kisah akala: Tidak dianggap.

61 21 14
                                    

Akala membuka pintu rumahnya kemudian duduk di samping rak sepatu, kedua matanya fokus menatap ke depan sana sambil mengenakan sepatu, terlihat di celah pager kalau Alvero sedang memainkan ponselnya, laki-laki itu tak turun sama sekali dari motor kesayangan miliknya. Alvero benar-benar terlihat sangat tampan. rambut hitam yang ditata sangat apik dengan sedikit memperlihatkan keningnya, dan kacamata yang menjadi point utama dalam setiap penampilan laki-laki itu. jangan lupakan jaket hitam yang semakin membuatnya terlihat keren.

Akala tersenyum kecil, terkadang dirinya selalu merasa insecure saat melihat Alvero dan Radian. kedua sahabatnya itu bisa di bilang memiliki paras yang sempurna untuk anak seusia mereka. kulit putih, hidung mancung, rahang tegas, apalagi yang mereka tidak punya? bahkan Alvero memiliki ciri khas tersendiri yakni eye-smile. sedangkan dia, bahkan para siswi disekolah enggan berdekatan dengannya. satu dari banyak perkataan yang membuat akala sakit hati dari teman sekelasnya adalah. 

"Jangan mau berteman dengan Akala, nanti ketularan hitam seperti malikanya petani"

Akala bangkit dan berjalan perlahan, laki-laki itu membuka pager rumahnya dengan penuh kekuatan hingga suara gesekan besi itu terdengar sangat nyaring dan mengagetkan Alvero yang sedari tadi fokus dengan ponsel di genggamannya.

"Santai dong, kal" omel Alvero yang terkejut, hampir laki-laki itu melempar ponselnya sendiri.

"Sorry. ini pagernya memang sudah agak lama jadi sedikit berkarat, padahal kemarin gue sudah bilang sama mang usep untuk kasih minyak atau oli biar nggak bising kalau dibuka, tetapi kayanya mang usep lupa" jelas Akala panjang lebar.

"Ya sudah, mau berangkat kapan?" tanya Alvero menutup penuturan panjang Akala.

"Sekarang lah, lo bawa helm nggak?"

"Cuma satu" jawab Alvero sambil mengangkat helmnya.

"Gue ambil helm dulu sebentar" ujar Akala sebelum kembali berlari masuk ke dalam garasi rumah untuk mengambil helm hitam kebanggaannya.

Tidak butuh waktu lama bagi Alvero untuk menunggu Akala mengambil helm, laki-laki itu kini sudah kembali dengan helm di tangannya. "ayo naik, nanti keburu telat" titah Alvero.

Akala pun mengangguk lantas mengenakan helm dan kemudian menaiki motor Alvero, setelah sahabatnya naik Alvero langsung tancap gas pergi menuju sekolah.

Angin pagi ini terasa sangat tidak enak di tubuh akala, mungkin kah anginnya yang salah atau tubuhnya yang sedang bermasalah.

"Tumben lo nggak bawa motor, kenapa?" tanya Alvero untuk membuka obrolan, semoga temannya ini mendengar kata-katanya.

"Nggak berani, takut jatoh di tengah jalan" jawab Akala disertai kekehan dia di akhir kata.

"Alasannya?"

"Hadiah bokap"

"Terus sekarang, lo yakin mau ke sekolah?" tanya alvero kembali.

"Kalau gue nggak sekolah, gue pasti akan dapat yang lebih dari ini" tutur akala. dia merasa sangat lelah menghadapi segala kekacauan ini. walaupun memang ini salahnya telah melaggar aturan yang di buat oleh kedua orang tuanya.

"Memang lo pulang ada mereka?" tanya Alvero memancing agar sahabatnya bercerita secara tidak langsung.

"Lo pasti tahu gunanya cctv di rumah gue buat apa"

Bilang saja lah Akala bodoh, dia semalam sudah kegirangan setengah mati saat mendapati orang tuanya sudah tertidur di dalam kamar mereka. dia lupa kalau setiap sudut rumahnya di pasangkan cctv yang akan selalu mengawasi gerak-geriknya selama 24 jam.

"Gue capek ver. gue capek dengan semua ini" seru akala tiba-tiba membuat Alvero menatapnya melaluikaca spion. wajah lusuh akala dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipi laki-laki itu membuat hati Alvero berdesir. dia ingin sekali membantu Akala, tetapi dia tidak tahu harus berbuat apa. hidupnya saja sudah banyak sekali sandiwara, dan dia tidak mau kalau bantuannya justru akan semakin membuat Akala menderita.

Kisah AkalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang