Thavi meniup lilin berangka 17 tahun seiring dengan menetesnya air mata. Selama 17 tahun dia hidup, selama itu pula dia meniup lilin ulang tahunnya sendiri. Thavi menarik laci nakasnya, mengambil sebuah pigora yang menghias foto keluarganya. Ayah, Bunda dan Tharava kembarannya. Thavi tersenyum miris mengetahui fakta jika tidak ada dirinya dalam foto tersebut.
Thavi menggosokkan kedua tangannya udara dingin yang bertiup dari jendela kamarnya membuat tubuhnya menggigil karena dingin. Thavi berjalan mendekat kearah jendela berniat menutupnya aga angin tak lagi masuk ke dalam rumahnya. Saat sampai didepan jendela atensi matanya tak terlepas dari keluarga kecil yang nampak bahagia merayakan ulang tahun sang anak, ya itu Thava kembarannya dan kedua orangtuanya. Lagi-lagi dia hanya mampu menerima kenyataan jika kedua orangtuanya jauh lebih menyayangi sang Kakak daripada dirinya.
Thavi kembali mendudukkan diri di ranjangnya, matanya bergerak menelusuri setiap detail kamar tidurnya, sederhana. Mungkin itu kata yang cukup untuk menggambarkan kondisi kamarnya yang hanya berisi satu ranjang berukuran kecil dan satu nakas disamping. Di pojok sana terdapat lemari kayu yang hanya muat beberapa pakaiannya saja, sedangkan pakaiannya yang lain harus di taruh di luar sebab lemarinya tidak muat semua pakaiannya.
Berbeda dengan kamar Thava kembarannya yang sudah dipastikan kamarnya setara dengan hotel bintang lima, lagi dan lagi Thavi hanya bisa menertawakan dirinya sendiri.
Bodoh!!
Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan lelaki yang sedang mengotak-atik ponselnya dan berharap ada seseorang yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya.
Selasa, 13 Agustus 2015
Pukul 01.25Tidak ada seorang pun yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya, bahkan temannya sekalipun. Tunggu, teman? Bahkan dia tidak mempunyai teman. Lagi-lagi Thavi hanya bisa menertawakan semua kebodohannya bukan?
***
Thavi menggeliat saat merasakan sinar mentari masuk melalui jendela kamarnya yang masih tertutup. Menggerakkan badan merenggangkan ototnya yang kaku sebelum beranjak dari ranjang dan pergi mandi. Sebelum itu Thavi menyempatkan untuk melihat kalender, ternyata hari ini adalah hari senin dan ada ulangan fisika. Thavi menghela napasnya mengingat bahwa semalam dia sama sekali tidak belajar. Thavi berjalan keluar kamar menuju kamar mandi yang letaknya dipojok. Tanpa sengaja matanya bertemu dengan Bunda yang tengah menyiapkan sarapan, Thavi tersenyum sedangkan wanita itu sama sekali tak peduli. Dan dia sudah terbiasa dengan ini semua.
Sementara itu di lain tempat, tepatnya di kamar Thava lelaki itu terlihat mengancingkan kancing terakhirnya, merapikan kerah seragamnya sebelum akhirnya dia keluar kamar dan langsung duduk di meja makan. Di hadapannya ada Ayahnya yang tengah sibuk dengan ponselnya.
"Pagi Ayah." Sapa Thava.
Jonathan mengalihkan pandangannya sekilas kearah puteranya dan tersenyum, "Pagi jagoan."
Jonathan melipat korannya, meletakkannya diatas sofa kemudian menyusul Thava yang sudah terlebih dahulu duduk dimeja makan.
Tak lama kemudian Thavi terlihat menuruni tangga dengan ransel sekolah yang ditentengnya.
"Pagi, Ayah, Bunda, Thavi." Sapanya, namun tak ada jawaban dari ketiganya.
Lima belas menit Thava hanya duduk diam, sesekali memperhatikan Ayah dan Kakak kembarnya berbincang. Dia hanya bisa tersenyum pahit, ingin rasanya dia bisa diposisi Kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THARAVI [HIATUS]
Fiksi RemajaTharavi hanya mau meniup lilin ulang tahun bersama keluarganya dan juga merasakan pelukan. Permintaan sederhana namun sukar untuk terwujud