perpisahan

7 4 0
                                    

Vote nya jangan lupa
.
.
.

Kaki-kaki jenjang itu berjalan cepat di lorong rumah sakit, perasaan nya saat ini tidak tenang, ditambah mata sembab nya yang berlinang air mata menjadi pusat perhatian.

Kaki itu berhenti tepat di depan pintu bertuliskan 'kamar A'. Dengan perasaan ragu ia membuka pintu untuk masuk, saat suara pintu berdecit semua pasang mata tertuju padanya, pandangan beragam yang membuat nya rasanya seperti mati berdiri.

"Per-permisi"

Suaranya bahkan mencicit di akhir kalimat nya, wanita paruh baya yang masih bersimbah air mata itu lantas berdiri dari duduk nya dan segera menghampiri gadis itu dengan mimik wajah penuh amarah.

"Kau..!"

'plakk!'

Suara tamparan itu berdengung menyakitkan,gadis yang ditampar terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.

"Gara-gara kau putra ku masuk rumah sakit! Nyawanya hampir melayang!"

Amuknya bertubi-tubi, tangan yang mulai keriput itu bahkan mendorong-dorong tubuh kecil milik Gladis.

"Sudah bun, tidak baik membuat ribut di depan Sastra, apalagi ini di rumah sakit"

Suaminya itu menarik tangan istri nya agar tidak lagi melukai gadis yang saat ini masih menangis tanpa suara.

"Yah,kita harus beritahu dia kalau dia tidak pantas untuk anak kita,dia yang menyebabkan anak kita koma yah!"

Perlahan Gladis mengangkat kepalanya untuk menatap Sastra yang masih terlelap di atas kasur nya,selang infus dan peralatan medis lain nya melekat di tubuh kekar itu, wajah bengkak penuh perban membuat hati Gladis semakin terluka.

"Maaf"

Meskipun ribuan maaf Gladis ucap kan, tampaknya sang bunda tak akan pernah memaafkan.

"Sudah bun sudah"

Pria paruh baya itu hampir saja tersulut emosi,namun ia tahan agar suasana tidak semakin memanas.

"Bun,lebih baik kita doakan yang terbaik untuk bang Sastra"

Sang bunda akhirnya tenang setelah seorang gadis mengusap lembut bahu nya, gadis yang memakai baju gamis dan jilbab panjang membingkai wajah cantik itu.
Sang bunda menatap kearah Gladis dengan tatapan tajam menusuk sembari menarik gadis cantik tadi mendekati Gladis.

"Lihat! Dia adalah gadis yang akan saya nikahkan dengan Sastra,Fatih lebih baik dan pantas daripada kamu!"

Bagai tersambar petir di siang bolong, ternyata orang tua Sastra sudah ada niat menikahkan Sastra dengan gadis lain,gadis yang memang lebih pantas bersanding dengan Sastra.

"Sebaiknya kamu pergi!"

Gladis menggeleng pelan sembari menatap sang bunda dengan pandangan memohon, wajah nya sudah basah karena air mata nya yang sejak tadi deras keluar.

"Saya mohon untuk yang terakhir kalinya,saya ingin bersama Sastra sebentar. Setelah itu saya janji tidak akan lagi menemui sastra"

Bunda memutar bola matanya malas, niat ingin menggusur Gladis terhenti saat suaminya sudah lebih dulu membawa Gladis kearah tempat Sastra berbaring.

"Ayah! Kenapa malah bawa gadis itu masuk?!"

Kening ayah mengerut pertanda menahan amarah,lalu pandangan nya menjadi lembut saat menatap Gladis yang saat ini sudah duduk di kursi sembari menggenggam tangan lemah itu.

Sudah lebih seminggu Sastra menutup matanya,ayah tak tahu lagi bagaimana cara agar Sastra kembali membuka matanya, mungkin saja dengan kekuatan cinta bisa membangun kan kembali putra nya.

Dengan berat hati akhirnya bunda membiarkan Gladis untuk duduk di samping ranjang sastra.

Gladis mendekatkan bibirnya kearah telinga Sastra, membisikan bahwa ia sudah datang.
Hampir bunda protes dengan apa yang Gladis lakukan namun tatapan tajam ayah membuat bunda kembali bungkam.

"Maaf karena aku kamu jadi gini"

Suara lirih Gladis terdengar pilu,air matanya masih saja menetes.

"Tolong buka mata kamu, kalau gak buka aku bakal pulang" rengekan Gladis tidak lagi terdengar lucu,malah terdengar memilukan.

"Aku beneran pulang nih"

Gladis diam untuk beberapa saat namun tangannya masih menggenggam tangan besar itu.

"Percuma! Anak saya gak bakal bangun kalau bukan sama jodoh nya!"

Sarkas bunda menusuk jantung Gladis,ia melirik kembali gadis yang masih berdiri di samping bunda.

Saat Gladis berniat ingin pergi tangan nya merasa ada pergerakan dari Sastra, perlahan mata tajam itu terbuka.
Semua orang di dalam sana histeris dan bunda langsung memanggil dokter.

"Jangan pergi, sayang"

Suara lirih itu kembali membuat Gladis meneteskan air mata nya,ia kembali duduk tak menghiraukan dokter yang saat ini sudah memeriksa kembali keadaan Sastra.

"Suatu mukjizat dari Tuhan, keadaan nya lebih baik dari sebelumnya"

Setelah pemeriksaan selesai bunda langsung menarik Gladis untuk menjauh dan duduk di tempat Gladis duduk tadi.

"Sayangnya bunda"

Bunda mengusap sayang rambut Sastra untuk menarik perhatian sastra namun tatapan Sastra masih tertuju kearah Gladis.

Bunda mengikuti arah pandang Sastra dan berdecih cukup kuat.

"Ngapain masih di sini?!"

Saat Gladis ingin pergi,ayah sudah lebih dulu menghalangi pintu keluar.

"Kamu tetap disini,temani anak saya"

Meskipun bunda protes tetapi ayah tetap membiarkan Gladis untuk duduk di tempatnya semula.

Gladis menemani Sastra sampai kembali terlelap tidur,tangan Sastra masih tak lepas menggenggam, setelah hari mulai gelap barulah Gladis pamit untuk pulang.

Dalam perjalanan pulang Gladis terus menangis dalam diam, setelah ini ia tak bisa lagi bertemu dengan Sastra, janji adalah janji dan harus di tepati.

Mungkin Sastra memang bukan jodohnya, Fatih lah jodoh yang pantas bersanding dengan Sastra.

Sesampainya di rumah Abah sudah menunggu di depan pintu, seakan tahu keadaan putri nya setelah melihat mata bengap itu,Abah langsung memeluk tubuh rapuh putri nya.

"Gladis putus sama Sastra bah, Gladis gak boleh lagi ketemu Sastra"

Raungan tangis itu ikut mengiris hati Abah,tangan Abah terus menepuk-nepuk punggung Gladis mencoba menenangkan.

"Mungkin dia memang bukan jodohmu,tetap sabar karena Tuhan tahu siapa yang terbaik untukmu"

Kalimat itu akan terus Gladis ingat,ya tuhan itu maha tahu,tahu mana yang terbaik untuk hambanya.

Guntur Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang