10. Hati yang Retak

511 57 1
                                    

Nana memarkirkan mobilnya dengan hati-hati di parkir luar gedung kantor suaminya. Meski sudah dilarang Jendra, Nana tetap kekeh mengantar bekal makan siang. Ia tidak peduli jika nanti suaminya itu marah. Nana hanya ingin menunjukkan rasa cintanya kepada Jendra dengan membuatkannya bekal seperti saat pengantin baru dulu.

Nana memasuki lobi kantor kemudian langsung menghampiri satpam yang sudah dikenalnya dengan baik di sini.

"Selamat siang, Bu Karina." Salah seorang satpam paruh baya menyapa Nana ramah saat melihat sosok istri atasannya itu berjalan mendekatinya.

Nana membalas senyum. "Selamat siang, Pak Hendro," ujar Nana ramah. "Pak Jendra ada, kan?"

Raut wajah Pak Hendro tiba-tiba berubah. Senyum ramah yang sejak tadi ditampilkannya, tiba-tiba menghilang digantikan gusar.

"Eh, itu... anu...."

Nana mengerutkan keningnya melihat reaksi satpam yang sudah lebih dari dua puluh tahun mengabdi di kantor keluarga Wisnutama itu.

"Pak Jendra ada di kantornya, kan? Katanya tadi sibuk dan tidak sempat makan siang. Jadi saya ke sini dan membawanya makan siang," ujar Nana sembari menunjukkan tas tempat bekal makan siang berwarna hijau rumput.

"Emm, sepertinya saya tadi melihat Pak Jendra keluar. Mungkin untuk makan siang."

Kerutan di kening Nana semakin dalam. "Keluar? Dengan Pak Mahen dan Pak Chandra?"

"Eh, bukan—"

"Nana...."

Nana menoleh karena merasa namanya terpanggil. Ia pun menyunggingkan senyum manisnya kepada sosok pria tampan berlesung pipi yang tadi memanggilnya. Berbeda dengan ekspresi Nana, Pak Hendro terlihat menghela napas lega saat istri dari atasannya itu tidak lagi mengejarnya dengan berbagai rentetan pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya.

"Ngapain di sini?" tanya Mahen yang terlihat menghampiri Nana. Ia baru memasuki lobi kantor bersama beberapa orang yang Nana yakini sebagai tim lapangan.

"Bang Mahen apa kabar?" tanya Nana ramah saat Mahen berada tepat di hadapannya.

"Ah, Abang baik, kok," jawab Mahen tak kalah ramah. "Kamu ngapain di sini? Ngapelin Pak Hendro?"

Nana tertawa renyah mendengar ucapan Mahen. Pria yang berstatus sebagai sahabat suaminya itu memang selalu bisa mencairkan suasana.

"Bang Mahen bisa saja," ujar Nana di sela tawanya. "Niatnya, sih, Nana mau nganterin bekal ke Mas Jendra. Eh, ketemu Pak Hendro di sini. Sekalian ngobrol, deh."

Mahen memicingkan mata dan Pak Hendro terlihat panik. Pria paruh baya itu buru-buru pamit dengan beralasan ada tugas untuknya di luar. Mahen pun hanya menatap satpam itu dengan penuh tanda tanya. Namun, ia singkirkan pikiran konyolnya itu dan kembali beralih kepada wanita cantik yang berdiri di hadapannya.

"Kamu ke sini nyari Jandra, Na?" tanya Mahen yang langsung dijawab Nana dengan anggukan kepala.

"Iya, Bang," jawab Nana dengan menunjukkan tas bekal yang sejak tadi dibawanya. "Mau ngasih ini karena pagi tadi Mas Jendra nggak sempet sarapan. Takutnya Mas Jendra sakit kalau telat makan karena akhir-akhir ini sering lembur."

Mahen menatap Nana dengan pandangan yang sulit diartikan. Sungguh hati Mahen terasa sakit tatkala mendengar betapa perhatiannya Nana kepada Jendra. Ia sangat peka jika akhir-akhir ini Jendra memang berubah. Pria yang dulu pernah berjanji akan setia kepada satu wanita itu, tampaknya telah melupakan janji di masa lalu.

"Kamu sudah bikin janji sama Jendra?" tanya Mahen hati-hati dan langsung dijawab Nana dengan gelengan kepala.

"Mas Jendra ngelarang Nana datang. Tapi Nana nekat." Nana menjawab dengan senyum polosnya. "Tadi, sih, katanya sibuk banget. Makanya, Nana bermaksud nitip ke Pak Hendro. Eh, kebetulan banget ketemu Bang Mahen di sini. Kan bisa sekalian nitip ke atas."

Mahen nanar menatap sorot mata tulus wanita cantik berusia tiga puluh tahun itu. Namun, akhirnya ia hanya menghela napas panjang. "Nanti biar Abang saja yang ngasihin."

Senyum Nana semakin lebar. Ia pun menyerahkan tas bekalnya dengan raut senang. "Makasih, ya, Bang. Nana nggak berani ke atas. Takut ngeganggu Mas Jendra kerja."

Mahen semakin merasa bersalah saat menerima tas bekal dari Nana. Ia sangat tahu jika hari ini Jendra sedang tidak ada kerjaan karena proyek baru belum dimulai.

"Kamu bawa mobil sendiri, Na?" tanya Mahen basa-basi.

Nana menganggukkan kepala. "Nana sekalian belanja kebutuhan kafe."

"Kamu masih sibuk ngurusin kafe? Kenapa nggak ambil orang kepercayaan buat ngelola dan kamu bisa santai-santai di rumah sebagai Nyonya Wisnutama?"

Nana menggeleng. Ia pun tersenyum lembut. "Ini adalah mimpi Nana sekaligus keinginan terakhir Ibu. Mana bisa Nana ngelepasin gitu saja?"

Mahen tersenyum maklum. Ia sebenarnya sudah tahu alasan Nana. Hanya saja, ia juga paham apa yang Jendra inginkan dari istrinya. Jendra ingin Nana di rumah saja, menjadi ibu rumah tangga seperti wanita-wanita di keluarga Wisnutama.

"Ya sudah, Bang. Nana harus segera kembali ke kafe," ujar Nana seraya melirik arlojinya. "Nana titip buat Mas Jendra, ya."

Mahen mengangguk sekilas yang dibalas Nana dengan senyum. "Makasih, Bang. Kapan-kapan Nana mampir ke rumah, ya. Kangen curhat sama Mbak Hana."

"Main saja. Hana sering ngeluh kesepian karena nggak bisa bebas lagi keluar rumah."

Nana tertawa kecil mendengar keluhan Mahen. Ia sangat mengerti keadaan istri Mahen sekarang. Hana yang sejak dulu memang sangat aktif, tiba-tiba diminta istirahat karena kehamilannya sangat rentan. Meski ada sedikit rasa iri kepada Hana, Nana pun turut merasakan kebahagiaan yang Mahen dan Hana rasakan. Ia sangat tahu bagaimana usaha pasangan suami istri itu demi mendapatkan keturunan. Sekarang, Tuhan telah menjawab semua doa dan ikhtiar pasangan itu.

"Kami sering bertukar pesan. Hana kalau bosan sering menerorku dengan ratusan pesannya," ujar Nana dengan tawa renyahnya.

Tawa itu menular, hingga membuat Mahen juga ikut tertawa bersamanya. Nana adalah wanita menyenangkan. Mahen benar-benar akan mengutuk Jendra jika berani menyakiti wanita sebaik Nana.

"Sudah, ah. Nana bakal kesiangan kalau nggak segera pergi," ujar Nana setelah berhasil meredam tawanya. "Nana titip bekalnya, ya, Bang. Sekalian titip pesan ke Mas Jendra untuk jangan terlalu lelah."

Mahen mengangguk tanda mengerti. Nana pun tersenyum penuh rasa terima kasih.

"Makasih, Bang. Nana pamit dulu."

Setelah berterima kasih, Nana benar-benar melangkahkan kakinya keluar dari kantor sang suami. Namun, langkah Nana terhenti tepat di depan mobilnya, saat netranya menangkap sosok sang suami. Tidak hanya Jendra saja yang dilihatnya, tetapi juga sesosok wanita cantik dengan rambut panjang berwarna kecokelatan bergelayut manja di lengan sang suami. Ingin sekali Nana mendekat ke sana, tetapi kakinya tiba-tiba membeku, tak bisa digerakkan. Alhasil, kedua netra Nana hanya menyaksikan kemesraan mereka berdua dari kejauhan hingga keduanya menghilang di balik pintu masuk khusus direksi.

Bulir air mata itu jatuh tanpa Nana sadari. Wanita berkulit putih itu menangis dalam diam, seraya mencerna pemandangan yang baru dilihatnya. Benarkah itu suaminya? Nana masih belum yakin jika pria yang bermesraan tadi adalah suaminya. Jendra tidak akan bermain api di belakangnya, kan?

"Pasti bukan Mas Jendra. Dia kan lagi sibuk. Pasti tadi aku salah lihat," ujar Nana meyakinkan dirinya sendiri. "Mungkin karena kelelahan, mataku jadi salah lihat. Mungkin hari ini memang harus istirahat di rumah saja dan menunggu Mas Jendra pulang."

Nana memaksakan kakinya yang masih bergetar untuk melangkah menuju mobilnya. Ia harus segera pulang dan mengistirahatkan tubuhnya agar hal seperti ini tidak terulang lagi. Namun, semua keyakinannya runtuh saat bayangan wanita cantik berambut kecokelatan itu bergelayut manja di lengan kekar Jendra. Tangis Nana akhirnya pecah. Ia pun terisak sendiri di dalam mobil. Pada akhirnya, Nana melanggar janji kepada mendiang ibunya. Wanita berkulit putih itu menangis sejadi-jadinya. Hatinya sakit dan hancur melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain tepat di depan matanya.

***









Ingin menghujat Jendra? Waktu dan tempat dipersilakan







Thanks for reading
Love you all
XOXO







Dear Nana : Stuck on You (Akan Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang