// pic illustration from pinterest ᰔᩚ
writer's note:
hi! here i am again bringing you guys new stories, yes, it's in plural because this time i wrote two stories with the same basic storyline but written in different point of view :)there are two parts, this one is from the man's pov, as you can see on the title. and the next part (which i'll upload it separately for a good purpose) will be from the woman's pov <3
both of parts are written in indonesian (just ask if you want me to write it in english, i'll try to do it)
and... this story is inspired by one song from a band named 'Lord Huron'.
enjoy the story, for better experience you can read it while listening to the song :)
I Lied - Lord Huron ft. Allison Ponthier
-
Dia yang terduduk dengan menekuk kedua lutut di pinggir danau yang penuh hamparan bunga teratai mekar. Tangan mungil dengan jemari lentik itu digenggam erat olehnya secarik kertas yang tertulis sesuatu di atasnya. Namun, yang sukar kumengerti adalah garis lengkung menarik kedua bagian pipi dan mengerutkan kedua ujung mata indah itu terukir jelas di wajah yang dulu selalu diriku idamkan–sebuah senyuman dengan arti tersembunyi atau memang akulah yang tidak memahami.Ujung serta bagian belakang gaun putih tulang berbahan kain katun yang ia pakai basah dan ternoda oleh embun pagi yang menyebabkan tanah berumput hijau yang didudukinya menjadi lembab. Dia menggerakkan kepala perlahan dari kiri ke kanan menandakan bahwa ia untuk kesekian kalinya sedang membaca kata-kata yang tertulis di atas kertas yang ada pada genggamannya. Memastikan setiap kalimat terbaca dengan jelas dan benar, tidak tertinggal satu patah kata pun yang akan dapat mengubah makna dari keseluruhan pesan yang ingin disampaikan dalam tulisan pada secarik kertas itu.
Angin berhembus merusak rambut hitam kecoklatan bergelombang sepinggang yang sebelumnya tertata rapi. Dari tempatku berdiri, aku dapat melihat wajahnya walaupun hanya nampak sisi samping. Teringat diriku yang dulu kerap mengusap memberi belaian lembut di sepanjang garis rahang miliknya itu dengan ibu jariku.
Disana terduduk seorang diri yang hanya ditemani oleh serangga kecil penunggu danau. Udara pagi yang sejuk namun tetap mengirim rasa dingin pada beberapa bagian tubuhnya yang terbuka tidak tertutup sehelai kain itu tidak membuat dirinya bergidik menggigil. Nampak tenang raut mukanya yang penuh keseriusan membaca berulang-ulang secarik kertas yang mulai terlihat banyak kerutan karena terlalu lama ia genggam. Dan senyum itu, masih menjadi misteri bagiku.
Entah sadarkah ia akan keberadaanku yang berdiri bersembunyi di belakang semak belukar beberapa kaki dari tempat ia menduduki diri. Aku yang sedari tadi memandanginya dari kejauhan hanya untuk memastikan secarik kertas itu dibaca olehnya, karena itu tidak lain adalah sebuah surat yang kutulis khusus untuknya. Sebuah pengakuan dan keputusan akhir yang ditulis sedemikian rupa olehku agar ia mengerti. Tetapi, dari semua hal yang kubayangkan akan terjadi sebagai reaksi darinya setelah membaca suratku, senyum itu bukanlah salah satunya.
Masih berada diposisi yang sama, terpisahkan oleh jarak antara aku di balik dedaunan dan dia di tepian danau, kulihat dengan jelas dua bulir kristal bening jatuh dari ujung matanya ke rerumputan hijau di bawah. Pikirku itu adalah air mata tangisan, tapi juga ragu karena tidak mungkin jika ia menangis ketika senyuman itu masih terpampang jelas seakan menandakan bahwa tidak ada rasa sakit sedikit pun merasukinya.
YOU ARE READING
Oneirataxia
Short Story𝐎𝐧𝐞𝐢𝐫𝐚𝐭𝐚𝐱𝐢𝐚 (𝒏.) 𝒕𝒉𝒆 𝒊𝒏𝒂𝒃𝒊𝒍𝒊𝒕𝒚 𝒕𝒐 𝒅𝒊𝒔𝒕𝒊𝒏𝒈𝒖𝒊𝒔𝒉 𝒃𝒆𝒕𝒘𝒆𝒆𝒏 𝒇𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔𝒚 𝒂𝒏𝒅 𝒓𝒆𝒂𝒍𝒊𝒕𝒚 ----------------------- This book is an anthology of short stories, monologues, poems, and poetries I have written...