Aku berlari kearah Aldo yang tadi melemparkan vas bunga kepadaku dan menghajar wajah songongnya. Perbuatanku membuat semua anggota keluarga marah padaku.
"Apa-apaan kau Aditya!" kesal Marina.
"Gua bukan Aditya tapi Ello," ucapku.
"Sama saja bodoh!" kesal Aprian.
Aku mendelik tidak suka akan ucapan Aprian barusan. "Begini saja biar lebih mudah. Kau hapus namaku dari hak waris keluarga ini dan malam ini juga aku akan pergi dari keluarga ini," ucapku.
Satria kaget akan ucapanku tak lama raut wajahku murka tidak terima keputusanku. "Kau anak bungsu keluarga Pratama!" protes Satria.
Aku tertawa dalam hati ternyata nih ayah tidak tahu diri baru mengakui Aditya putra bungsunya setelah dia tiada. "Baru mengakui ya!" remehku.
"Ucapanmu semakin hari malah kurang ajar ya anak pembawa sial!" kesal Aldo.
"Anak pembawa sial ini sebentar lagi akan mati, dan jangan harap aku akan menggunakan nama Pratama saat itu tiba," ucapku.
"Leluconmu tidak lucu Aditya!" kesal Marina.
"Terserah anda. Ingat hari ini adalah hari terakhirku di rumah ini," ucapku.
"Aku tidak akan membiarkanmu kemanapun. Kau putraku!" kesal Satria.
Satria menarik tanganku menuju ke arah gudang belakang rumah seperti ingatan lama Aditya sanksi bisu dimana sosok rapuh Aditya mendapatkan perlakuan kasar dari semua anggota keluarganya. Fisik dan batin Aditya ditekan terus-menerus entah dari nilai akademik, dan non akademik harus sempurna. Aku miris melihat ingatan Aditya selesai disiksa pasti akan berakhir dengan obat tidur untuk mengobati itu semua.
Aku memejamkan mataku menahan rasa sakit yang lagi-lagi kembali menyerang tubuh ini, hari demi hari tubuh yang kutempati semakin lemah tidak banyak waktu untuk keluarga kandung Aditya meminta maaf. Saat aku bangun Adrian meminta maaf kepadaku mungkin dia sudah sadar akan kesalahannya.
"Kenapa kau tidur bodoh?!" kesal Satria.
"Hanya menunggu malaikat maut menjemputku," ucapku santai.
Satria mendorongku dan menyuntikkan sesuatu ke tangan kananku setelah itu kegelapan menguasaiku. Satria mengelus surai rambutku menatap dalam diam wajahku.
Aku bangun merasakan kedua tanganku tidak bisa bergerak bahkan kedua kakiku juga sama. Aku menatap lamgit gudang tidak ada air mata di pelupuk mataku sama sekali.
"Kau tahu Aditya. Seorang manusia pasti melakukan kesalahan di masa lalu untuk kondisi keluargamu mereka harus konsultasi ke psikolog," monologku.
Aku menutup mataku membiarkan istirahat fisikku karena obat penahan rasa sakit berada di tas sekolahku. Pemandangan di alam mimpiku sangat indah sekali. Kupu-kupu berterbangan kesana kemari di kejauhan kulihat sosok Aditya duduk mengamati sesuatu. Aku menghampiri Aditya hanya ada senyuman tipis di wajah Aditya.
"Kamu akan menyerah Ello?" tanya Aditya.
"Ya waktuku di raga lu akan segera berakhir," ucapku.
"Keluargamu sangat mengkhawatirkan dirimu Ello," ucap Aditya.
Aditya menundukkan kepala terlihat jelas gurat kesedihan di wajah Aditya ide gila muncul di pikiranku agar bisa membahagiakan Aditya sementara waktu.
"Dit lu pakai raga gua ya sementara waktu," ucapku.
"Eh?!" kaget Aditya.
"Lu belum pernah dipeluk sosok kedua orangtua, kan?" tanyaku.
"Sekitar 10 tahun aku tidak merasakan perasaan itu lagi," ucap Aditya sedih.
"Sebelum gua kembali ke raga asli gua. Gua ikhlas kok sementara waktu lu pakai raga gua," ucapku.
"Seriusan?!" pekik Aditya senang.
"Gua seriusan. Habiskan banyak waktu lu bersenang-senang bersama keluarga gua," ucapku.
"Ternyata lu gak sedingin yang gua kira Ello," ucap Aditya.
"Sikap gua tergantung situasi, Dit," ucapku.
"Kembali El. Gua akan membuat keluarga lu bahagia sementara waktu ini," ucap Aditya.
Aku mendekat kearah Aditya, dan memberikan semua ingatan milikku setelah selesai kami berdua saling tersenyum. Aku membuka mataku masih di dalam gudang yang sebelumnya.
Pintu gudang terbuka itu Dian dia terdiam melihatku terantai seperti layaknya seekor binatang yang akan disembelih saat hari raya tiba.
Dian memberikanku makan aku hanya membuka mulutku saja tidak bisa berbuat banyak selain itu semua. Selesai menyuapiku Dian memberikan obat milikku, dan dia pamit pergi kepadaku.
Kepergian Dian dari gudang membawa kesunyian. Perkiraanku sudah dari kemarin malam aku dikurung di gudang ini tidak ada tanda-tanda keluarga Aditya muncul kesini. Pantas saja Aditya memilih menyerah dengan hidupnya mereka semua tidak memiliki hati sama sekali.
Dulu aku pernah berpikir munafik tidak ingin mendapatkan perhatian dari kedua orangtuaku sama sekali, dan permohonan konyolku benar-benar terjadi saat ini. Tidak diperhatikan oleh kedua orangtua itu menyakitkan bukan luka fisik yang terlihat namun luka hati tidak mungkin disembuhkan sama sekali.
Jendela gudang kulihat ada suara kicauan burung mereka sangat senang terbang kesana kemari tanpa ada beban sama sekali. Suasana cuaca sedikit mendung kalau berada di raga asliku pasti aku akan naik ke atap kamar menikmati suasana itu.
Thomas Alva Edison pencipta lampu pijar membutuhkan ratusan kali agar bisa membuat hal gila di masa itu berhasil, mungkin itu yang dulu dilakukan Aditya mencoba mendapatkan perhatian orang tua dan ketiga kakaknya walaupun hasil itu semua tidak ada sama sekali.
"Sejak kecil dibilang pembawa sial membuat mentalmu terganggu Dit. Gua berada di posisi lu pasti tidak akan bertahan sampai usia 15 tahun," ujarku.
Kegiatanku berada disini hanya makan dan minum saja selain itu aku hanya memandang jendela kecil gudang yang menampilkan suasana damai bagiku.
Sekitar tiga hari aku dirantai oleh ayah gila Aditya tepat sore hari dia datang ke gudang membawa kunci untuk membebaskan aku dari rantai.
"Masa hukumanmu berakhir dek," ucap Satria.
Aku menatap jengah Satria dia mungkin seorang ayah, tapi tindakan dia sangat di luar batas padahal aku tidak gila sama sekali. Mungkin pernyataan aku ingin keluar dari rumah membuat otak Satria sedikit geser.
Satria akan membantuku berdiri, tapi aku menepis tangan Satria bahkan pergi dari gudang begitu saja menuju ke kamarku untuk melakukan yang seharusnya kukerjakan sejak kemarin.
Di kamar aku ke kamar mandi membersihkan diri sekaligus membuang air kan tidak mungkin aku mengompol tidak lucu sama sekali kalau ada Rasen disini pasti dia akan meledekku habis-habisan. Berbicara soal Rasen jadi semakin merindukannya saja dari mulai aksi pemaksaan dia menonton bersama anime sampai aku harus menemani Rasen menonton movie anime terbaru bersama-sama.
Senyuman tipis terbit dari bibirku mengingat kenangan manis bersama Rasen. Rasen sosok adik idamanku sejak dulu banyak aksi jahil darinya tapi aku tidak marah sama sekali dengan Rasen, teman sekelasku bahkan sampai menyebutku bucin adik. Terlalu lama melamun tentang Rasen aku keluar kamar mandi memakai baju santai dan keluar balkon kamar menikmati semilir angin sore yang menenangkan.
Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis
Sampai jumpa
Kamis 01 September 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Ello (END)
General FictionNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah tentang keluarga saja tidak lebih. Othello Pranaja Zayan pemuda berwajah tegas, bersifat dingin, datar, minim ekspresi, benci pengkhianatan, baik sama orang yang disayang, dan tidak memandang bulu saat marah...