15. Rasa Itu Masih Ada

422 55 15
                                    

Nana tampak tersenyum menikmati langit malam yang penuh akan bintang. Halaman belakang rumah Juan tidak pernah berubah. Sebuah kolam renang sedang dengan airnya yang jernih, terlihat indah karena memantulkan cahaya purnama.

Rencana Nana membuat cheesecake hari ini gagal total. Ayah Agung tidak mengizinkan siapa pun sibuk di dapur. Pada akhirnya, mereka memesan cheesecake melalui pesan antar serta beberapa makanan untuk makan malam. Setelah melepas rindu di ruang keluarga dan ruang makan bersama Juan, Nana memilih menikmati sisa malam di teras belakang rumah sembari menikmati langit malam.

"Senyam-senyum sendiri di sini, apa nggak takut?"

Suara berat Juan mengalihkan perhatian Nana. Nana menyunggingkan senyum manisnya kepada pria tampan berkaos putih itu. Ia pun memberikan isyarat agar Juan duduk di sampingnya.

"Duduklah," ujar Nana seraya menepuk sofa empuk di sampingnya.

Juan menyodorkan sekaleng soda dingin kepada Nana sebelum duduk di samping wanita itu. Setelah menggumamkan terima kasih, Nana langsung meneguk minuman pemberian Juan.

"Lihat apa? Serius banget?" Pandangan Juan tak lepas dari wajah cantik Nana.

Nana menyunggingkan senyum tipis. "Dulu kita sering melakukan ini, kan? Saat aku marahan sama ibu, kamu lalu mengajakku ke taman ujung kompleks, menikmati langit malam."

Juan terkekeh geli mendengar ucapan Nana. "Setelahnya, kita kena marah habis-habisan karena buat ibu dan bunda kelimpungan."

"Ya, rasanya ingin sekali kembali ke masa itu," ujar Nana lirih dengan senyum tipis yang terlihat sendu.

Juan melihatnya. Meski Nana berusaha menyembunyikan kesedihannya, Juan bisa melihatnya dengan jelas. Senyum di bibir merah muda itu, tak lagi sama. Wajah manis dengan senyum ceria yang tulus itu, kini tak lagi terlihat. Juan rindu Nananya yang dulu.

"Gimana kabar kamu?"

Nana tersenyum mendengar pertanyaan Juan. "Sudah lima kali, loh, kamu tanya gitu," jawabnya. "Aku baik-baik saja, Ju. Bukankah sangat terlihat jelas?"

Juan menatap Nana penuh arti. Ia sangat hafal sifat sahabat kecilnya itu. Meski jiwa dan raganya sedang hancur, Nana akan mengatakan baik-baik saja.

"Aku hanya mencemaskanmu," ucap Juan jujur.

Nana menepuk lengan Juan. "Kalau cemas, kenapa ngilang selama lima tahun? Kamu bahkan nggak datang saat aku nikah. Sahabat macam apa itu?"

Juan menghela napas panjang. Pandangannya menerawang, menatap langit malam bertabur cahaya bintang. "Kamu sudah tahu alasannya."

Jawaban Juan membuat Nana terdiam. Sejak dulu, Juan adalah orang pertama yang menentang hubungan Nana dan Jendra. Juan sudah sering mengingatkan Nana bahwa hubungannya dengan Jendra tidak akan berjalan baik. Juan bahkan pernah mengatakan kalau Nana akan sakit hati jika kekeh meneruskan hubungan itu.

Akan tetapi, Nana tetaplah Nana, gadis keras kepala yang selalu menganggap bahwa tidak ada orang jahat di muka bumi. Saat Nana memberi tahu Juan tanggal pernikahannya dengan Jendra, Juan tidak mengatakan apa-apa. Keesokan paginya, Nana dikejutkan dengan kabar bahwa Juan telah meninggalkan Indonesia karena menandatangani kontrak dengan brand luar. Semenjak itu, Nana hanya tahu kabar Juan melalui layar kaca atau berita online.

"Ah, aku baru ingat." Nana mencoba mencairkan suasana. Wanita itu kembali menyunggingkan senyum lebarnya hingga perhatian Juan kembali kepadanya. "Terima kasih untuk kadonya. Meski sudah lima tahun yang lalu, aku tetap akan mengucapkan terima kasih secara langsung."

Juan terkekeh kecil. "Gaun itu? Kamu suka?"

Nana mengangguk semangat. "Gaun merah muda yang cantik. Aku masih memakainya sampai sekarang. Tapi, sepasang anting itu—"

Dear Nana : Stuck on You (Akan Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang