5 (hukuman)

25.6K 1.6K 10
                                        

Aku berlari cepat mendekati Aldo yang tadi melemparkan vas bunga ke arahku dan menghajarnya dengan keras. Tindakanku ini membuat seluruh anggota keluarga marah padaku.

"Apa-apaan kau, Aditya!" teriak Marina, tampak kesal.

"Gua bukan Aditya, tapi Ello," jawabku tegas.

"Sama saja bodoh!" kata Aprian, dengan nada kesal.

Aku menatap Aprian tajam, tidak suka dengan ucapannya. "Begini saja, biar lebih mudah. Kau hapus namaku dari hak waris keluarga ini, dan malam ini juga aku akan pergi dari keluarga ini," kataku, penuh tekad.

Satria terkejut mendengar ucapanku, wajahnya berubah muram. "Kau anak bungsu keluarga Pratama!" protesnya, tidak terima.

Aku tertawa dalam hati. Ternyata, ayah baru mengakui Aditya sebagai putra bungsunya setelah dia tiada. "Baru mengakui ya!" pikirku, merasa terhina.

"Ucapanmu semakin hari malah kurang ajar, ya! Anak pembawa sial!" kata Aldo, kesal.

"Anak pembawa sial ini sebentar lagi akan mati. Dan jangan harap aku akan menggunakan nama Pratama saat itu tiba," jawabku dingin.

"Leluconmu tidak lucu, Aditya!" Marina menambahkan dengan marah.

"Terserah Anda. Ingat, hari ini adalah hari terakhirku di rumah ini," kataku dengan penuh keyakinan.

"Aku tidak akan membiarkanmu kemanapun. Kau putraku!" sergah Satria dengan marah, dan tiba-tiba menarik tanganku menuju gudang belakang rumah.

Saat itu, kenangan lama dari tubuh Aditya kembali terbayang. Sanksi bisu yang diterimanya, tekanan dari keluarga yang memaksanya untuk sempurna, baik dalam akademik maupun non-akademik, membuat hati ini miris. Fisik dan batin Aditya dihancurkan perlahan. Seringkali, setelah diperlakukan kasar, ia harus menenangkan diri dengan obat tidur. Aku merasa sakit melihat semua itu.

Aku memejamkan mata, menahan rasa sakit yang kembali menyergap tubuh ini. Hari demi hari, tubuh yang kutempati semakin lemah. Waktu untuk keluarga Aditya meminta maaf semakin sedikit. Ketika aku terbangun, Adrian muncul di depanku dan meminta maaf. Mungkin dia baru menyadari kesalahannya.

"Kenapa kau tidur bodoh?!" teriak Satria, kesal.

"Hanya menunggu malaikat maut menjemputku," jawabku santai, meski hatiku terasa hampa.

Satria mendekat dan mendorongku, menyuntikkan sesuatu ke tangan kananku. Setelah itu, kegelapan menyelimuti aku.

Aku terbangun, merasakan kedua tanganku tidak bisa bergerak. Bahkan, kedua kakiku juga terasa mati rasa. Aku menatap langit-langit gudang, tidak ada air mata di pelupuk mataku, hanya kehampaan.

"Kau tahu Aditya, seorang manusia pasti melakukan kesalahan di masa lalu. Untuk kondisi keluargamu, mereka harus konsultasi ke psikolog," monologku pelan, hanya untuk diriku sendiri.

Aku menutup mataku, membiarkan tubuh ini istirahat. Di dalam mimpi, pemandangan indah menyambutku. Kupu-kupu berterbangan di sekelilingku, dan di kejauhan, aku melihat sosok Aditya duduk, mengamati sesuatu. Aku mendekatinya, hanya ada senyuman tipis di wajahnya.

"Kamu akan menyerah, Ello?" tanya Aditya, dengan nada penuh tanya.

"Ya, waktuku di raga lu akan segera berakhir," jawabku, dengan keikhlasan.

"Keluargamu sangat mengkhawatirkan dirimu, Ello," ucap Aditya, menundukkan kepala, tampak ada kesedihan yang mendalam di wajahnya.

Melihat itu, sebuah ide gila muncul dalam pikiranku, agar Aditya bisa merasakan kebahagiaan sesaat, setidaknya sementara waktu.

"Dit, lu pakai raga gua ya sementara waktu," kataku, menawarkan sesuatu yang tak terduga.

"Eh?!" kaget Aditya.

"Lu belum pernah dipeluk sosok kedua orangtua, kan?" tanyaku, dengan lembut.

"Sekitar 10 tahun aku tidak merasakan perasaan itu lagi," jawab Aditya, dengan suara yang penuh kesedihan.

"Sebelum gua kembali ke raga asli gua, gua ikhlas kok. Sementara waktu, lu pakai raga gua," kataku.

"Seriusan?!" Aditya terkejut dan senang.

"Gua seriusan. Habiskan banyak waktu lu bersenang-senang bersama keluarga gua," ucapku dengan senyuman.

"Ternyata lu gak sedingin yang gua kira, Ello," kata Aditya, dengan sedikit heran.

"Sikap gua tergantung situasi, Dit," jawabku dengan tenang.

"Kembali, El. Gua akan membuat keluarga lu bahagia sementara waktu ini," ucap Aditya, yakin.

Aku mendekat kepadanya dan memberikan semua ingatan yang ada padaku. Setelah selesai, kami saling tersenyum, merasa lega. Aku membuka mataku, kembali berada di dalam gudang yang gelap, merasakan kesendirian yang mendalam.

Pintu gudang terbuka, dan aku melihat Dian terdiam sejenak saat melihatku dalam keadaan terantai, seperti seekor binatang yang akan disembelih. Aku hanya bisa diam, tak bisa melakukan apa-apa. Dian memberiku makan dengan hati-hati, aku hanya membuka mulutku, tidak mampu berbuat lebih dari itu. Setelah selesai menyuapiku, Dian memberiku obat-obatan dan berpamitan untuk pergi. Kepergiannya meninggalkan kesunyian di dalam gudang yang sudah aku huni selama beberapa hari.

Aku sudah menduga, sejak malam sebelumnya aku dikurung di gudang ini. Tidak ada satu pun tanda-tanda keluarga Aditya datang untuk menolong atau bahkan hanya sekadar menunjukkan perhatian. Aku mengerti sekarang kenapa Aditya memilih menyerah dengan hidupnya—mereka semua tidak memiliki hati sama sekali.

Dulu, aku berpikir bahwa aku tidak ingin mendapatkan perhatian dari orang tuaku, merasa munafik dengan permohonanku untuk tidak diperhatikan. Namun kenyataan ini sangat berbeda. Tidak diperhatikan oleh kedua orang tuaku, bukan hanya luka fisik yang sakit, tetapi luka hati yang lebih dalam, yang tak akan pernah bisa disembuhkan.

Aku melihat melalui jendela kecil gudang, ada kicauan burung yang bebas terbang ke sana kemari, tampak begitu bahagia tanpa beban. Cuaca mendung, dan kalau aku berada di raga Aditya, aku pasti akan duduk di atas atap kamar, menikmati suasana yang damai itu.

Aku teringat kata-kata Thomas Alva Edison, yang harus mencoba ratusan kali untuk mewujudkan penemuannya. Mungkin, itu yang dulu dilakukan Aditya—terus mencoba mendapatkan perhatian dari orang tuanya dan tiga kakaknya, meskipun hasilnya selalu nihil.

"Sejak kecil dibilang pembawa sial, mentalmu pasti terganggu, Dit. Kalau gua di posisi lu, gua gak yakin bisa bertahan sampai usia 15 tahun," ujarku, dalam hati.

Tiga hari berlalu, aku hanya bisa makan, minum, dan menatap jendela kecil yang memberikan sedikit ketenangan. Pemandangan di luar sana tampak damai, sementara aku hanya bisa merenung, terjebak dalam keheningan.

Akhirnya, pada sore hari, Satria datang dengan membawa kunci untuk membebaskan aku dari rantai yang mengikat tubuh ini.

"Masa hukumanmu berakhir, dek," ucapnya dengan nada datar.

Aku menatapnya dengan tatapan jengah. Satria mungkin seorang ayah, tetapi tindakannya sangat keterlaluan. Aku tidak gila, dan aku yakin pernyataan ingin keluar dari rumah membuatnya merasa terancam.

Satria mencoba membantu aku berdiri, tetapi aku menepis tangannya dan langsung keluar dari gudang menuju kamarku. Ada banyak hal yang harus aku lakukan, yang tertunda sejak kemarin.

Di kamar, aku langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, sekalian membuang air. Tidak mungkin aku mengompol di situasi seperti ini. Pikiranku kembali melayang ke Rasen, mengingat semua kenangan indah bersama dia. Dari aksi pemaksaan menonton anime bersama, sampai harus menemani Rasen menonton film anime terbaru. Rasen, adik yang selalu membuatku tertawa dengan ulah jahilnya, dan aku selalu merasa nyaman bersama dia, meskipun dia sering menyebutku "bucin adik."

Aku tersenyum tipis mengingat itu semua. Setelah selesai mandi, aku keluar dan mengenakan pakaian santai, lalu duduk di balkon kamar menikmati angin sore yang menenangkan. Sungguh, perasaan ini memberi sedikit kedamaian di tengah kekacauan yang kurasakan dalam hidup.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Kamis 01 September 2022

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang