(10)

13 2 0
                                    


Dengan perasaan ragu, Razzel memasuki ruang kelasnya yang sudah agak ramai. Setelah insiden kamarin, Razzel merasa sangat bersalah dan tak ingin melihat raut kekecewaan saudara saudaranya.

Dari awal juga sebenarnya ia sama sekali tidak mau menuruti permintaan Shean. Kalau bukan karena vampire itu dapat membantunya mengetahui masa lalunya, ia benar benar tidak sudi bekerjasama dengannya.

Ketika melewati meja Lester, ia dapat merasakan dengan jelas pemuda itu memperhatikan setiap langkahnya. Terasa benar benar tidak nyaman.

Pemuda bermata rusa itu mencoba untuk tidak mempedulikannya dan berjalan menuju mejanya. Ketika ia baru saja menjatuhkan pantatnya di atas kursi, Lester sudah berdiri di depan mejanya dan menatapnya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan.

Razzel membuang pandangannya ke bawah, tak berani menatap Lester lebih lama. "Yang di katakan Kenzo itu bohong atau benar?"

"A-apa maksudmu?"

"Aku yakin kau mengerti maksudku. Kau bersekutu dengan Shean atau tidak?"

"Kau sudah dengar sendiri dari Kenzo."

"Berarti itu benar? Tapi aku rasa sebenarnya tujuanmu bukan seperti yang dikatakan Kenzo, benarkan?"

Razzel mendongkak menatap Lester yang juga menatapnya dengan tatapan teduh. Ia kemudian tersenyum tipis sembari menepuk bahu Razzel.

"Aku percaya kamu bukan orang yang seperti itu. Apapun tujuanmu sampai rela bersekutu dengan Shean, itu pasti yang terbaik untuk dirimu sendiri. Pasti itu karena masa lalumukan?"

Razzel mendesah pelan, menahan air matanya untuk tidak keluar dan membajiri pipinya. Ia terharu karena masih ada orang baik yang percaya padanya disaat suadara sudaranya yang lain menjauhinya.

"Terima kasih, kau masih percaya padaku."

"Memang pada kenyataanya kau harus meminta bantuan pada Shean karena hanya dialah yang bisa membantumu dalam hal ini. Simon tak bisa banyak membantumu, pria itu tak tau banyak tentang dirimu, tapi bertindak seolah dia tau segalanya tentang dirimu."

"Maksudmu?"

"Simon hanya tau Aura adalah adikmu, karena itulah dia mengizinkanmu membawa tisu yang ku bawa tempo hari lalu dan berharap kau mengingat adikmu lewat aroma darah yang ada di tisu itu."

Razzel hanya mengangguk angguk paham. Mungkin Simon tak ingin mengecewakan dirinya yang telah banyak berharap.

"Kau tinggal bersama Shean?"

"Yah, begitulah. Glen pasti tidak akan menerimaku setelah tau aku bersekutu dengan vampire itu."

"Jika kau mau, kau bisa tinggal bersamaku. Aku yakin kau sebenarnya tidak nyaman berada di kediaman Shean. Ada sesuatu yang ingin ku bicarakan denganmu, dan ini berkaitan dengan Shean."

Sebelah alis Razzel berangkat. "Apa itu?"

"Kita bicarakan ini nanti. Aku permisi dulu." Lester menepuk pundak Razzel sebelum pergi melangkahkan kakinya keluar dari kelas.

Sementara pemuda bernata rusa itu terus menatap kepergian saudaranya yang lama kelamaan tubuhnya menghilang dari pandangan. Ia penasaran dengan apa yang akan Lester bicarakan padanya. Tak ada salahnya jika ia menginap di rumah Lester malam ini.

Tapi jika tinggal di rumah Lester untuk jangka waktu yang lama sepertinya tidak bagus. Mengingat saudara sudaranya yang lain pasti akan menghabisinya disaat itu juga dan Lester pasti akan terkena masalah.

Di sisi lain, Aura dan Isabell tengah sibuk menelusuri area lorong sekolah, memeriksa satu persatu ruangan yang ada lewat kaca jendela. Karena kebetulan hari ini para guru sedang melakukan rapat dan para siswa maupun siswi di beri kebebasan, Aura meminta tolong pada Isabell untuk mencari kakaknya.

Sudah banyak kelas yang mereka periksa namun mereka tak menemukan orang yang di cari. Kini keduanya memutuskan untuk duduk di salah satu lorong menuju aula untuk beristirahat.

"Astaga... sangat melelahkan." Ungkap Isabell.

"Maaf ya kak, aku jadi merepotkanmu."

Gadis bermata kucing itu seketika melirik seraya tersenyum. "Tidak perlu merasa seperti itu, aku senang melakukannya. Yah meski resikonya kakiku terasa akan patah karena terus berjalan kesana kemari."

Hening sejenak, keduanya terlarut dalam pikiran masing masing. Aura yang kepalanya dipenuhi sosok kakaknya serta Isabell yang kepalanya dipenuhi oleh rencana kedepannya.

Sesuatu yang familiar terasa oleh indra penciuman Isabell. Mata gadis itu seketika menelusuri sekitar memastikannya. Aura yang melihat itu, mengerutkan dahinya bingung.

"Ada apa? Kakak mencari apa?"

Sadar akan hal itu, Isabell melirik Aura. "A-ah tidak, bukan apa apa."

"Kau yakin? Kita lanjutkan lagi sekarang bagaimana?"

"Tentu saja, kau pergilah duluan, aku akan menyusul nanti."

"Baiklah. Aku pergi." Gadis itu pun bangkit kemudian melangkahkan kakinya ke arah aula. Isabell terus memperhatikannya hingga Aura tak terlihat lagi dari netranya.

Kini ia bangkit, mendekat ke arah tangga di ujung kiri lorong, berlawanan arah dengan jalan menuju aula. Aroma yang familiar itu semakin lama semakin jelas setiap ia mendekat.

Dan ketika sampai, seorang pemuda tinggi tengah berdiri disana, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Dalam sekejap, sebuah pelukan Isabell dapatkan. Begitu erat hingga rasanya Isabell kesulitan untuk bernapas.

"L-lepaskan bodoh!"

Pemuda itu tidak mendengarkan. Ia masih tetap mendekap erat tubuh munggil Isabell. Menuangkan segala kerinduannya terhadap si gadis.

"A-Aldrich! Lepaskan! Aku tak bisa bernapas!"

Barulah Aldrich melepaskan dekapannya pada Isabell. Isabell terengap engap, ia memegangi dadanya yang naik turun.

"Darimana saja kau? Aku sangat merindukanmu."

"Bukan urusanmu." Ketusnya.

Aldrich tiba tiba memegangi kedua bahu si gadis. "Dengarkan aku, Ellenor."

Isabell seketika mendorong Aldrich hingga genggaman tangan Aldrich lepas dari bahunya. Dengan tatapan benci, Isabell tatap mata coklat Aldrich.

"Jangan pernah kau sebut nama sialan itu lagi!"

"Mau sejauh mana kau akan terus berlari, Ellenor? Sudah ku bilang itu semua bukan salahmu, tapi kau terus menerus menyalahkan dirimu sendiri dan pada akhirnya kau tersika sendiri."

Isabell mengepalkan kedua tantannya. Emosinya benar benar akan meledak. "Itu semua terjadi karena dirimu! Kau membuatku terus merasa bersalah seumur hidupku! Karena dirimu, aku kehilangan semuanya! Andai saja kita tidak pernah bertemu malam itu, aku tidak akan hidup seperti ini, Adrich!"

Gadis itu berbalik, ia berlari dengan segala kebencian dalam diri yang membuat dadanya terasa sesak. Air matanya juga mulai menghiasi wajah cantiknya. Setelah sekian lama, akhirnya ia dapat mencurahkan perasaan yang menyiksanya langsung pada si pencipta perasaan itu.

Aldrich membuang napas sesaat dan hendak mengejar Isabell namun kehadiran seseorang menghentikan niatnya.

"Jadi karena dirimu rupanya."

Si pemuda bermata merah terang itu sudah berada di tempat itu sedaritadi. Memperhatikan drama yang Adrich ciptakan dengan 'kekasih' lamanya. Aldrich meliriknya, sebuah senyum mengerikan ia tampakkan pada pemuda itu.

"Ia pintar juga bukan? Menggunakan sihir untuk menutupi jati dirinya. Kalian harus berterima kasih padaku, karena diriku gadis itu akhirnya memiliki kelebihan lain selain wajahnya."

Shean tertawa kecil seraya melangkahkan kakinya mendahului Aldrich. "Kau terlalu merendahkannya. Dia tak sebodoh yang kau pikirkan, Aldrich."























Tbc

Jangan lupa vote & komennya kakak😉

scrlyrrnz
[November, 2022]

Vampire [End]✓ (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang