Rasa perih dari cambukan semalam masih terasa begitu nyata bagi Thavi, berharap apa yang terjadi hanya lah mimpi. Sayangnya itu semua nyata. Hilmi yang baru saja datang mengernyit bingung saat melihat mimik wajah teman sebangkunya itu seperti tengah menahan rasa sakit.
"Kenapa?" Tanyanya.
Hilmi tidak tahu apapun soal kehidupab Thavi, mereka berdua hanya sebatas teman sebangku. Hubungan mereka tidak sedekat itu sampai Hilmi harus tahu semua tentang Thavi. Thavi sendiri juga menutup diri pada Hilmi yang sesekali bertanya tentang keluarganya.
Hilmi tahu tentang kembarannya Thava yang tidak menyukai Thavi, tapi lelaki itu berpikir hanya sebatas keirian seorang kembaran dia tidak pernah tahu setiap luka yang dihadiahkan oleh Ayahnya setiap kali dia melakukan kesalahan atau tatapan benci dari Bunda bahkan lirikan menjijikan yang selalu kembarannya berikan.
"Apa?" Bukannya menjawab Thavi justru bertanya kembali.
"Muka mu seperti tengah menahan sakit." Ujar Hilmi.
Thavi terdiam tidak langsung menjawab, apa wajahnya begitu kentara tengah menahan rasa sakit? Tak lama setelahnya lelaki itu menggeleng. "Tidak, Aku tidak apa-apa." Jawabnya.
Hilmi hanya mengangguk singkat kemudian mengeluarkan sebatang coklat dan menyodorkannya pada Thavi. Yang ditawarkan menggeleng, Hilmi mengendikkan bahunya dan memakan coklat tersebut.
"Ya sudah kalau tidak mau." Katanya dengan coklat yang ada dalam mulutnya.
Lima menit kemudian suasana kelas yang semula sepi mulai ramai, murid-murid berbondong-bondong masuk kelas dan duduk dibangku mereka masing-masing. Beberapa dari mereka ada yang mengobrol, ada yang duduk dibangku dan membaca pelajaran, ada pula yang memejamkan mata seperti Chillo yang duduk dibangku pojok kanan paling belakang.
"Aku dengar di kelas sebelah ada murid baru." Celetuk salah satu gadis dengan bandana merahnya.
"Kelas Thava?" Salah satu dari temannya memastikan.
Gadis yang tadi berbicara mengangguk, para gadis itu mulai membicarakan tentang murid baru tersebut yang katanya sangat beruntung bisa satu kelas dengan Thava yang notabenya pangeran sekolah. Thavi yang mendengar pembicaraan para gadis itu hanya bisa tersenyum kecut. Sebegitu hebatnya kah Thava? sampai-sampai semua membicarakan tentangnya, bahkan ketika ada murid baru yang satu kelas dengan Thava saja mereka bilang murid baru itu beruntung bisa satu kelas dengan Thava
"Aku dengar-dengar dia juga cantik, katanya sih Mamanya mantan model dan Papanya seorang pilot" Ucap Gina, gadis berbandana merah
"Jika itu benar adanya, pasti murid baru itu cocok dengan Thava. Pasti mereka akan menjadi pasangan paling serasi nantinya." Celetuk Intan teman sebangku Gina dengan kacamata minusnya.
"Kau benar, pasti mereka....."
Kringg.....
Sayangnya obrolan seru itu harus berakhir di tengah jalan karena bel masuk sudah berbunyi dan guru yang mengajar juga sudah tiba. Thavi mendengarkan dengan benar penjelasan guru didepannya yang sedang menjelaskan tentang sistem regulasi manusia.
***
Miko sejak tadi tak hentinya menggoda Thava yang tengah serius mengerjakan soal matematika. Sahabat sekaligus teman sebangkunya itu sedari tadi mengganggu aktivitasnya. Thava sendiri terlihat acuh dan tetap mengerjakan tugasnya
Miko mencolek lengan kirinya dan terus-terusan menendang kursi yang diduduki.
"Maaf Pak, permisi." Thava mengangkat tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THARAVI [HIATUS]
Teen FictionTharavi hanya mau meniup lilin ulang tahun bersama keluarganya dan juga merasakan pelukan. Permintaan sederhana namun sukar untuk terwujud