Hujan dan Kebersamaan

57 6 0
                                    

Thava tersenyum dalam hati saat melihat sang Ayah tak hentinya memukul kembarannya yang sudah terkulai tak berdaya. Tubuh Thavi meringkuk dibawah ubin yang dingin sambil menahan sakit dibagian ulu hatinya yang sejak tadi ditendang oleh Jonathan tanpa ampun.

Thava yang duduk disofa bersama Bundanya hanya melihat dengan senyum kebahagiaan, sedangkan Pelita fokus pada siaran televisi didepannya tanpa memperdulikan rintihan kesakitan dari salah satu putera kembarnya itu.

Jonathan menyudahi semuanya, pria itu rasa sudah cukup memberikan Thavi pelajaran atas kesalahan yang dia perbuat. Yah, kesalahan dimata Jonathan karena Thavi meninggalkan pelajaran karena alasan sakit. Jonathan tidak menerima alasan apapun, bagi pria itu nilai adalah hal paling utama diatas segalanya.

"Jangan menjadi lemah hanya karena flu, ingat kau itu lelaki dan Ayah tidak suka mempunyai anak lemah seperti mu." Ujar Jonathan sebelum meninggalkan Thavi yang masih meringkuk disana.

***

Thavi meringis menahan rasa sakit di ulu hatinya. Rasa sakitnya tak bisa digambarkan, itu benar-benar sakit dari seribu cambukan yang biasanya dilakukan oleh Ayahnya.

cklek...

"Bagaimana? Suka dengan hukuman barunya?" Suara Thava menyapa rungu Thavi samar.

Kesadarannya mulai melemah, cahaya matanya mulai meredup namun sebelum kelopak matanya itu menutup seluruhnya. Samar-samar retinanya menangkap wajah kembarannya yang tersenyum melihatnya kesakitan.

"Yah, pingsan padahal Aku ingin menyiksamu" Bisik Thava tepat ditelinga Thavi.

Lelaki itu masih bisa mendengar kalimat terakhir yang dibisikkan kembarannya, sayangnya rasa sakit yang keterlaluan membuat tubuhnya lemah dan jatuh pingsan.

***

Pagi ini matahari nampak malu menunjukkan sinarnya, bintang besar itu lebih memilih bersembunyi dibalik awan daripada menunjukkan sinarnya yang terang.

rintikan kecil dari sang alam menyapa, burung-burung berterbangan menuju sangkarnya masing-masing.

Thavi membuka jendela kamarnya, memandang air hujan yang tak terlalu deras itu kemudian bersiap diri sebelum berangkat ke sekolah.

Suhu tubuhnya sudah menurun, tetapi tubuhnya masih terasa lemas. Mungkin karena dia jarang makan, mungkin sebelum ke sekolah dia akan membeli roti terlebih dahulu untuk mengganjal perutnya.

Di bawah sana semua orang sibuk dengan urusan mereka masing-masing, seperti rutinitas yang biasa mereka lakukan setiap harinya. Pelita menyiapkan makanan, Jonathan yang sibuk membaca majalah sambil sesekali mengecek ponselnya dan Thava yang hanya duduk dimeja makan sembari menunggu makanan siap disajikan.

"Selamat pagi." Sapa Thavi.

Semua bungkam tak ada yang menjawab, mereka seolah menulikan rungu mereka kala sapaan lembut itu menyapa indera pendengar.

Thavi tersenyum kecut, sapaannya diabaikan. Lelaki itu menarik kursinya untuk duduk, namun belum juga dia duduk Ayahnya membuka suara.

"Tidak ada sarapan untuk mu, cepat bergegas ke sekolah." Ucap Jonathan

Thavi tak membantah karena membantah perkataan Ayahnya sama saja dengan mencari mati, jadi lebih baik dia mengalah.

"Kalau begitu Thavi pergi dulu." Katanya.

Thavi mengulurkan tangannya ke Jonathan, berniat untuk bersalaman dengan Ayahnya namun bukannya membalas uluran tangan puteranya Jonathan malah menatap tajam seolah apa yang dilakukan Thavi sekarang menganggunya.

THARAVI [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang