8 (saling berbagi perasaan)

21.9K 1.4K 5
                                        

Ruangan itu masih terasa hening. Tidak ada percakapan di antara kami. Aditya yang sepertinya risih dengan keheningan itu, mengambil ponselnya dan mulai menonton video di YouTube. Aku sekilas melihat video dance yang dia tonton, tapi tidak ada niatan sama sekali untuk ikut melihat.

Setelah beberapa saat, Aditya menghentikan videonya. Dia menatapku dengan serius, membuatku sedikit bingung.
"Kemoterapi enggak akan nyelamatin nyawa gua, El," ucapnya.

Aku terdiam, syok dengan pernyataan itu. Jadi, penyakit Aditya benar-benar parah. Bahkan kemoterapi tidak bisa memberikan harapan. Aditya tersenyum kecut, seperti memahami jalan pikiranku.

"Gua cuma pengen nikmatin waktu gua dikelilingi kasih sayang. Itu aja. Lagipula, kalau fisik gua nyerah, jiwa gua juga bakal nyerah, dan otomatis lu bakal balik ke raga asli lu, El," jelasnya.

"Lu kagak sedih?" tanyaku, sedikit gemetar.

Aditya menarik napas panjang, mencoba tetap tenang. "Awalnya gua sedih banget. Pertama kali dokter bilang gua kena kanker otak stadium dua, dunia gua hancur. Gua enggak punya semangat hidup lagi. Sampai akhirnya gua tanya ke orang tua gua satu hal..."

Aku menatapnya penuh penasaran. "Lu nanya apa?"

"Apakah, kalau gua pergi nanti, mereka bakal kasih gua pelukan terakhir... atau setidaknya, ngerasa sedikit bersalah?" Aditya tertawa kecil saat mengatakan itu, tapi matanya mulai berkaca-kaca.

Aku tidak bisa menahan diri lagi. Aku memeluknya erat, membiarkan dia meluapkan emosinya.

"Mereka bilang..." suara Aditya bergetar di sela tangisnya, "lebih baik gua mati aja. Anak enggak tahu diri. Pembawa sial."

Tangisnya pecah. Aku hanya bisa mengelus rambutnya, mencoba menenangkannya. Rasanya hatiku ikut remuk mendengar cerita itu. Orang tua seharusnya menjadi pelindung, bukan malah menghancurkan anaknya.

"El... maaf ya... Gua ngerasa udah ngebebanin lu dengan semua rasa sakit ini," lirihnya.

"It's okay, Dit. Justru gua belajar banyak dari lu. Lu kuat, lu enggak gampang menyerah," jawabku, mencoba menguatkannya.

Aditya akhirnya melepaskan pelukannya, wajahnya berantakan karena air mata. Tapi dia mencoba tersenyum.
"Ayah lu lucu banget, El. Dia sering ngeluarin jokes bapak-bapak yang garing, tapi gua tetap ketawa lebar. Hal kayak gitu enggak pernah gua rasain di rumah gua sendiri," katanya sambil terkekeh kecil.

"Ayah itu memang orangnya sabar banget. Tapi, kalau gua nakal, bunda yang paling sering kasih hukuman," balasku sambil tersenyum.

Aku mencoba mengalihkan pembicaraan, karena aku tahu, Aditya mungkin merasa sakit mendengar cerita tentang keluarga yang harmonis.
"Gua bakal coba bertahan lebih lama, Dit. Biar lu punya kenangan indah sebelum waktu lu benar-benar habis," ucapku dengan nada serius.

Aditya menatapku penuh rasa terima kasih. "Lu lebih ngerti gua daripada kakak-kakak gua sendiri. Rasen beruntung punya kakak kayak lu. Kak Rizky juga mirip lu, dia kakak yang baik."

"Gua udah 17 tahun, sementara lu 15. Jadi, gua bisa jadi abang lu kalau lu mau," tawarku.

"Beneran?" tanyanya, sedikit terkejut.

"Yoi, santai aja. Gua emang dingin sama kebanyakan orang, tapi gua peduli sama mereka yang gua sayang," jawabku tegas.

"Jadi lu sayang gua juga?" tanyanya, dengan wajah sedikit bingung.

"Yoi dong," balasku mantap.

Aditya langsung menjauh dengan ekspresi kaget. "El, gua masih normal, bego!" katanya dengan nada heboh.

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang