// pic illustration mine ᰔᩚ
-
Nampak antusias dirinya dengan kedua pipi yang merona juga mata berbinar ketika menatap sepiring nasi goreng hangat yang baru saja disajikan di atas meja tempat kami berdua duduk. Kualihkan pandanganku sejenak untuk mengucapkan terima kasih kepada bapak penjual nasi goreng yang dari perawakannya terlihat seperti beliau berada di usia sekitar akhir 50 tahunan. Bapak penjual itu pun tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang sudah tidak utuh juga kerutan yang ikut muncul di kedua ujung matanya sebelum akhirnya ia kembali meninggalkan kami.Lagi-lagi aku memusatkan perhatianku pada dirinya yang kini mulai menyantap nasi goreng dengan menggunakan sepasang sendok dan garpu yang tersedia di kotak peralatan makan yang ditempatkan di tengah meja persegi panjang berbahan kayu bersebelahan dengan kotak tisu dan stoples acar. Ia menyodorkan sepiring nasi goreng itu kepadaku, menawarkanku untuk mencobanya setelah suapan pertama berhasil masuk dengan mudah ke dalam sistem pencernaannya. Aku menolak tawarannya dengan menggelengkan kepalaku pelan lalu menyodorkan balik piring tersebut kepadanya.
Kami tidak berbicara membiarkan suara motor dan mobil yang lalu lalang di jalan raya pada malam hari mengisi keheningan di antara kami berdua. Aku terus memperhatikannya yang masih sibuk memakan nasi goreng yang kini tinggal separuh dengan penuh rasa kagum.
"Lucu, ya? Nasi goreng gila yang makan orang gila," gumamnya secara tiba-tiba memecah keheningan dengan mulut yang penuh namun masih dapat terdengar dengan jelas di kedua telingaku.
"Kamu enggak gila," ucapku singkat menepis perkataannya. Entah sudah berapa kali aku mengingatkannya bahwa ia bukanlah seperti apa yang dirinya pikirkan.
Dia menghela napas panjang yang kemudian diikuti oleh sebuah senyuman tertampil pada wajahnya yang berkulit putih pucat. Aku tahu senyuman itu.
"Coba kamu bilang langsung ke mereka. Berani bertaruh aku, mereka enggak akan peduli sama yang kamu bilang. Mereka enggak bakal dengar apa yang kamu ucap. Enggak akan pernah."
Kuperhatikan setiap kata yang terucap dari bibir penuhnya itu. Walaupun nada bicaranya sangat pelan dan terkesan santai, aku dapat merasakan perasaan campur aduk yang terpendam di dalam dirinya mulai dari kesedihan, penyesalan, hingga rasa kesal. Dia berkata dengan jari telunjuk kanannya yang ia letakkan di pelipis kepala sebelah kanan miliknya seakan mengisyaratkan kepadaku bahwa yang dimaksud dari perkataannya tersebut adalah mereka yang ada di dalam kepalanya. Suara-suara yang tidak pernah berhenti berteriak mencaci maki, setidaknya itu yang pernah ia beritahu kepadaku tempo hari.
Aku tidak berkata apapun lagi. Aku memang tidak bisa membuat suara-suara di dalam kepalanya itu menghilang begitu saja, namun setidaknya aku dapat mengalihkan perhatiannya sehingga ia tidak harus terus-menerus terhanyut dalam kekalutan. Aku mungkin tidak mengerti sepenuhnya tentang apa yang terjadi pada dirinya. Aku telah mencoba untuk memahami dan ia juga sudah membiarkanku untuk membantunya meskipun tidak mudah.
Yang diinginkan olehku hanyalah ia dapat kembali merasakan kenyamanan dan keamanan yang sudah lama ia dambakan. Aku hanya ingin dia tahu bahwa kehadiranku di kehidupannya bukan untuk membuatnya menjadi semakin terbebani melainkan sebagai pelindung. Dia sudah terlalu lama memendam segalanya sendirian.
Aku meraih tangan kirinya yang terletak di atas meja, menyelipkan telapak tanganku di bawah telapak tangan miliknya. Kugenggam dengan erat tangan mungilnya itu sembari sesekali memijat perlahan berharap ia dapat kembali merasa tenang.
Setelah beberapa detik, dapat kurasakan dirinya yang kembali merasa rileks. Pandangan kedua matanya yang sempat terfokus pada tautan tangan kami kini menatap ke arahku.
"Semuanya akan baik-baik saja. Aku enggak akan biarkan apapun terjadi padamu," ungkapku dengan senyuman meyakinkan. Aku harap kali ini ia setuju denganku.
"Aku tahu." Hanya itu balasan yang kudapat darinya.
Kami tertawa kecil. Entah apa yang membuat kami berdua tiba-tiba tertawa. Akhirnya, ia pun melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda tadi yaitu kembali menyantap nasi goreng di hadapannya yang sudah dingin. Begitu pula dengan aku yang juga kembali menatap kagum kepadanya yang sekarang disadari langsung olehnya. Beberapa kali ia memintaku untuk tidak memandangi dirinya saat ia makan, tetapi aku tidak menggubris permintaannya itu dan terus memperhatikan.
Andai saja kamu tahu betapa berharganya dirimu...
-end.
YOU ARE READING
Oneirataxia
Short Story𝐎𝐧𝐞𝐢𝐫𝐚𝐭𝐚𝐱𝐢𝐚 (𝒏.) 𝒕𝒉𝒆 𝒊𝒏𝒂𝒃𝒊𝒍𝒊𝒕𝒚 𝒕𝒐 𝒅𝒊𝒔𝒕𝒊𝒏𝒈𝒖𝒊𝒔𝒉 𝒃𝒆𝒕𝒘𝒆𝒆𝒏 𝒇𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔𝒚 𝒂𝒏𝒅 𝒓𝒆𝒂𝒍𝒊𝒕𝒚 ----------------------- This book is an anthology of short stories, monologues, poems, and poetries I have written...