Thavi membuka pintu rumah dengan perasaan takut. Hari sudah malam, tubuhnya basah karena bermain hujan bersama Hilmi dan Vionna. Dengan gemetar tangannya terulur membuka gagang pintu.
Gelap, itu lah hal pertama yang dia lihat. Thavi menyalakan ponselnya melihat jam digital yang tertera di layar.
18.30.
Masih terbilang masih sore, belum terlalu malam. Lalu kenapa semua lampu mati? Apa karena lampu mati? Tapi sepertinya tidak, lampu tetangganya semua pada menyala.
Klik.....
Thavi memicingkan matanya saat cahaya terang menerobos masuk kedalam retina. Saat matanya sudah mulai terbiasa dengan cahaya yang ada dia dikejutkan oleh Ayah, Bunda serta Thava yang berdiri didepannya.
Jonathan dengan tampangnya yang datar tetapi sorot matanya menyorotkan amarah membuat Thavi tanpa sadar meneguk salivanya.
Lelaki itu sudah sering melihat kemarahan Ayahnya, tetapi kali ini sepertinya dia harus berdoa kepada Tuhan agar diberi panjang umur. Sebab, saat bola matanya tanpa sadar melirik kearah tangan kiri Ayahnya dia bisa melihat kunci berwarna emas.
"Ayah, maafkan Aku. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Racau Thavi saat Jonathan menarik kasar tangannya.
Jonathan menulikan pendengarannya, pria itu terus menggeret puteranya melewati Thava dan istrinya yang seolah tidak peduli dengan apa yang mereka lihat.
Brughhh
Badannya dilemparkan begitu saja ke sebuah ruangan gelap yang ada didalam rumahnya, ruang rahasia yang mana hanya mereka saja yang tahu tempat itu.
Ruang bawah tanah, merupakan ruangan yang paling dihindari oleh Thavi. Dia lebih baik masuk kedalam ruang penyiksaan. Mau sebanyak apapun cambukan yang dilakukan oleh Ayahnya Thavi bisa menerima semua itu, tetapi tidak dengan ruang bawah tanah.
Dia sangat takut berada ditempat sempit dan gelap, cahaya yang masuk minim. Hanya dari lubang ventilasi yang ada di dinding, bahkan ruangan ini juga tidak ada jendela membuat pergantian udara sangat minim dan berakibat ruangan pengap.
"Arghssss, dada ku." Dia merintih merasakan berat pada dadanya.
Rasa traumanya terhadap ruang gelap dan sempit membuat napasnya tak beraturan. Wajahnya mulai terlihat pucat akibat asupan oksigen yang kurang.
Cklek....
Suara pintu terbuka itu membuat Thavi menengok, Pelita datang dengan nampan berisi makanan dan minuman. Tanpa suara wanita itu meletakkan nampan tersebut dengan kasar membuat sedikit kuah sup terciprat di lantai.
Thavi menatap pintu yang kembali tertutup rapat, bibir pucatnya menyunggingkan senyum tipis. Dia percaya bahwa sebenarnya Bundanya masih menyayanginya, hanya saja tertutupi oleh egonya yang tinggi.
Jika Bunda sudah tidak sayang dengannya lagi, mana mungkin wanita itu akan membawakannya makanan dan juga obat.
***
Vionna tengah menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru matematika tadi pagi dan harus dikumpulkan besok.
Awalnya dia tidak tahu atau lebih tepatnya lupa jika ada tugas yang harus dikerjakan, untung saja temannya memberitahunya tadi lewat chat.
Vionna merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku, tulang-tulangnya sampai berbunyi karena terlalu lama duduk. Sepertinya sudah hampir dua jam gadis itu duduk tanpa bergeser sedikitpun.
"Papa sama Mama udah pulang belum yah?" Monolognya sambil menatap jam Beker berbentuk Snoopy yang ada diatas meja belajarnya.
Jarum jam menunjukkan pukul 21.45, sepertinya orang tuanya belum sampai rumah. Mengingat kesibukan orang tuanya membuatnya terkadang iri dengan teman-temannya yang mempunyai waktu lebih bersama keluarga sedangkan dia tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
THARAVI [HIATUS]
Teen FictionTharavi hanya mau meniup lilin ulang tahun bersama keluarganya dan juga merasakan pelukan. Permintaan sederhana namun sukar untuk terwujud