Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌟
Seharusnya hari minggu menjadi hari yang tenang dengan matahari yang hampir hilang. Cahaya berwarna jingga merajai langit yang sebentar lagi akan berganti hitam. Tanpa bintang yang entah kenapa semakin jarang terlihat di langit ibu kota. Mungkin tertutup oleh kabut polusi yang dimuntahkan kendaraan yang melaju di jalanan tanpa henti. Lampu-lampu di sepanjang jalan pulang sudah menyala dengan sinar berwarna kuning, bercampur dengan lampu mobil yang berwarna merah setiap berhenti.
Aku suka kombinasi warna ini, tetapi mataku tidak dapat menikmatinya kala kepalaku disinggahi pertanyaan Aries yang datang silih berganti.
"Kenapa Bang Bram nggak bisa ikutan makan es krim lagi?"
Aku menelan ludah dengan susah payah. Bagaimana menjelaskan konsep kalau orang menikah tidak lagi dapat pergi berkencan dengan orang yang bukan suaminya? Aku jelas tidak mau menunjukkan hal itu kepada Aries dan mewajarkannya.
"Karena ada Bang Jesse, ya?" Bocah itu lanjut bertanya dan aku mengangguk dengan senyum yang aku paksakan. "Aku nggak suka dia," katanya sambil cemberut. Es krim yang ada di hadapannya sudah habis, sehingga Aries mencomot milikku yang masih ada setengahnya. Aku mendorong mangkuk es krim itu ke hadapan Aries karena nafsu makanku sudah hilang ketika topik ini diangkat. Bocah itu menerimanya dengan senang hati.
Me too, pikirku. Tapi aku menempatkan diri sebagai orang dewasa yang harus memberikan contoh baik kepada Aries dan berkata, "Nggak boleh begitu. Kamu kan belum kenalan lama."
Bibir bawah bocah itu maju lima senti. "Aku udah lama lihatnya, tapi Kak Andini nggak pernah biarin dia sendiri lama-lama. Gimana aku mau kenalan?"
Bahkan Aries saja menyadari bagaimana Andini tidak pernah mau melepaskan Jesse. Akku rasa kalau bisa memakaikan tali kekang ke leher Jesse, Andini akan melakukannya.
"Aku kangen Bang Bram," kata Aries tiba-tiba. Mata bulat itu tidak secerah biasanya dan bahu kecil yang turun itu terlihat menyedihkan. "Kenapa Kak Andini pakai pergi segala, sih?"
Aku menghela napas pajang, tidak berniat menjawab pertanyaan yang aku sendiri masih mencari jawabannya. Dan juga, mendengar Aries merindukan Bram membuat dadaku membuncah.
Aku tahu bagian terberat dari merindukan orang adalah tidak lagi dapat bertemu karena satu atau beberapa alasan. Alasanku adalah moral yang kujaga. Bahkan merindukan Bram saja membuatku merasa bersalah sekarang.
Helaan napas keluar dari bibir hingga dadaku mengempis saat mengosongkan udara. Sesaknya tidak juga hilang dan mau seberapa banyak aku melakukannya, tidak juga merasa lebih baik.
"Itu napas terberat yang pernah saya dengar." Jesse berucap sambil menyetir. Aku sampai lupa kalau cowok itu ada di sana karena kepalaku sibuk berkutat dengan hal lain. Kami sudah mengantar Aries pulang. Jesse mengajaknya bicara sepanjang perjalanan dan ditanggapi secukupnya oleh adikku.
Kami kembali ke saya-kamu tiap tidak ada orang lain.
"Dulu waktu pacaran sama Andini, nggak pernah ngajak Aries pergi memangnya?"
Raut Jesse tidak berubah ketika mendengar pertanyaanku. Matanya masih memandang lurus ke jalanan dan mataku tidak menangkap genggamannya di setir mengetat. Tetapi rahangnya yang mengetat untuk sekejap mencuri perhatianku. Jika saja aku mengedipkan mata, sudah pasti aku tidak dapat menangkap gerakan itu. "Enggak," kata Jesse lalu dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan. "Dia nggak mau sering-sering pergi sama keluarganya. Dia lebih suka pergi sama temen-temennya."
Keengganan Jesse menyebutkan nama Andini tertangkap jelas di telingaku. Obrolan kami berhenti sampai di sana, aku tahu Jesse tidak mau membahasnya lebih jauh, pun denganku yang tidak tahu harus membicarakan apa lagi. Udara di dalam mobil menjadi terlalu berat dan membuatku susah bernapas. Jadi eBook reader yang kupinjam dari Olivia menjadi jalan keluar dari kecanggungan kami di dalam mobil. Tas sudah berada di dekat kakiku dan eBook reader di tangan kanan.
Sebelum aku larut dalam bacaan yang disarankan oleh Olivia, dari ekor mata aku melihat Jesse menyalakan radio dengan pelan lalu ikut bernyanyi saat ada lagu yang diketahuinya. Ini menjadi tanda untukku masuk ke dalam bacaan dan membiarkan cowok itu menyetir dengan damai hingga kami tiba di rumah tanpa aku sadari.
Aku menyelipkan alat bacaku ke dalam tas dan keluar dengan terburu-buru sebelum Jesse sempat membawa seluruh makanan yang dibawakan ibu untuk kami ke dalam rumah. Tasku berada di bahu kiri dan kedua tangan sudah membawa rantang berukuran besar yang bergambar bunga-bunga. Ibu tidak memberikan kami waktu untuk menolak tiga rantang yang sudah disiapkan sebelum kami tiba di rumah untuk mengantar Aries.
"Langsung bawa ke dapur, biar saya yang beresin ke dalam kulkas."
"Okay," jawab Jesse yang tidak kesusahan membawa masing-masing satu rantang tiga tingkat di kedua tangannya.
Butuh lima belas menit untuk aku memindahkan dan menata sembilan jenis makanan di masing-masing tempatnya. Menggeser beberapa bahan makan yang sudah dibeli Jesse sebelumnya agar ada tempat. Rendang, sop sosis, ayam kecap, dan lain sebagainya sudah masuk ke dalam kulkas. Sebagian; seperti rolade yang tinggal digoreng, bahkan sudah aku masukkan ke freezer. Aku cukup yakin kalau kami tidak perlu memasak selama dua minggu penuh.
Jesse bersiul di belakangku setelah aku berdiri. "Ibu beneran tahu kamu nggak bisa masak, ya? Sampai disiapin makanan banyak gini."
24/8/22
Wkwkw Ali udah diem bae, tapi Jesse nyari ribut
Apdet kapan lagi niii? Minggu atau Selasa? Komen yang banyak, pencet bintang, share cerita ini supaya cepets apdet.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Honeymoon Is Over [FIN]
ChickLitTAMAT & PART LENGKAP May contain some mature convos and scenes "Kita kapan akan bercerai?" - Aliyah, istri. "Kamu ajakin saya kumpul kebo?" - Jesse, suami. Bagi Aliyah Sadie, hidup adalah sebuah komedi. Satu hari kamu berpacaran dengan A dan keesok...