14. Meet You Again

374 55 13
                                    

Bunda Lia mengait lengan Nana kemudian mengajak istri Jendra itu kembali ke tempat acara untuk berpamitan. Meski tidak terlalu suka dengan keluarganya sendiri, Bunda Lia tetap bersikap selayaknya kakak tertua di keluarga Wisnutama.

"Mbak sama Ji pamit pulang dulu, ya," ujar Bunda Lia langsung tanpa basa-basi. "Sekalian bawa Nana. Masih kangen banget soalnya."

"Kamu nggak nunggu suamimu, Na?" Rosi, mama Jendra bertanya sarkas kepada Nana yang terlihat menundukkan kepala. "Jendra lagi di atas, bahas sesuatu dengan papa dan omnya."

"Nana-"

"Ah, itu gampang. Nanti biar Jendra saja yang jemput Nana di rumah. Lagian, jarak rumah kami tidak terlalh jauh. Iya, kan, Na?"

Nana pun mengangguk spontan. Ia memang ingin pergi dari sana. Nana sudah muak dengan semua omongan pedas keluarga suaminya. Jika saja Nana bisa menghindar, ia akan pergi sendiri. Namun, mama mertuanya akan semakin memojokkannya, membuat Nana berada pada posisi serba salah.

Rosi menatap tajam menantunya. Sebenarnya, ada banyak yang ingin dikatakannya untuk Nana. Namun, ia juga tidak bisa membantah ucapan kakak iparnya. Sejak dulu, Lia memang selalu membela Nana. Dulu, ia bahkan rela membantu Nana saat pernikahan dan rela menjadi keluarga pihak perempuan. Rosi memang tidak pernah paham dengan jalan pikiran keluarga kakak iparnya itu. Mereka terlalu antimainstream untuk dibilang sebagai anggota keluarga Wisnutama.

Rosi mendesah pelan. "Terserah kamu, Na," ujarnya menyerah. "Nanti Mama suruh Jendra jemput kamu ke sana."

Sebenarnya nyali Nana sedikit ciut saat mendengar ucapan dingin mama mertuanya. Namun, ia mengeraskan hati. Ia pun mengangguk kemudian mencium tangan mama mertuanya dan semua tante serta om Jendra yang ada di sana.

Jibran pun melakukan hal yang sama seperti Nana. Meski ia tidak terlalu menyukai keluarga dari pihak bundanya, ia tetap sopan santun di hadapan mereka semua. Setelah dirasa sudah ia salami semua, Jibran pun mengikuti bunda serta Nananya keluar dari kediaman sepupunya itu. Dengan gentle, Jibran membukakan pintu mobil bagian belakang untuk bundanya, kemudian beralih membuka pintu depan untuk Nana. Setelah bundanya dan Nana telah duduk dengan nyaman dan memasang sabuk pengaman, Jibran melajukan mobilnya perlahan.

"Ji, nanti mampir dulu ke toko kue, ya. Kamu mau cheesecake, kan?"

Jibran menganggukkan kepalanya. "Bunda memang the best."

Bunda terkekeh mendengar jawaban Jibran. Putra bungsunya memang selalu seperti itu.

"Kamu mau cheesecake? Biar Nana buatin saja. Atau mau mampir dulu ke kafe. Mungkin saja cheesecake-nya masih."

"Eh, nggak perlu, Na," ujar Bunda Lia cepat. "Biar beli di toko kue dekat kompleks saja. Kalau ke kafe kamu, malah muter kejauhan."

"Nana buatin saja, Nda." Nana masih bersikeras.

"Sebenarnya Ji kangen cheesecake buatan Kak Nana," ujar Jibran jujur yang langsung mendapat hadiah pelototan dari bundanya. "Tapi Ji takut ngrepotin Kak Nana."

"Nggak usah sungkan. Lagian, Kak Nana sudah lama nggak bikin cheesecake sendiri. Semua yang ada di kafe Rendra yang ngerjain. Bikinan dia lebih disukai pelanggan."

"Ah, bikinan Kaka Nana juga enak. The best pokoknya. Ji saja nggak bisa move on."

Nana tertawa kecil mendengar ucapan Jibran. Meski sudah dewasa, Jibran tidak pernah berubah. Bagi Nana, Jibran adalah adik kecil yang menggemaskan.

"Kalau gitu, kita belanja dulu di minimarket depan sana, ya."

"Beneran nggak ngrepotin, Na? Tadi Ji cuma bercanda, loh."

Dear Nana : Stuck on You (Akan Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang