10 (mencari cara)

19.8K 1.2K 19
                                        

Beberapa hari berlalu, dan aku mulai menjalani kemoterapi yang sangat menyakitkan. Selain itu, jalur alternatif juga dicoba agar kanker otak ini bisa segera pergi dari raga Aditya. Namun, tentang bagaimana caranya jiwaku kembali ke raga asliku, masih menjadi misteri yang terus kupikirkan sampai saat ini.

Sore itu, aku bersama Rasen dan Aditya sedang duduk di ruang tengah, menonton anime yang direkomendasikan oleh Rasen. Si bocah pemaksa ini tidak akan berhenti merengek kalau keinginannya tidak dituruti.

"Abang kira anime baru, ternyata ini anime lama," komentarku sambil bersandar di sofa.

"Memang abang sudah nonton?" tanya Rasen dengan alis terangkat.

"Sudah tahu kok. Si guru gurita kuning bernama Koro-sensei itu, kan?" jawabku santai.

Rasen langsung memekik. "Jangan spoiler, Bang!"

Aku terkekeh. "Iya, iya, tidak akan. Memangnya aku seperti kamu yang selalu spoiler biar orang tertarik nonton?" sindirku sambil melirik ke arahnya.

Rasen hanya cengengesan. "Hehehe."

Kami bertiga akhirnya menonton lima episode pertama dari anime Assassination Classroom. Pemikiran awalku soal anime ini benar-benar terjawab. Sebuah kelas penuh siswa ditugaskan untuk membunuh guru mereka sendiri yang mirip gurita.

"Bukannya gurita itu baik, ya? Kok mereka harus membunuhnya?" tanya Aditya sambil mengerutkan kening.

"Karena mereka pikir Koro-sensei akan meledakkan bulan lagi tahun depan saat mereka lulus," jawabku.

Aditya mengangguk pelan, lalu bertanya lagi. "Kelanjutannya bagaimana?"

"Besok lagi kita lanjut nonton. Bunda pasti marah kalau kita begadang cuma buat anime," ucapku sambil merenggangkan tubuh.

Tepat saat itu, suara keras terdengar dari arah dapur. "KALIAN BERTIGA TIDUR!" teriak Rianti.

Aku menoleh ke arah Rasen dan Aditya sambil terkekeh. "Nah kan, sudah kubilang. Suara bunda benar-benar alarm alami."

Rasen memeluk lenganku sambil merengek. "Bang, tidur bareng ya!"

Aku tersenyum kecil. "Mau dipeluk abang atau kakak?"

Tidak ada masalah bagiku berbagi kasih sayang dengan Aditya. Lagipula, sejak dulu kedua orang tuaku selalu bersikap adil kepada anak-anaknya. Kini, Aditya mulai lebih terbuka dengan keluargaku. Dia bahkan menceritakan kenangan pahitnya selama bersama keluarga kandungnya—cerita yang membuatku semakin yakin untuk melindunginya, seperti melindungi adik kandungku sendiri.

Rasen tidur di tengah, dan aku terpaksa begadang. Entah kenapa, perasaanku akhir-akhir ini semakin buruk. Aku memandang telapak tanganku yang semakin kurus setiap harinya, bahkan saat aku meraba rambutku, beberapa helai rambut jatuh. Aku tahu, waktu yang aku miliki semakin terbatas, dan aku merasa semakin kesulitan tidur akibat sakit yang kian memburuk.

"Ini sangat sakit... Aku kesulitan tidur... Setidaknya aku ingin mengurangi rasa sakitmu, Dit," gumamku, meski suara hatiku sendiri terasa berat. "Jika takdir berkata lain, mungkin aku akan tiada."

Aku sadar bahwa tidak ada cara untukku kembali ke raga asliku. Mungkin, satu-satunya cara adalah dengan berkorban demi kebahagiaan Aditya. Aku tidak menyesalinya, karena aku tahu Aditya berhak bahagia.

"Transmigrasi jiwa ini pasti harus mengorbankan salah satu jiwa agar yang satunya bisa merasakan kebahagiaan," pikirku, merenung.

Aku menutup mataku, berusaha meredakan sakit di kepalaku. Rasa sakitnya seperti ditusuk ribuan jarum raksasa sekaligus, lebih menyakitkan dibandingkan perasaan patah hati yang pernah kurasakan.

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang