Udara dingin yang menyapa diseluruh penjuru ruangan, gemercik air yang turun dari langit disertai petir yang saling bersahutan sangat memekakkan telinga. langit bergemuruh, seolah ikut andil dalam nestapanya malam ini.
Dia menatap kedua tangannya dengan tatapan sendu. tangan yang terus bergetar hebat inilah yang tadi dia gunakan untuk memeluk Mama Radian, yang selalu dia gunakan untuk menghapus air mata yang mengalir membasahi pipinya, dan dengan tangan ini banyak kejadian yang sudah dia lakukan sepanjang kehidupannya.
Arah pandangnya jatuh kepada sebuah foto yang terletak di depan sana, dadanya terasa sesak. tiba-tiba saja tersirat ribuan kata yang menyakitkan. sebulir cairan bening jatuh membasahi pipinya.
"Kenapa harus saya Tuhan" lirihnya, dingin malam semakin menyelimuti jiwa.
Dibenaknya berkecambuk semua hal. semuanya berisik, berteriak tidak ada hentinya, gusar tak karuan.
"Tuhan, takdir mu melukai ku"
Jika saja dia bisa berteriak dengan lantang tentang apa yang dia inginkan, pasti kehidupannya tidak akan seperti ini. tidak akan pernah ada namanya sakit hati dari setiap perkataan yang terlontar dari kedua orang tuanya, dan tidak akan ada berpuluh-puluh pukulan yang mendarat di tubuhnya.
Jika saja dia bisa memilih jalan kehidupannya mungkin kah dia tidak akan terjebak pada lingkaran kelam ini, mungkin kah dia tidak akan menetes kan ribuan air mata setiap harinya, mungkin kah dia tidak akan mengeluarkan ratus kata maaf dan permohonan dalam setiap paginya.
Jika saja dia mampu bersikap lebih dewasa, jika saja dia mampu menjadi lebih kuat, dan jika saja dia bisa menerima seluruh kehidupannya. akankah seluruh kisah ini tersampaikan?
Terkadang terlintas dibenaknya, apakah takdir yang memilih dirinya ataukah tuhan membencinya juga seperti kedua orang tuanya.
"Tuhan, ini terlalu berat untukku. rasanya sangat sakit." ucap Akala di sela tangisannya.
Biarkan lah untuk malam ini tuhan melihat sisi lemah dirinya. dia sudah terlalu lelah berpura-pura kuat diantara jutaan rasa sakit yang selalu menghantam tubuh serta mentalnya.
"Banyak orang bilang katanya berdoa dikala hujan pasti akan mudah terkabul, aku ingin meminta padamu Tuhan. Tuhan pemurah dan penyayang yang selalu mendengar segala permohonan hambanya." Akala bangkit, berjalan menuju balkon. tangannya dia ulurkan untuk menyentuh tetesan air yang membasahi bumi.
"Aku mohon Tuhan. aku butuh sosok orang tua yang selalu menemani hari-hariku, aku butuh pelukkan mereka bukan tendangan ataupun pukulan dari mereka, aku mau tangan mereka lah yang menyanggah tubuh ini saat aku mulai merasa lelah bukan tangan yang selalu digunakan untuk menyiksaku. aku sakit tuhan, tubuhku dan juga mentalku"
"Kalau pun kau tidak bisa mengabulkan doaku panggil sajalah aku untuk berada di sisimu. aku rela Tuhan, sekalipun nanti aku datang menghadapmu dengan caraku sendiri."
"Tuhan, keinginan ku banyak sekali ya?" ucap Akala diiringi tawa yang justru membuatnya semakin terlihat menyedihkan. tawa yang dipaksakan itu akhirnya kembali teredam oleh tangisannya. luka yang selama ini dia tutupi pada malam ini terbuka lebar, topeng yang selalu dia gunakan terlepas entah bagaimana.
"Setiap senyum ku ini palsu, tawa ku ini hanya bersifat sementara. kebahagiaan ini hanya lelucon yang selalu ku tampilkan dihadapan semua orang, tetapi malam ini dihadapan mu, ini lah diriku yang asli. inilah akala mannaf kanagara yang sesungguhnya, laki-laki lemah, pengecut dan mudah menangis."
"Aku rapuh tanpa mereka Tuhan, aku ingin seperti yang lainnya. egoiskah diriku jika memintamu untuk membuat semua orang memiliki nasib yang sama sepertiku? aku ingin mereka merasakan bagaimana jadi diriku, aku ingin mereka tahu dibalik sempurnanya tubuhku ada sesuatu yang cacat, yaitu kebahagiaan ku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Akala
Ficción GeneralSederhana saja, cerita ini hanya mengisahkan bagaimana kehidupan seorang akala mannaf kanagara. Serta tentang rasa yang harus abadi dalam bait aksara, tentang asmaraloka yang menjadi melankolia, dan tentang harsa yang harus menjadi lara. "Mati. Aku...