Pada akhirnya Thavi harus bisa menerima keputusan dari dua orang dewasa didepannya. Skorsing selama satu Minggu atas kesalahan yang tidak dia perbuat.
Sekarang dia hanya bisa pasrah apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini, sebab Ayahnya yang duduk disebelahnya sepertinya sudah memikirkan siksaan apa untuk dirinya sepulang nanti.
"Sekali lagi maaf atas kesalahan anak saya Pak, Bu." Ucap Jonathan.
Pria itu berdiri dan menunduk kepada kedua orang didepannya. Kepala sekolah dan guru BK terlihat menganggukkan kepala.
"Tidak masalah, namanya juga anak remaja Pak. Wajar jika anak seumuran Thavi membuat ulah." Kata Guru BK tersebut.
Jonathan berpamitan kepada mereka begitu pula dengan Thavi. Lelaki itu berjalan menuju kelasnya untuk mengambil tas. Didepan pintu Thavi bisa melihat Hilmi dan Vionna menunggu dirinya di bangku yang terletak di pojok belakang.
Thavi berjalan tanpa memperdulikan cemohan teman-temannya. Para manusia itu tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya dan lebih memilih main hakim sendiri tanpa peduli cerita asli. Hilmi menatap sahabatnya itu dengan mata penuh iba, seharusnya dia bisa membela sahabatnya yang sama sekali tidak melakukan kesalahan, sayangnya dia tidak memiliki kuasa apapun.
Vionna pun demikian, gadis itu hampir saja menjatuhkan air matanya kalau saja dia tidak mati-matian menahan air mata yang sudah terkumpul di pelupuk matanya. Tangannya mengepal, dia tidak pernah menyangka bahwa Thava akan sejahat itu pada kembarannya sendiri.
"Maaf..." Thavi berucap sembari tersenyum.
Mendengar suara lirih itu pertahanan keduanya runtuh, Hilmi menangis begitu juga dengan Vionna yang menggigit bibir bagian dalamnya. Keduanya memeluk tubuh Thavi membuat lelaki itu sempat mundur beberapa langka karena tidak siap.
"Hei, kalian kenapa menangis?" Tanya Thavi merasa heran dengan kedua manusia yang masih memeluknya.
Keduanya tak menjawab justru semakin mengeratkan pelukan, Thavi juga bisa merasakan salah satu dari mereka mengusapkan ingusnya pada seragam miliknya dan dia yakin bahwa Hilmi adalah pelakunya. Sejenak mereka bertiga diam dengan posisi mereka sekarang sebelum suara Jonathan membuyarkan semuanya.
Thavi melepaskan pelukan kedua sahabatnya saat suara berat Ayahnya memanggil dan memintanya untuk segera pergi. Thavi berpamitan dengan Hilmi dan Vionna, melambaikan tangan dan terdenyum singkat.
"Tidak lama, hanya satu Minggu. Jaga diri kalian baik-baik." Ucap Thavi.
"Tolol." Hildan berucap kemudian menarik dalam ingusnya sampai lelaki itu bisa merasakan cairan kental yang menyangkut di tenggorokannya.
Thavi melirik sekilas kearah Vionna tangannya terulur mengusap lembut surai gadis itu. Vionna hanya terdiam dengan air mata yang masih mengalir.
"Nitip Hildan yah, Aku seminggu lagi bakal balik kok gak usah khawatir." Ujarnya sembari tersenyum.
Vionna hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Thavi kemudian mengambil tasnya dan beranjak keluar melewati kerumunan yang menyorakinya. Dan dia tidak peduli akan hal itu.
***
Jika ruangan bawah tanah sudah dianggap menyakitkan, masih ada ruangan lain yang lebih dari itu. Namanya ruang penyiksaan yang letaknya dibelakang halaman rumah. Entah kapan terakhir kali dia datang kesini, itu sudah sangat lama.
Kreettt.....
Pintu yang terbuat dari besi itu terbuka. Thavi meneguk ludahnya kasar sudah lama dia tidak mengunjungi tempat ini dan apakah sekarang siksaan menyakitkan itu datang lagi?
Ruangan yang hampir tidak terpakai itu terasa begitu pengap saat Jonathan mendorongnya masuk. Bisa dilihat berbagai alat dari versi yang tersusun rapi di tembok kayu membuatnya lagi-lagi meneguk kasar ludahnya.
Uhukk... Uhukk....
Dia batuk beberapa kali saat udara kotor itu terhirup terlalu dalam olehnya. Ruangan yang pengap membuatnya harus bernapas lebih extra namun disisi lain debu akan langsung masuk ke tenggorokannya dan berakhir dirinya batuk seperti tadi.
Jonathan menyalakan saklar lampu, lampu berwarna kuning itu sama sekali tidak membantu penerangan. Ruangan ini benar-benar hanya dikelilingi dinding kayu jati tanpa ada satu pun ventilasi sebagai tempat bertukarnya udara. Lampu kuning yang diyakininya tak lama lagi akan mati itu juga tidak bersinar dengan sebagaimana mestinya. Ruangan ini tetap gelap.
Jonathan berjalan menuju salah satu benda berbentuk tabung yang terbuat dari besi dengan rantai sebagai peganannya. Benda itu tidak terlalu berat namun sangat sakit apabila dipukulkan.
"Arghhsss.... AYAH MAAF...." Teriak Thavi yang tidak akan didengar oleh siapapun. Meskipun ada yang mendengarnya tidak akan ada yang peduli.
"Memalukan!! Bisa-bisanya kau membuat Ayah mu malu seperti ini" Ucap Jonathan dan kembali mencambukkan benda besi itu ke punggung puteranya.
Jonathan memberinya siksaan tanpa ampun, tidak ada kesempatan untuk lelaki malang itu menjelaskan semuanya dan rasanya percuma jika dia bercerita. Ayahnya tidak akan percaya kepada ceritanya.
Jonathan masih memukul Thavi dengan benda yang sama, tanpa peduli teriakan kesakitan dari bibir puteranya. Tak peduli wajah pucat anaknya yang menahan sakit dan tak peduli akan tulang-tulang Thavi yang mungkin saja remuk akibat pukulan itu.
"KAU BENAR-BENAR ANAK SIALAN!! KENAPA KAU HARUS HIDUP BAJINGAN!!!" Jonathan berteriak murka dan jujur saja Thavi takut sebab Ayahnya tidak pernah semarah ini.
"AYAAAHHH...." Thavi berteriak keras saat melihat Ayahnya membanting benda besi yang tadi digunakan untuk memukulnya kearah kakinya.
Tak hanya darah yang mengucur tetapi juga dia bisa merasakan bahwa tulangnya remuk. Darah segar itu terus mengalir tanpa henti membuat Jonathan yang tadinya terselimuti oleh amarah seketika sadar apa yang telah diperbuatnya.
"Sialan!" Umpatnya kemudian menggendong Thavi dengan segera dan membawanya ke rumah sakit.
Sementara Thavi mati-matian menahan rasa sakit di kakinya.
***
Vionna tengah berdiri di balkon kamarnya, seharian ini sama sekali tidak ada kabar dari Thavi di grup chat. Pesan pribadi yang dikirimnya saja tak satu pun yang dibalas membuat gadis itu khawatir.
Langit malam yang terlihat sunyi menemani rasa sepinya, gadis itu tinggal sendiri di rumah yang luas sementara kedua orang tuanya masih berada di luar negeri.
Udara yang semakin dingin tak membuatnya segera beranjak dari sana. Gadis itu masih setia memandangi langit malam sambil sesekali mengecek ponselnya siapa tahu Thavi membalas pesannya.
Tring....
Sesaat setelah ponselnya berbunyi Vionna langsung mengecek pesan masuk. Awalnya dia senang mendengar bunyi notifikasi namun saat tahu siapa pengirimnya wajahnya menjadi kembali sendu, namun dia tetap membaca pesan tersebut.
Vionna membelalakkan matanya saat membaca isi pesan dari Hilmi, tanpa pikir panjang dan tak peduli sekarang jam berapa gadis itu langsung menyambar jaket dan kunci mobilnya sambil berusaha menghubungi Thavi untuk memastikan semuanya tidak benar.
Vio, Thavi dirawat dia kritis.
###
Tengkyu 💚
KAMU SEDANG MEMBACA
THARAVI [HIATUS]
Teen FictionTharavi hanya mau meniup lilin ulang tahun bersama keluarganya dan juga merasakan pelukan. Permintaan sederhana namun sukar untuk terwujud