[tw!] implied/referenced loneliness and accident, major character death // pic illustration from pinterest ᰔᩚ
writer's note:
hi! i'm back with a new short story ready to read :)so in this chapter is a bit different from the previous ones which because i wrote it in indonesian (idk if there will be english version, i might try to write it but i need to gather my mood again :3)
this story is inspired by my favorite indonesian song of all the time <3
anyways, it is a sad song, as always.
Semua Tentang Kita - Peterpan
-
Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang kita
Akan tiada lagi kini tawamu
'Tuk hapuskan semua sepi di hatiAku kira itu akan terasa mudah untukku melupakan segalanya tentang kita–aku dan dia yang dulu memiliki banyak sekali kisah–pada kenyataannya, memang begitu sulit bagiku. Semua hal yang kulakukan mengingatkanku padanya.
Kerutan di kedua ujung matanya yang kerap muncul saat dia tersenyum; kebiasaan memijat jari jemari ketika rasa gugup menyelimuti dirinya; aroma khas seperti daun mint yang bercampur dengan kopi hitam kesukaannya yang terasa begitu memabukkan setiap kali aku menenggelamkan wajahku di dada bidangnya saat kami berpelukan. Namun, semua itu sudah berubah menjadi kenangan belaka yang terputar seperti kaset film di dalam kepalaku karena sekarang aku tidak lagi bisa merasakannya secara langsung, tidak setelah kepergian dirinya secara tiba-tiba.
Ia meninggalkanku sendiri tanpa sebab dan kabar yang pasti juga memaksaku melanjutkan hidup dengan rasa kesepian yang menghantui. Bahkan, saat ini aku duduk termenung di tepi ranjang seorang diri terlarut dalam kesunyian malam yang kudengar hanyalah gelak tawanya seakan memenuhi ruangan yang dulu kami tempati bersama.
Sebuah ironi berbalut karma mungkin inilah yang sedang aku alami. Kepada siapa aku harus memaki?
Tangisku sudah pecah mengalir deras sesaat setelah dirinya tidak kembali. Ini memang salahku karena akulah yang memintanya pergi, akulah yang menyulut api namun tak mengerti bagaimana cara memadami. Haruskah aku menyalahkan semesta atas apa yang terjadi?
Ada cerita tentang aku dan dia
Dan kita bersama saat dulu kala
Ada cerita tentang masa yang indah
Saat kita berduka saat kita tertawaDi atas nakas tepat di sebelah kiri ranjang yang kududuki terlihat dengan begitu jelas selembar foto yang tersimpan rapi di dalam sebuah pigura dengan kerangka bingkai berwarna emas dihiasi oleh aksen ukiran yang elegan berdiri tegak disinari cahaya kuning sedikit redup dari lampu tidur.
Dengan lunglai diriku meraih pigura foto itu lalu menatap wajah-wajah yang terpampang jelas di dalamnya.
"Kalau kamu hanya dapat satu kesempatan sekali seumur hidup untuk melakukan satu hal, kira-kira apa yang mau kamu lakukan?" tanyaku antusias sembari menempatkan diriku untuk duduk di pangkuannya. Punggungku bersandar langsung ke dada bidangnya yang tidak tertutup sehelai kain.
"Menikah denganmu," jawabnya singkat.
Ia meletakkan kepalanya di bahu sebelah kananku. Aku dapat merasakan hembusan napasnya yang begitu hangat. Dengan lembut, dia mengecup rahangku lalu perlahan kecupan itu turun menuju leherku.
"Kenapa aku?" Nada bicaraku terdengar polos dan sedikit ragu.
Hening sejenak sebelum akhirnya terdengar kekehan kecil keluar dari bibir tipisnya yang masih sibuk memberi kecupan lembut dan basah di sekitar leherku. Aku bergidik saat ia mengigit kecil meninggalkan tanda merah keunguan. Dua lengan kekar yang memeluk pinggangku dari belakang terasa semakin erat.
Aku menolehkan wajahku berusaha menatap wajahnya secara langsung, "Jawab aku."
Matanya yang sayu dengan warna iris biru laut yang dihiasi oleh bulu mata yang begitu lentik menatapku balik. Senyum manisnya membuatku tidak tahan untuk memberi satu kecupan namun dibalas olehnya dengan sebuah ciuman lembut. Kemudian aku memejamkan kedua mataku menikmati.
Aku mengusap perlahan kaca pelindung pigura lalu tersenyum pahit masih memandangi foto di dalamnya.
Foto yang diambil saat upacara pernikahan kami. Aku memakai gaun putih tanpa lengan dengan bagian punggung yang terekspos, sementara pada sisi depan gaun dihiasi begitu indah oleh mutiara yang memancarkan kilauan ketika terkena sinar matahari. Tudung putih menghiasi kepalaku yang ditempelkan pada rambut hitam legam ku. Di tanganku terdapat bouquet bunga tulip putih yang kugenggam begitu erat. Dan tepat di sebelah kiri tempat aku berdiri, suamiku merangkul diriku dengan hangat. Ia memakai setelan jas hitam dengan kemeja putih di dalam serta dasi kupu-kupu berwarna senada dengan jas bertengger di kerah kemeja yang dia kenakan. Setangkai bunga tulip putih juga mengisi saku jasnya sebagai hiasan. Rambut coklatnya tertata begitu rapi tidak seperti biasanya. Kami berdua tersenyum lebar penuh kebahagiaan menatap lensa kamera sambil berpose menunjukkan jari manis kami yang masing-masing terdapat cincin kawin berwarna emas.
Tanpa terasa air mataku mengalir membasahi pipiku. Kuusap dengan gusar menggunakan tangan kananku lalu kembali memandangi foto dalam pigura.
"Kamu janji kalau kita ada masalah harus dihadapi bersama, ya?" tanyaku memastikan.
Aku mengangkat jari kelingkingku menunggu dia mengaitkannya dengan jari kelingking miliknya. "Iya, kamu juga harus janji," jawabnya dengan anggukan kecil. Kedua jari kelingking kami pun tertaut.
Aku menghela nafas panjang. Memeluk erat pigura foto sambil memejamkan mata.
Ombak berukuran sedang saling berkejaran sama seperti segerombolan burung camar yang terbang bebas beberapa kaki di atasnya. Hamparan pasir putih menyelimuti kaki telanjang kami. Terasa hangat karena matahari memancarkan sinarnya dengan begitu terik.
Aku memandanginya dari samping, meneliti wajahnya yang begitu sempurna tengah memandang lurus ke lautan lepas.
"Sampai maut memisahkan kita," gumamku pelan hampir seperti bisikan.
"Sampai maut memisahkan kita."
Teringat di saat kita tertawa bersama
Ceritakan semua tentang kitaSuara pintu diketuk terdengar begitu jelas. Aku bergegas bangkit dari ranjang berjalan cepat menuju pintu depan. Berharap yang mengetuk adalah dirinya. Berharap dia kembali.
Perlahan, aku membuka kunci diikuti putaran pada knop pintu. Pintu depan pun terbuka dengan suara decitan kecil.
"Hanya ini yang dapat kami selamatkan," suara lemah namun tegas terdengar jelas di kedua telingaku.
Kulihat sebuah cincin emas yang menghitam dan selembar foto seperti di pigura sudah setengah terbakar terletak bersamaan di atas telapak tangan menengadah seolah memintaku untuk mengambil kedua barang tersebut.
Dia memang kembali, namun tidak kembali ke pelukanku.
-end.
YOU ARE READING
Oneirataxia
Conto𝐎𝐧𝐞𝐢𝐫𝐚𝐭𝐚𝐱𝐢𝐚 (𝒏.) 𝒕𝒉𝒆 𝒊𝒏𝒂𝒃𝒊𝒍𝒊𝒕𝒚 𝒕𝒐 𝒅𝒊𝒔𝒕𝒊𝒏𝒈𝒖𝒊𝒔𝒉 𝒃𝒆𝒕𝒘𝒆𝒆𝒏 𝒇𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔𝒚 𝒂𝒏𝒅 𝒓𝒆𝒂𝒍𝒊𝒕𝒚 ----------------------- This book is an anthology of short stories, monologues, poems, and poetries I have written...