17. Di Antara Dua Hati

455 59 6
                                    

Happy reading....
Jangan lupa vote dan komentar, ya

Jendra berjalan tergesa sesampainya di IGD. Di sana ia melihat papanya tengah berbicara serius dengan Om Johnny. Jantungnya berpacu dua kali lebih cepat saat papanya menyadari kehadirannya dan memberinya tatapan tajam.

"Pa—"

Belum sempat Jendra mengatakan sesuatu, tinjuan keras Jeffrey mendarat di pipinya. Rasa nyeri langsung menjalar di pipi dan rahang. Jendra bahkan bisa merasakan bibirnya sedikit sobek karena itu.

"Apa yang kamu katakan kepada Giselle?" Jeffrey membentak Jendra di depan pintu IGD hingga menjadi pusat perhatian beberapa orang yang ada di sana. Untung sekali IGD sedang sepi. Jika tidak, mereka akan benar-benar mendapat masalah.

"Sudah, Jeff." Johnny berusaha menenangkan sahabatnya itu. Pikirannya tengah kalut. Ia sedang tidak ingin melihat keributan lagi.

Jeffrey menatap Johnny penuh penyesalan. Wajahnya menyiratkan rasa bersalah yang teramat sangat. "Maafin Jendra, John. Dia memang sangat bodoh."

Johnny menghela napas panjang. Matanya kini beralih kepada Jendra yang tengah menundukkan kepala. Sebenarnya, Johnny tidak pernah menyalahkan siapa pun atas apa yang terjadi kepada putrinya. Ia sudah menduga akan seperti ini. Sifat Giselle yang manja dan selalu dituruti segala keinginannya yang sebenarnya mendorong putrinya bertindak nekat memotong nadi pergelangan tangan kirinya.

Johnny menepuk pundak Jendra hingga membuat pria beristri itu mengangkat wajahnya. "Om tidak menyalahkanmu." Johnny berusaha menenangkan Jendra. Ia tidak tega melihat wajah babak belur Jendra yang baru saja terkena bogem mentah papanya sendiri.

"Om-"

"Sudah...." Johnny memotong ucapan Jendra. "Berdoa saja semoga Giselle baik-baik saja."

Jendra pun menganggukkan kepala. Meski kesan awal tidak begitu meyakinkan bagi Jendra, Johnny adalah family man dan ayah yang baik. Pria berpenampilan nyentrik itu juga terlihat lebih tenang dalam menghadapi masalah, sangat bertolak belakang dengan Jeffrey yang cenderung lebih emosional.

Johnny membawa Jendra untuk duduk di kursi tunggu depan IGD. Dengan isyarat mata, ia juga menyuruh Jeffrey melakukan hal yang sama. Setidaknya, dengan duduk emosi lebih terkontrol dan sedikit tenang. Johnny tidak ingin membuat keributan lagi. Sebelum putra sulungnya sampai, ia ingin istirahat sejenak. Johnny sangat hafal sifat putra sulungnya itu. Melihat Giselle seperti ini, putranya itu pasti akan kalap. Tadi saat Johnny mengabari melalui telepon, putranya itu sudah terdengar sangat emosi. Putranya itu sanggup melakukan apa saja asal adiknya bahagia meski harus meluluh lantahkan dunia sekalipun.

***

Suara alarm pagi yang meraung-maraung berhasil membuat Nana membuka matanya. Setelah mematikan alarm, Nana menatap ranjang sebelahnya yang masih kosong.

Wanita cantik itu menghela napas panjang, lantas memosisikan tubuhnya terlentang. Ditatapnya langit-langit kamar sewarna langit itu dengan pandangan menerawang. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi.

"Kamu mengingkari janji lagi, Mas," gumam Nana lirih yang hanya bisa didengar dinding-dinding kamar yang dingin. "Apa yang harus kulakukan untuk menerima semua sikap sesukamu itu?"

Nana tidak ingin menangis lagi. Meratapi nasibnya dengan tangisan sangat melelahkan. Ia harus fokus. Masih banyak yang harus dikerjakannya hari ini di Kafe. Setidaknya, Nana bisa melupakan semua masalahnya saat bertemu langsung dengan pelanggan.

Nana menyibak selimutnya, bangun dari tempat tidur, merapikannya, seeta melakukan semua rutinitas paginya. Setelah selesai dengan urusan kamar dan bersiap-siap, Nana keluar kamar dengan dandanan yang sudah rapi.

Dear Nana : Stuck on You (Akan Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang