Juan menggenggam tangan Nana saat melihat gadis tujuh belas tahun itu melamun. Pandangannya menerawang pada awan mendung yang terlihat menggelayut di kejauhan. Sentuhan hangat tangan Juan menyadarkan lamunan Nana. Ia pun mengalihkan pandangannya kepada pria di sampingnya itu.
"Mikirin apa?" tanya Juan tanpa basa-basi.
"Ibu sakit," jawab Nana. Wajahnya terlihat sedih dengan tatapan sendu. "Sudah tiga hari, tapi tak kunjung sembuh."
Juan menegakkan posisi duduknya. Ia terkejut mendengar penuturan Nana. Pasalnya, beberapa hari lalu ibu Nana masih datang ke rumahnya memberi cheesecake kesukaannya dan Jibran.
"Ibu sakit? Sudah ke dokter?"
Pertanyaan Juan dijawab Nana dengan gelengan. "Ibu nggak mau. Katanya, sayang banget uangnya jika buat berobat."
"Kalau ibu bilang gitu, berarti ibu merasa baik-baik saja." Juan berusaha menenangkan Nana. "Tenang saja."
"Tapi aku cemas, Ju," ujar Nana sendu. Matanya sudah memerah karena menahan air mata. "Pagi ini ibu tiba-tiba bangun pagi-pagi sekali dan menyiapkan semuanya. Bahkan juga menyetrika seragam yang akan kukenakan. Ibu terus saja menyunggingkan senyum dengan wajah pucatnya. Dia juga mengucapkan kata sayang setiap kali ada kesempatan."
"Malah bagus, dong. Berarti ibu sudah merasa sehat."
Nana menggelengkan kepala hingga membuat Juan mengerutkan dahi.
"Aku takut, Ju. Aku takut jika itu adalah cara ibu mengucapkan perpisahan. Seperti halnya ayah yang dulu pergi begitu saja setelah membuatkanku susu cokelat."
Juan menarik Nana ke dalam pelukannya. Kebetulan sekali hari ini jam bebas setelah penilaian tengah semester. Jadi Juan tidak perlu takut digunjing teman-teman sekelas karena keadaan kelas memang tengah kosong.
"Itu hanya perasaanmu saja," ujar Juan menenangkan. "Jangan terlalu berprasangka. Bukankah Tuhan akan menjadi apa yang kita prasangkakan?"
"Aku takut, Ju. Bagaimana kalaukalau—"
"Ssst, sudah," potong Juan cepat. "Jangan ngasal lagi. Kalau kamu masih cemas, aku akan menelepon bunda dan memintanya melihat keadaan ibu di rumah. Bagaimana?"
Nana melepas pelukan Juan. Ia pun menganggukkan kepala dengan wajah sebabnya. Melihat itu, Juan jadi gemas. Wajah Nana yang memerah karena menahan tangis terlihat sangat menggemaskan, tidak pernah berubah meski gadis itu bertambah dewasa.
Juan mengeluarkan ponselnya hendak menghubungi sang bunda. Namun, dahinya berkerut dalam saat bundanya justru menghubunginya terlebih dahulu. Jantung Juan berpacu dua kali lipat. Ia ingin berpikir positif, tetapi tidak bisa. Hatinya sama sekali tidak tenang.
Dengan gusar, Juan akhirnya menggeser ikon hijau di layar ponselnya. Ia pun mendekatkan ponselnya ke telinga. Firasat Juan bertambah buruk saat isakan sang bundalah yang terdengar pertama kali.
"Kak, kamu bersama Nana?" Suara bunda terdengar bergetar di telinga Juan.
Juan melirik Nana, lantas menjawab pertanyaan bundanya. "Iya, Nda."
"Bisa antar Nana pulang sekarang?"
Kerutan di dahi Juan semakin dalam. "Ada apa, Nda?"
Nana semakin penasaran dengan obrolan Juan dan bundanya di telepon. Perasaannya mendadak tidak enak saat melihat perubahan ekspresi Juan. Sahabat sejak kecilnya itu terlihat panik, entah apa yang terjadi.
"Ada apa, Ju?" Nana akhirnya bertanya karena penasaran setelah Juan mematikan sambungan telepon dengan bundanya.
"Kamu adalah gadis yang kuat, Na."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Nana : Stuck on You (Akan Terbit)
RomanceCerita ini masuk daftar WattpadRomanceID bulan Maret 2023 kategori bittersweet of marriage. Blurb: Nana tidak pernah menyangka pernikahannya dengan Jendra yang sudah berjalan selama lima tahun harus mengalami guncangan sekeras ini. Keluarga Jendra y...