My Life's a Dying Star

41 9 0
                                    

Another night I can't sleep
Wishing I could skip to my dreams
'Cause the same day stuck on repeat, ooh

Malam ini, langit kelam masih mempertahankan eksistensinya. Angin sepoi-sepoi nan membekukan tulang mengiringi awan hitam yang menyelimuti seluruh penjuru Aerelle. Bulan serta bintang seakan berjanji untuk kembali tak menampakkan diri. Kengerian melingkupi Serikat Penyihir. Insan-insan itu kehilangan harapan. Tanpa rasi bintang, energi magis mereka melemah.

"Sampai kapan kita akan kehilangan penunjuk arah?"

Seorang wanita tua bertubuh gempal menggebrak meja pertemuan. Wajahnya merah padam. Petinggi lain menatapnya gusar.

"Kami tidak membutuhkan keluhanmu, Madam Shelle. Rapat ini diadakan demi menemukan jawaban, bukan untuk dijadikan ajang mengerang. Semua yang ada di sini pun sama frustrasinya denganmu, tetapi kita tidak bisa mengendalikan alam dengan sempurna," cibir seorang di antara mereka.

Gigi-gigi Athala bergemeletuk. Bibirnya yang pucat dan kering sibuk meracau. Peperangan bangsa penyihir melawan para Shadow sudah usai sejak sebulan lalu. Namun, meski para pengguna magis meraih kemenangan, dampak perang itu sendiri jauh lebih payah. Mereka terjebak dalam siklus mengerikan, mimpi buruk tanpa akhir.

Sisa-sisa makhluk bayangan yang tewas dalam perang berubah menjadi virus. Penyihir yang dianggap cocok sebagai inang akan dihinggapi, lalu direnggut jiwanya. Mereka bukan lagi terkontaminasi, tetapi dilenyapkan hingga tak dapat dibangkitkan lagi. Yang gagal dalam pertarungan mental pasti tewas.

Peristiwa ini tak bisa dicegah seperti serangan bangsa Shadow. Pergerakannya tak bisa diprediksi. Koyakan tubuh tanpa jiwa itu tak berotak. Ia hanya sibuk mencari mangsa, lalu lenyap. Seluruh petinggi Serikat Penyihir sedang mempermasalahkan ini, tetapi tak satupun dapat menyampaikan solusi berarti-kecuali isolasi berkepanjangan.

"Apa kita sungguh kehabisan keberuntungan?" Orang tertua di sana mengusap wajahnya, lelah. Para generasi muda pun hanya menundukkan kepala, tak terkecuali Athala. Iris kelabunya menatap kosong pada meja marmer yang terpancang tepat di hadapan dada.

"Jangan menaruh harap terlalu tinggi. Sejak awal, para Shadow memang makhluk gila."

"Ya, dan sekarang kita sama gilanya. Sialan! Semua ini salah penyihir tua bangsat yang melakukan praktik sinting dan menanamkan kutukan. Kematiannya tidak mengubah apa pun menjadi lebih baik!" Madam Shelle berujar berang.

"Shelle, aku juga benci melihat penduduk yang megap-megap kehabisan napas, berusaha menggapai keselamatan sebelum akhirnya raib menjadi debu. Namun, tak ada yang bisa kita lakukan selama anasir jahanam itu masih berkeliaran. Kasarnya, mereka harus memakan korban sebanyak mungkin-sampai lenyap dengan sendirinya."

"Aku juga benci. Josse mati dengan cara yang sama." Athala menatap nanar pada refleksi wajahnya yang pias. Pertemuan ini membuatnya pusing. Dia mual. Trauma yang berusaha dikubur gadis itu dalam-dalam justru dibangkitkan kembali.

Ruang rapat kembali hening. Para penyihir saling menatap. Tak ada ekspresi berkonotasi positif di sana-terlebih pada wajah pucat pasi sang Elares terakhir. Seseorang menyadari itu.

"Athala Elares, kau baik-baik saja?"

Mata kelabu itu bergerak, menanggapi dengan kerlingan lelah. Aku hanya sedikit pening, dia menjawab dengan suara yang luar biasa serak.

Entitas lain dalam ruangan itu melayangkan pandangan iba. Gadis itu sadar-dan dia membencinya. Yang tertua di antara mereka meminta Athala untuk kembali ke kastilnya.

"Shelle, antarlah dia pulang. Kau juga perlu mendinginkan pikiran. Tatalah hatimu sepanjang perjalanan nanti."

"Kau tidak perlu bicara sehalus itu untuk mengusirku dari rapat, Pemimpin," tanggap sang penyihir gempal sebelum berdiri dan melangkah keluar. Athala mengekori, meski sebenarnya dia ingin menolak. Gadis itu butuh waktu sendiri, tetapi dia harus menghormati perintah atasan.

EleftherythmeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang