Celana Dalam

65.3K 854 21
                                    

"Jal, bangun."

Aku mengerjap saat jendela kamarku dibuka. Itu tadi adalah suara Mbak Ayu, Kakak perempuanku sekaligus wanita beruntung yang setiap malam busa merasakan hentakan kuat batang kejantanan milik Bang Rasyid.

Semalam, saat aku dan Bang Rasyid sampai di Bandung. Mba Ayu langsung menyambut kami, dia bahkan tak hentinya menciumi wajahku padahal aku bukan lagi abak kecil. Enaknya jadi anak bungsu ya begitu, punya Kakak yang siap menjadi sumber cuan hahaha.

Oh iya, menyangkut apa yang kulihat di pom bensin semalam paati kalian tidak akan percaya. Yah, percaya atau tidak jujur saya selama hidupku aku tak pernah melihat batang kanjut sebesar milik Bang Rasyid padahal kondisinya masih tertidur. Kalau dijadikan acuan, em panjang dan tebalnya mirip-mirip dengan pemain bokep gay yang sering kutonton.

Aku yakin Mba Ayu pasti kelojotan kalau menerima rojokan dari benda sebesar itu. Buktinya, tengah malam tadi aku bisa mendengar suara desahan Mba Ayu memenuhi ruangan kamar di sebelahku. Mba Ayu sampai dibuat teriak minta ampun oleh Bang Rasyid, belum lagi suara hentakan pertemuan selangkangan mereka begitu merdu di kuping. Rasanya jadi terbayang digenjot oleh Bang Rasyid.

Kalau dipikir-pikir, Bang Rasyid kuat perkasa sih. Jelaslah, soalnya dia sudah pulang pergi menjemputku Pangandaran-Bandung, eh pulang-pulang malah dimintai jatah oleh istrinya. Belum lagi suara ngewe mereka berlangsung berjam-jam, makanya aku agak susah tidur dan baru bisa tidur ketika mereka berhenti.

"Cepet mandi, abis itu sarapan."

Aku mengangguk. "Iya Mba, sebentar. Aku lagi ngumpulin dulu arwah."

Mba Ayu terkekeh, dia menoyor kepaku pelan. "Ada-ada aja kamu ini, gendeng."

"Hehehe..."

Setelah merasa kalau arwahku sepenuhnya sudah kembali ke raga. Aku memutuskan untuk mandi karena rasanya badanku dipenuhi bau kecut berkat perjalanan seharian kemarin.

Selepas mandi dan ehm tentunya coli membayangkan besarnya rudal Bang Rasyid, aku segera keluar dari kamar untuk sarapan. Di dapur, terlihat Mba Ayu tengah sibuk memotongi bawang.

"Masak apa Mba?" tanyaku pada Mba Ayu.

Kakak perempuanku itu menoleh, dia kemudian menyuruhku untuk mencucikan tomat dan beberapa sayuran. "Abangmu minta di masakin tongseng pagi-pagi, ini kamu tolong bersihin ya."

"Oalah, pagi-pagi makannya daging ya Mba. Kalau di rumah udah ditakol sama Bapak, hahhaha..."

Mba Ayu ikut tertawa dengan guyonanku. Bapak memang paling anti makan daging pagi-pagi, katanya nanti sesak berak. "Jal-Jal, kamu ini."

Sambil mencuci beberapa sayur dari Mba Ayu tadi, kami juga sesekali mengobrol ngarol ngidul. "Eh iya, sekolahanku di mana ya Mba?:

Mba Ayu mengernyit. "Emang kemarin Abangmu nggak kasih tau?"

Aku menggeleng. "Nggak, mungkin Bang Rasyid kecapekan Mba."

"Agak jauh kalu dari sini Jal, dia tempatnya deket pabrik tempat Abangmu kerja. Harusnya sih kemarin kamu lewatin waktu ke sini," kata Mba Ayu sambil masih sibuk memotongi bawang.

"Oalah... Tapi kalau jalan kaki berapa lama Mba?"

"Sekirar 40 menit, nanti biar di anter jemput Abangmu aja. Atau nanti biar Mba cicilin motor."

Aku menggeleng. "Jangan ah Mba, malu aku."

Ya iyalah malu, meski Mba Ayu adalah Kakak kandungku tapi tetap saja dia sudah berkeluarga. Rasanya aneh kalau kebutuhanku masih menjadi beban piķirannya. Lagi, perasaan bersalahku karena menyukai suaminya saja belum terhilangkan, apa lagi harus tambah berhutang budi.

Dashyatnya Rudal Abang IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang