Hujan tanpa Air

61 9 3
                                    

Thavi semakin mengeratkan selimut yang dikenakannya, tubuhnya menggigil padahal cuaca tidak mendung bahkan cenderung panas karena matahari sudah bersinar dengan teriknya.

Mata indah dengan bulu mata lentik itu masih terpejam, dia sadar jika hari sudah pagi tapi sayang matanya enggan untuk terbuka. Napasnya naik turun tak beraturan, racauan tak jelas keluar dari bibir ranumnya yang pucat.

Cklek...

Suara pintu terbuka, tak tahu siapa yang membuka pintu sampai akhirnya pekikan seseorang yang dikenalnya terdengar oleh rungunya.

"Astaga Thavi...." Bi Mina memekik saat mendapati Thavi terbaring dengan kondisi yang cukup mengenaskan.

wajah pucat, tubuh menggigil dibalik selimut merahnya dan juga racauan tak jelas yang sejak tadi dia ucapkan.

Bi Mina buru-buru mengambil air di baskom dan juga kain untuk mengompres badan Thavi.

Tubuhnya langsung bereaksi saat kain basah itu ditempelkan di dahinya. Perlahan kedua matanya terbuka, meskipun sulit namun dia berusaha membuka matanya.

"Bibi...." Lirih Thavi sekuat tenaga.

Bi Mina tersenyum, kemudian mengambil kain di dahi Thavi dan merendamnya ke dalam baskom berisi air yang selanjutnya kain tersebut diremas kuat untuk mengeluarkan airnya.

Bi Mina menyeka tubuh Thavi dengan air suam-suam kuku, dimulai dari leher, tangan, sampai kaki.

"Tidak usah sekolah dulu yah, nanti Bibi bilang ke Tuan." Ucap Bi Mina.

Thavi hanya diam, disaat sakit seperti ini bukan Bundanya yang merawat justru orang lain yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengannya.

Ah apa jangan kan merawatnya saat sakit, melihat rupanya saja wanita itu enggan. Padahal dia dilahirkan di rahim yang sama dengan kembarannya namun perlakuannya berbeda.

Sangat berbeda, bagaikan langit dan bumi. Saat Thava dibesarkan dengan kasih sayang dirinya justru dibesarkan dengan caci maki.

"Sudah, setelah ini Bibi buatkan bubur dan carikan obat." Ucap Bi Mina yang lagi-lagi tidak dijawab oleh Thavi.

Bukannya enggan untuk berbicara hanya saja tubuhnya terlalu lemah untuk sekedar membuka suara.

Thavi kembali memejamkan matanya saat suara pintu mulai tertutup.

***

"TIDAKK!! SIAPA KAU MEMERINTAH KU HA? ANAK ITU HARUS TETAP SEKOLAH." Jonathan berteriak marah saat Bi Mina mengatakan bahwa Thavi sakit dan meminta agar diliburkan sehari saja.

"Tapi Tuan...."

Bi Mina belum selesai dengan perkataannya tetapi Jonathan sudah terlebih dahulu berjalan ke lantai atas menuju kamar Thavi.

Sesampainya di kamar Thavi, pria itu dengan kasarnya menarik selimut yang membungkus tubuh Thavi sampai leher. Karena tindakan Jonathan itu Thavi terkejut.

"A.... Ayah..." Lirihnya lemah.

"Sekolah!! Tidak ada alasan sakit, nilai mu jauh lebih penting dari apapun!!" Perkataannya mutlak, tidak ada yang bisa membantah.

Jonathan langsung pergi dari sana, meninggalkan Thavi dan Bi Mina di dalam kamar.

"Thavi...."

Lelaki itu tersenyum dengan wajah pucatnya. Perlahan dia mengubah posisinya dari rebahan ke duduk, sampai dirasa kakinya sudah siap menopang tubuhnya perlahan dia mulai menurunkan kakinya dari atas ranjang.

THARAVI [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang