Chapter 17

1.5K 79 1
                                    


Ran akhirnya berdamai dan kembali pada suaminya di Jerman. Shiho batal ke Belanda, ia sendiri sebenarnya tidak terlalu menginginkan studi tersebut, sudah lama ia memimpikan memiliki balai penelitiannya sendiri. Shiho bahkan memutuskan resign dari rumah sakit Tokyo. Akhirnya rumah peninggalan orang tuanya yang dulu bekas klinik, Shiho rombak dan jadikan Miyano's Research Institute untuk menampung ide-ide ilmuwan muda.

Shinichi melewati ujian persamaan SMA nya tanpa masalah. Kemudian ia mendaftarkan dirinya ke Universitas Tokyo jurusan psikologi kriminal, jurusan yang sama dengan Masumi. Shiho dan Shinichi pun menikah dengan adat Jepang dan berbulan madu ke Inggris sebentar saja karena Shinichi harus segera mengikuti perkuliahannya.

Shinichi menjalani perkuliahannya tanpa kesulitan, mungkin berkat pernah jadi hantu gentayangan yang mengikuti Masumi, ia sudah tahu materi-materi apa saja yang disampaikan di perkuliahan. Kendalanya hanya di tahun terakhir. Setelah kosong selama tiga tahun, akhirnya Shiho berbadan dua. Ia mengalami morning sickness yang sangat parah sampai tak bisa bangun dari tempat tidur. Padahal Shinichi saat itu sudah mulai menyusun skripsinya.

"Kenapa Shiho? Mau ke kamar mandi lagi?" tanya Shinichi ketika suatu malam Shiho terbangun lagi.

Shiho yang wajahya sepucat tembok hanya bisa mengangguk dalam diam. Ia tidak berani buka mulut lebar-lebar karena takut muntah di ranjang.

Shinichi meninggalkan laptop dan risetnya yang berserakan untuk membantu memapah Shiho ke kamar mandi. Di wastafel Shiho memuntahkan isi perutnya sampai tubuhnya gemetaran.

"Ak... tidur... s-sni... s-saja..." kata Shiho terbata dan terengah-engah.

"Mana bisa tidur di kamar mandi? Nanti masuk angin. Aku taruh baskom saja nanti di samping tempat tidur, jadi kau tidak perlu mondar-mandir. Aku yang akan membersihkannya nanti,"

"T-tapi kau..."

"Sudah, jangan bicara terus nanti mual lagi. Masih mau muntah?"

Shiho menarik napas panjang sejenak sebelum menggeleng.

"Yakin?"

"Uhm," Shiho mengangguk.

Shinichi mengguyur wastafel dan membantu membasuh wajah Shiho seraya berujar, "Ayo berbaring lagi, aku akan buatkan teh setelah itu,"

Setelah membantu Shiho berbaring, Shinichi turun ke dapur sebentar untuk membuatkan teh hangat. Shiho mendesah lega sesudah menyeruputnya beberapa teguk.

"Kau mau sedikit biskuit mungkin? Kau belum makan apa-apa," kata Shinichi cemas.

Shiho menggeleng, "tidak,"

"Tapi kau kurus sekali ini Shiho, biasanya kan kalau hamil itu jadi gemuk,"

"Kalau masih tidak bisa telan, aku infus saja besok, sekarang aku ingin tidur,"

"Oke-oke," Shinichi menyusun bantal kepala yang besar-besar supaya Shiho nyaman berbaring dengan posisi setengah duduk. Baskom juga sudah Shinichi letakkan di samping ranjang.

"Gomene..." gumam Shiho dengan suara bergetar menahan tangis. Kehamilan telah membuatnya semakin sensitif.

"Maaf kenapa?"

"Aku membuatmu susah... padahal kau sedang skripsi..." isak Shiho dengan suara sengau.

Shinichi mengusap-usap kepala istrinya sambil berujar lembut, "apa yang susah sih? Kau dulu lebih susah, jadi dokter berhadapan dengan nyawa pasien di meja operasi sambil merawatku. Aku cuma berhadapan dengan tugas akhir, molor sedikit pun tidak masalah. Sudahlah tidak usah dipikirkan. Kan aku sudah pernah bilang, sekarang gantian aku yang mengurusmu,"

Dibilang begitu Shiho malah semakin menangis karena terharu, moodnya jadi tidak beraturan begini sejak hamil.

"Yah kok malah nangis," Shinichi mencium kening istrinya, "aku mencintaimu Shiho,"

"Peluk," pinta Shiho manja.

Shinichi tertawa renyah, "hai hai..." ia memeluk istrinya sembari mengusap-usap punggungnya, "sudah jangan nangis lagi,"

"Kau jangan gituin terus, aku malah makin nangis nanti. Duh hamil begini amat sih!" gerutu Shiho di bahu Shinichi.

"Iya iya aku diam, cobalah untuk tidur Shiho. Kalau perlu sesuatu panggil aku saja, aku masih mengetik sampai malam,"

"Uhm," Shiho mengangguk sambil memejamkan matanya mencoba tidur.

***

Shinichi berpacu dengan waktu. Setelah lolos sidang terakhirnya, ia tak sempat bersorak maupun merayakannya bersama dengan teman-temannya, karena Shiho sudah mulai kontraksi. Shiho akan melahirkan di rumah menggunakan teknik waterbirth. Ketegangan sidang belum lagi hilang dan ia sudah harus menghadapi ketegangan kelahiran anak pertamanya. Sesampainya di kamar, Shinichi melihat Shiho sudah nyemplung ke dalam kolam air hangat. Shiho memeluk pinggiran kolam sambil berusaha menahan sakit. Tim medis yang semuanya wanita juga sudah mempersiapkan segala perlengkapan melahirkan.

"Shiho," Shinichi menunduk merengkuh istrinya.

"Bagaimana sidangnya?" tanya Shiho lemah.

"Aku sudah lulus, semuanya lancar. Bagaimana Shiho? Sakit?"

Shiho meringis mengiyakan, "katanya teknik ini bisa mengurangi rasa sakit... buktinya mana... Duh..."

Shinichi membuka jas, kemeja dan celana bahannya untuk ikut nyemplung di kolam agar dia bisa memeluk Shiho.

"Aku di sini Shiho," bisik Shinichi yang menjadikan tubuhnya sandaran bagi Shiho.

"Sakit..." Shiho menggeram.

Shinichi mengaitkan jari-jari tangannya pada jari-jari Shiho, "kau bisa melewatinya Shiho,"

"Sudah pembukaan 10, sudah saatnya," kata petugas medis.

Shiho menggeram, "ya ampun... ini lebih parah daripada efek APTX... ugh..."

Proses mengejan pun dimulai. Air hangat yang tadinya bening, perlahan berubah menjadi merah darah. Shiho terus mengejan mengikuti instruksi petugas medis. Di saat seperti ini, pengetahuannya sebagai dokter dan ilmuwan lupa semua.

"Ayo Nyonya Kudo sedikit lagi," kata petugas medis.

Shiho mengeluh nyaris putus asa.

"Ayo Shiho! Kau pasti bisa, sebentar lagi kita akan gendong bayi. Bayi kita. Ayo!" Shinichi terus mendukungnya.

Shiho mendorong lagi. Satu tarikan terakhir dan makhluk mungil itu akhirnya meluncur di kolam. Petugas medis segera mengangkatnya untuk membersihkannya, sementara Shiho menenangkan diri.

Shinichi keluar dari kolam dan mengenakan kimono handuk. Setelah Shiho dibasuh, ia pun memakaikan kimono handuk juga pada Shiho, mengangkatnya keluar dari kolam dan membaringkannya di tempat tidur. Shiho terlihat lebih segar sekarang seperti habis mandi.

"Ini bayinya, bayi perempuan yang cantik," salah satu petugas medis memberikan bayinya kepada Shinichi.

"Owh... lihat ini Shiho..." Shinichi meletakkan bayi itu di ranjang di sisi Shiho, "dia merah dan kecil sekali seperti marmut..."

Shiho akhirnya bisa tersenyum, ia mencium pipi bayinya.

"Halo..." Shinichi menjawil pipi si bayi dengan telunjuknya, "akhirnya kau datang juga... kau bule sekali seperti Okasan..."

Shiho terkekeh pelan mendengar gurauan suaminya.

"Oh ya, kita mau kasih nama apa? Aku saking pusing memikirkan skripsi, sampai lupa cari nama," kata Shinichi baru ingat.

"Shinichi... apa boleh kalau aku kasih nama oneechan ke putri kita?" tanya Shiho penuh harap.

"Eh?"

"Aku mau memberinya nama Akemi, nama yang sangat berarti untukku," gumam Shiho dengan mata berkaca-kaca.

Shinichi tersenyum, "Tentu saja boleh. Kudo Akemi, nama yang cantik,"

"Arigatou,"

Shinichi mencium kening istrinya, "aku yang seharusnya berterima kasih Shiho,"

Devil Beside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang