Dibandingkan

84 9 2
                                    

Langit kembali menumpahkan rasa sakitnya, entah apa yang dialami oleh malaikat diatas sana sampai-sampai penduduk bumi harus ikut merasakan kesedihannya. Tak terkecuali Thavi, yang tengah duduk di bus sembari menyenderkan kepalanya ke jendela. Hujan di luar sana cukup deras ditambah hari yang sudah gelap membuat pandangannya sedikit kabur.

Thavi memainkan jemarinya di kaca bus, hujan mengakibatkan kaca di bagian dalam mengembun. Jarinya bermain disana, menggambar dengan acak tak beraturan. Bangku di sebelahnya kosong tidak ada yang menduduki membuat dirinya merasa kesepian karena tidak ada teman mengobrol.

dua puluh menit berlalu, bus yang ditumpangi sudah sampai di halte pemberhentiannya. Thavi dengan segera menyambar tasnya yang diletakkan dibawah kakinya dan turun dari bus.

"Bagaimana cara ku pulang? Aku tidak membawa payung." Gumamnya yang kini duduk di kursi halte seorang diri.

Thavi terus memandangi hujan yang turun semakin deras, bagaimana caranya dia pulang? Tidak mungkin menerobos hujan mengingat hujan yang sangat lebat ditambah imunnya yang rendah membuatnya mudah sekali jatuh sakit.

Ya, kesehatan Thavi tidak seperti kebanyakan orang pada umumnya yang meskipun pulang hujan-hujanan tetap sehat. Lelaki itu mudah sekali jatuh sakit dan musuh terbesarnya adalah hujan.

"Tetapi jika Aku tidak menerobos hujan Ayah dan Bunda pasti akan marah." Sekali lagi dia bergumam pada diri sendiri sembari melirik arlojinya.

20.45, angka yang ditunjukkan pada arlojinya. Sekali lagi matanya menatap langit merapalkan doa semoga hujan segera berhenti atau setidaknya reda.

Sayangnya Tuhan tidak mengabulkan doanya, sudah setengah jam Thavi duduk dihalte dan menunggu hujan reda. Dia menatap rumah besar yang jauh diujung sana ya, itu rumahnya.

Thavi berdiri melepas jaket merahnya dan menutupkan pada kepala untuk melindungi dirinya, meskipun sebenarnya itu sia-sia karena dia tetap saja basah kuyup.

***

"Anak sialan!! Apa kau tidak melihat jam berapa sekarang?!!" Jonathan berbicara dengan nada penuh amarah.

Pria itu menatap nyalang kearah Thavi yang berdiri dengan tubuh basah kuyup. Air ditubuhnya menetes membasahi lantai. Tubuh Thavi bergetar kedinginan, jaketnya dia gunakan untuk membalut tubuhnya meskipun itu percuma.

Jonathan berjalan mendekat mencengkram kuat pergelangan tangan Thavi dan menarik paksa untuk mengikuti dirinya.

Tidak, ini bukan saatnya Thavi menerima hukuman.

"Ayah lepas, sakit" Rintih Thavi namun Jonathan acuh.

Jonathan membawa Thavi menaiki tangga, melewati Thava yang sejak tadi menyaksikan diatas sana. Kedua manik coklat gelap itu sempat bersitatap dengan manik hitam legam milik kembarannya. Menatap remeh dengan sudut bibir terangkat seolah rasa sakit yang dirasakan oleh kembarannya adalah kebahagiaan untuknya.

"Harusnya kamu saya hukum cambuk, tapi karena saya malas hukuman mu berubah menjadi belajar."

Kini mereka berdua berada di kamar Thavi, Jonathan menyuruhnya duduk di meja belajar sedangkan pria itu berjalan kearah laci yang terletak disamping lemari pakaian. Thavi yang tahu apa hukuman yang akan diberikan padanya hanya pasrah.

bughh....

Buku tebal tepat berada di hadapannya, saking tebalnya bahkan buku itu bisa menutupi apapun yang ada dihadapan Thavi sekarang.

THARAVI [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang