Sekolah

45.4K 666 33
                                    

"Pegangan Jal."

Aku mengangguk mendengar titah dari Bang Rasyid. Tanganku kemudian melingkar di perutnya yang dipenuhi otot, sayangnya otot tersebut tertutupi seragam satpam serta jaket kulit yang dia pakai. Aroma parfume dan jaket kulit menusuk hidungku, memberikan kesan maskulin terhadap Bang Rasyid. Gugup sekali rasanya, bagaimana tidak? Aroma tubuh Bang Rasyid saja sudah bisa membuat lubangku bergetar sendiri.

"Iya Bang."

Sepanjang perjalanan aku melirik ke kiri dan ke kanan, banyak sekali kendaraan berlalu lalang. Di depanku, Bang Rasyid tengah mengendarai motornya dan fokus menatap ke depan. Punggung suami dari Kakak perempuanku itu terlihat sangat kokoh di lihat dari belakang.

Uh... Bang, kenapa sih Abang begitu sempurna?

Aku yakin dengan sangat, kalau semisal Bang Rasyid berniat nyambi jadi gigolo dia pasti akan laris manis meski dengan harga tinggi. Aku tak sepolos itu sampai tidak tau kalau di luar sana banyak sekali para penyembah pejantan sejati berkontok kuda yang rela keluar uang demi kepuasan lubang mereka entah itu perempuan atau Homo sekalipun. Di mata perempuan dan juga bot sepertiku, Bang Rasyid itu tak ada celah. Ketampanan dan keseksian tubuhnya bak dewa Yunani versi lokal, tak ada kata lain yang bisa aku ucapkan selain sempurna.

"Udah sampe Jal."

Aku berhenti melamun saat Bang Rasyid bersuara. Tak terasa, lama melamun tentang pria pujaan lubangku, tau-tau kami sudah sampai di sekolah baruku. Efek Bang Rasyid memang bisa mempengaruhi hukum sebab akibat, dia membuat waktuku terasa singkat hanya dengan membayangkan keperkasaannya di ranjang.

"Iya Bang, makasih ya udah anterin Jala."

Bang Rasyid tersenyum, dia kemudian mengacak rambutku sampai kusut. "Dah, sekarang kamu sekolah yang bener ya? Kamu harus jadi orang Jal, jangan kayak Abang cuma bisa jadi satpam."

Aku tak setuju dengan ucapan Bang Rasyid, kenapa pula dengan Satpam? Bagiku pekerjaan apapun sama saja, yang terpenting adalah individunya sendiri. "Aku akan belajar rajin Bang, tapi Abang harus tau kalau aku bangga punya Abang ipar kayak Bang Rasyid."

"Kamu ini," ucap Bang Rasyid mencubit pipiku.

Setauku Bang Rasyid memang anak tunggal jadi sikapnya jelas hanyalah bentuk kasih sayang seorang Kakak pada Adiknya meski faktanya aku ini hanya Adik iparnya. "Makasih ya Bang."

Bang Rasyid mengangguk lagi seraya berucap. "Pulangnya kamu mau dijemput atau gimana? Abang pulang sekitar jam 4 atau jam 5 soalnya, itupun kalau si Andri masuk. Kemarin minta tolong gantiin dia, jadi mungkin Abang double shift hari ini."

"Nanti Jala jalan kaki aja Bang, udah inget kok."

"Nggak apa-apa?"

Aku menyungging. "Iya Bang, aku justru nggak enak karena ngerepotin Abang sama Mba Ayu terus."

Bang Rasyid balas tersenyum, kali ini tangannya yang terselimuti sarung yangan mengelus kepalaku lembut. "Kamu itu udah Abang anggap Adik sendiri, jadi jangan sungkan kalau mau minta apa-apa ya? Kalau Bang sanggup, Insya Allah Abang usahain."

Aku terharu dengan ucapan Bang Rasyid. Kuambil tangannya dan kemudian kukecup punggung tangannya sopan. "Makasih ya Bang, Jala sekolah dulu."

Saat aku berjalan menjauh, aku bisa mendengar Bang Rasyid setengah berteriak. "Kalau ada yang usil sama kami bilang sama Abang Jal."

***

Keringat dingin membasahi tubuhku, perasaan malu dan gugup memenuhi ragaku. Saat ini aku tengah berdiri di depan kelas untuk memperkenalkan diriku. Jujur, aku memang bukan tipe orang yang mudah bergaul dengan orang baru tapi memang kalau sudah kenal aku bisa lepas dan banyak bicara.

Dashyatnya Rudal Abang IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang