Back TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang