Terhitung sudah satu minggu Thavi masih setia dengan tidur panjangnya, entah mimpi indah apa yang setiap hari dilihatnya sampai lelaki itu enggan membuka mata barang sejenak saja.
Hilmi dan Vionna juga tidak pernah absen mengunjungi Thavi yang tak pernah menunjukkan adanya perubahan selain irama jantung yang masih berdetak normal.
Seperti sekarang, keduanya telah sampai di depan ruang rawat. Sudah seminggu ini mereka berdua hanya bisa melihat Thavi dari balik kaca kecil yang ada di pintu.
Vionna sesekali menarik napasnya dalam, matanya menatap lurus kearah dalam. Dia bisa melihat bagaimana sahabatnya itu berjuang mempertahankan kehidupannya dengan berbagai alat medis yang terpasang, sayangnya tidak ada satu pun keluarganya yang menjenguk kecuali Jonathan yang hanya datang untuk membayar biaya administrasi.
Hilmi pernah tanpa sengaja bertemu dengan Ayah Thavi dan bertanya apakah pria itu tidak ingin melihat kondisi anaknya barang sekali saja. Terkadang lelaki itu heran mengapa ada orang tua yang tega menyiksa anaknya sendiri. Ya, Hilmi tau semuanya semenjak Thavi dirawat di rumah sakit, lelaki itu berinisiatif mencari tahu tentang kehidupan Thavi saat melihat reaksi keluarganya yang sepertinya tidak menyukainya.
"Tapi, apa alasan mereka tidak menyukainya?" Lirih Hilmi sembari melihat kearah Thavi yang masih tertidur dengan napas yang berjalan normal.
"Apa? Kau berbicara sesuatu?" Tanya Vionna yang samar-samar mendengar Lirihan Hilmi.
"Tidak ada, aku hanya bingung kenapa keluarganya tidak menyukainya bahkan dalam seminggu ini selama kita menjenguknya aku sama sekali belum melihat Bundanya." Ujar Hilmi.
Vionna menyandarkan punggungnya pada kursi yang sejak tadi dia duduki, berbeda dengan Hilmi yang lebih memilih untuk berdiri. Gadis itu menjulurkan tangannya, mengusap surai Thavi yang lepek akibat tidak dibersihkan.
"Terkadang ada orang tua yang tidak menginginkan kehadiran anaknya, atau orang tua yang menuntut anaknya menjadi sempurna namun sang anak tidak bisa memenuhi standard orang tuanya dan menurutku Thavi adalah opsi kedua." Jelas Vionna mengeluarkan pendapatnya.
"Jadi hanya karena dia tidak lebih pintar dari kembarannya orang tuanya tidak menyukainya?" Tanya Hilmi.
Vionna menoleh kearah lelaki yang berdiri disampingnya itu lalu menganggukkan kepala sebelum kembali ke posisi semula.
"Bukan kah setiap anak memiliki tingkat kecerdasannya masing-masing."
"Tapi tidak semua orang tua bisa menerima hal itu. Bagi mereka adalah kecerdasan diatas segalanya, akademik menjadi hal yang paling utama." Jelas Vionna sembari menatap lelaki pucat yang matanya masih terpejam.
"Kapan kau bangun?" Tanya Vionna pada Thavi yang mungkin tidak akan bisa mendengar ucapannya barusan.
Thavi sudah melewati masa krisisnya sejak empat hari lalu dan sekarang dia sudah dipindahkan di ruang rawat, sudah tidak lagi berada di ICU hanya saja lelaki itu masih tidak mau untuk bangun.
Hilmi berjalan beberapa langkah lebih dekat kearah sahabatnya itu, tanpa sadar air matanya terjatuh kala netra coklat gelapnya tanpa sengaja melihat kearah leher Thavi dengan luka jahit yang sudah mengering.
Orang tua mana yang tega menggorok leher anaknya sendiri seperti hewan qurban? Dan anak mana yang tahan dengan kelakuan bajingan Ayahnya?
"Kenapa kau bisa sekuat ini?" Monolog Hilmi, jika dia berada diposisi Thavi dia pasti lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Lagi pula untuk apa hidup tanpa kasih sayang keluarga? Hanya luka yang setiap harinya digores dan selalu was-was dengan apa yang akan terjadi esok hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
THARAVI [HIATUS]
Teen FictionTharavi hanya mau meniup lilin ulang tahun bersama keluarganya dan juga merasakan pelukan. Permintaan sederhana namun sukar untuk terwujud