4 || Sengaja Mengabaikan

82 74 6
                                    

Happy Reading<3

Kedua kaki terbungkus kain hitam sontak terkesiap melangkah semakin panjang mendekat ke arah bus yang terhendi di hadapan. Menit-menit yang datang, terasa begitu lambat ketika tubuh bongsor Arsya digerakkan menjangkau pijakan bus, justru hendak terjerembap ke depan lantaran gadis berambut panjang dari arah belakang menyodok bahu tegapnya cukup kasar, spontan satu tangan gadis dengan poni berjurai rata menahan kuat-kuat kemeja putih, tak meningingkan Sang empu terjatuh.

Arsya mendongak. "Lo?!" ucapnya, dahi semakin berkerut. Menegakkan tubuh, raga milik pemuda tanpa ekspresi itu menjuntai tinggi di hadapan Aisy.

Terbelalak, Aisy menciptakan senyum kuda menggemaskan. Tak lama bibirnya terbuka, suara cempreng dipadukan intonasi tinggi memekik telinga.

"Ya ampun, Arsya! Memang beneran ya, kalau cewek sama cowok sering ketemu itu bakalan jadi jodoh di masa depan."

Tidak pernah terpikir pada awalnya, pagi milik Arsya semakin pucat tak bewarna lantaran adanya kehadiran Aisy yang tak pernah diinginkan. Ingin sekali melempar Aisy keluar bus, meminta sopir meninggalkan Aisy agar celoteh menusuk indera tidak lagi Arsya dengar. Bergegas, pemilik tubuh bongsor sengaja menyodok pundak gadis berponi tanpa memedulikan kalimat aduhan Aisy.

"Ih-ih! Main dorong-dorong aja lo!"

Hirau, Arsya tak membalas. Telah banyak sorot mata tak kunjung teralih dari dalam bus semenjak datangnya, juga perbedaan bahasa yang terlontar tentu tidak mudah ditelan baik-baik justru mencipta tatap kebingungan dari sopir bus. Arsya mematung di tempat lantaran payment card miliknya tak cukup limit setelah mesin pembayaran menampilkan notifikasi kegagalan.

Melirik Aisy, kembali Arsya melakukan hal yang serupa. Kartu pada genggamnya diarahkan pada mesin pembayaran. Tidak menginginkan image keren yang telah dibangun berangsur tidak memiliki nilai di mata Aisy, meski dari balik punggung tegap itu gadis berponi berusaha untuk mencari tahu mengapa pemuda kaku tidak segera duduk.

"Sorry, your digital payment card doesn't have sufficient balance," kata Sang sopir bus, berusaha mengalihkan Arsya dari aksinya yang tidak kunjung usai.

Tawa Aisy meledak. Sial! Terdengar menyebalkan bagi Arsya.

"Hidup lo keras banget, apa perlu gue presto biar bisa jadi lembek kaya kepala ubur-ubur?" ledek Aisy, seiring mengarahkan payment card pada mesin pembayaran. Berdecak tidak suka, kedua kaki yang hendak melangkah turun spontan berhenti lantaran lengan Arsya yang bebas ditarik oleh gadis berponi.

"Lo mau ke mana—"

Pertanyaan hendak terlontar justru ditukas oleh Arsya lebih cepat. "Naik becak!"

"Lo mau cari becak di mana? Jangan samain Luar Negeri sama Indonesia, lo nunggu dari pagi ke siang, siang ke malam, bahkan sampai ujung kota ke istana Raja lo enggak akan bisa dapetin becak—"

"Berisik!"

Kedua mata Aisy lantas melotot. Pergerakan Arsya secara tiba-tiba tak lagi dapat dijangkau oleh Aisy, lengan yang bebas dikunci rapat di depan raga seolah Sang empu tidak lagi mengizinkan Aisy menyentuh meski hanya sejengkal ibu jari. Pemuda pemilik watak kaku sama sekali tidak menggubris, kaki jenjang dengan alas terikat rapi mulai memijak tepi perlintasan bergerak maju. Bergegas, pemilik rambut berponi menyembul dari balik pintu bus, dalam pandang tubuh bongsor tidak begitu jauh, segera Aisy berteriak.

"ARSYAAA! GUE UDAH BAYAR BUAT DUA ORANG!!!"

Langkah Arsya berhenti, akan tetapi kepala tidak kunjung menoleh. Di luar ekspektasi Aisy, Arsya kembali melangkah dengan luwes. Berpikir mengenai pergi menuju kampus tanpa menggunakan transportasi tidak begitu buruk, lagi pula Arsya berusaha berperilaku acuh untuk menampik harga diri yang telah jatuh di hadapan Aisy. Ya, katakana saja jika Arsya gengsi.

[#2] HIRAETH : Turn Back TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang