(03)

46 5 0
                                    

Masa pengenalan lingkungan sekolah telah selesai, kegiatan pembelajaran sudah berjalan secara efektif selama hampir seminggu lebih. Selama itu juga Aura terus terusan menahan rasa tidak nyamannya oleh keberadaan Shean yang masih saja suka memperhatikannya.

Jam pelajaran selanjutnya adalah olahraga, mata pelajaran kesukaan sejuta umat. Aura baru saja kembali dari ruang ganti seorang diri karena Lenna belum selesai mengganti pakaiannya dan meminta si gadis berambut sebahu itu untuk pergi ke kelas duluan. Kelas tampak sepi karena memang hampir seluruh siswi sedang mengganti pakaian dan para siswa sudah berada di lapangan.

Aura memasukan seragamnya ke dalam tas ranselnya, namun ketika ia selesai dan berbalik, jantungnya terasa hampir saja copot karena sosok Shean tiba-tiba sudah berdiri dihadapannya. Seperti biasa, si pemuda bernama belakang Alfarazel selalu menatapnya dengan tatapan mengintimidasi dan kali ini ia menerbitkan sebuah seringaian.

Aura mundur ke belakang saat Shean melangkahkan kakinya mendekat kearahnya.

"H-hei apa mau mu?" tanyanya ketakutan.

Tak ada jawaban, pemuda itu masih terus melangkah kearahnya. Sial kini punggung Aura sudah menabrak loker yang berada di belakangnya. Shean terus mendekat hingga jarak diantara keduanya hanya sekitar dua puluh senti meter. Mata coklat Shean berubah menjadi merah terang.

Bodohnya Aura malah menatap merah itu yang membuatnya terhipnotis. Dalam pengelihatannya, Aura melihat kejadian sepuluh tahun lalu. Air matanya menetes disusul oleh tetesan tetesan lainnya, seperti biasa kejadian itu selalu menjadi trauma baginya.

"Hentikan! Hentikan itu!" teriaknya sambil tetap menatap mata itu.

Aura ingin sekali menutup kedua matanya namun sial seluruh tubuhnya tak dapat ia gerakan.

"Aura!" Panggil Lenna yang membuat Aura kembali tersadar.

Gadis berponi itu mendekat kearah Aura yang tampak gemetar. Lenna mengusap air mata sahabatnya sambil berusaha menenangkannya.

"Hei, kau baik baik saja? Ada apa denganmu?" tanyanya khawatir.

Bukannya menjawab, Aura melirik ke segala arah dan tak menemukan sosok Shean yang tadi berada tepat didepannya.

"Ra? Kau baik baik sajakan?" tanyanya lagi.

"A-aku baik baik saja. A-ayo kita cepat ke lapang saja," ucapnya sambil melangkahkan kakinya keluar kelas.

Lenna menyusulnya setelah memasukan seragamnya ke dalam tas. Ketika diperjalanan, netra Aura tidak sengaja menangkap sosok Shean yang tengah duduk ditepi lapang, segera gadis itu membuang pandangannya.

Jujur sekarang ia merasa merinding setiap melihat Shean. Gerak geriknya yang aneh dan sosoknya yang sering datang serta pergi tiba tiba selalu membuatnya takut. Sebenarnya apa yang pemuda itu inginkan? Kenapa dia bersikap seperti itu hanya padanya saja?

Kelas akhirnya dimulai, semuanya berkumpul ditepi lapang untuk mendengarkan instruksi dari pak Wildan.

Hari ini Aura dan yang lainnya akan mempraktekan permainan bola basket. Dengan acak pak Wildan membentuk kelompok. Kali ini Aura dan Lenna berada dalam satu kelompok yang sama, tentu keduanya kegirangan dengan hal tersebut apalagi Lenna.

Namun kegirangan itu pudar ketika pak Wildan menyebut satu nama anggota kelompok terakhir. Dia tak lain dan bukan adalah Shean, si pemuda berkulit putih pucat. Shean mendekat kearah lingkaran kelompoknya, seketika membuat suana disana langsung terasa sangat canggung.

Akhirnya tiba saatnya kelompok Aura dan kawan kawan bertanding. Permainan berjalan seperti biasa hingga dipenghujung permainan salah seorang dari tim lawan salah sasaran, bola itu bukannya dilemparkan ke teman setimnya melainkan ke arah Aura yang sedang lengah.

Alhasil bola tersebut mengantam keras wajah Aura hingga membuat gadis itu langsung jatuh ke tanah dengan hidung yang mengeluarkan darah.  Semua yang ada disana langsung mengerumi Aura namun berbeda dengan Shean yang justru berbalik membelakangi kerumunan orang itu.

Tangannya terkepal kuat serta rahangnya ikut mengeras, seperti sedang berusaha keras menahan sesuatu. Ada beberapa perubahan fisik yang terjadi pada Shean, seperti kemunculan dua taring tajam pada deretan giginya serta matanya yang berubah merah menyala.

Pemuda itu berlari meninggalkan lapangan karena dirasa tidak mampu menahan hasratnya lebih lama lagi. Sementara Aura akhirnya dibawa ke ruang kesehatan atas usulan dari Lenna, kegiatan pembelajaran kembali dilaksanakan.

🍀🍀🍀

Lester langsung bergegas pergi setelah mendapat panggilan dari pak Wildan yang memintanya untuk membukakan ruang kesehatan yang terkunci. Ketika ia tiba, disana ia melihat dua orang siswi yang telah menunggunya. Lester membuka pintu kemudian mempersilahkan kedua gadis itu untuk masuk.

Mengetahui pasiennya kali ini mengalami mimisan, pemuda itu langsung dengan sigap mengambilkan kotak tisu.

"Terima kasih," ucapnya.

Ada yang janggal, Lester mencium bau darah yang berbeda dari darah pada umumnya, karena baunya terasa lebih kuat.

"Ayo kembali saja ke lapangan Len, aku tidak apa-apa."

"Darahnya masih terus mengalir Ra! Tunggu sampai berhenti dulu baru kita kembali."

"Akan sangat lama! Bilang saja kau masih ingin berlama lama disinikan?!"

Lenna menyengir. "Kau tau saja. Lagian tadi kita sudah sempat bertanding, kita sudah mendapat nilai."

"Kau tidak kasihan pada kakak ini huh? Dia sedang ada kelas dan terpaksa terpotong hanya untuk membukakan pintu ruang kesehatan!"

Lester yang mendengar itu mendekat. "Itu tidak masalah, lagi pula aku sudah lulus tiga kali."

Kedua alis Aura dan Lenna menyatu bingung dengan ucapan Lester barusan. "Hah?"

Pemuda itu reflek memukul bibirnya sendiri sebelum akhirnya menjelaskan maksud ucapannya.

"A-aa... maksudku aku sudah mempelajari materi hari ini tadi malam sampai tiga kali, kalian tidak perlu khawatir aku tertinggal pembelajaran. Sudah kewajibanku untuk selalu siap mengambil segala resiko sebagai anggota palang merah remaja di sekolah demi keselamatan dan kesehatan para siswanya," jelasnya panjang lebar.

Persetan dengan mulutnya yang kadang suka mengatakan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu ia katakan. Dan alasan macam apa yang baru saja Lester katakan tadi? Untungnya kedua gadis itu percaya dengan ucapannya dan tidak menanyakan hal hal lebih lanjut.

Tak berselang lama, akhirnya darah yang mengalir hidung Aura sudah terhenti. Lenna dan Aura langsung kembali ke lapang setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih pada Lester.

Bukannya langsung mengunci ruang kesehatan dan segera kembali ke kelas, Lester justru menyempatkan diri untuk memungut beberapa tisu bekas ditempat sampah ruang kesehatan yang tadi digunakan Aura untuk menampung darahnya lalu memasukannya ke dalam saku.

Ia ingin menunjukannya pada saudara saudaranya terutama pada Simon dan memastikan dugaanya benar atau salah. Karena hanya Simon-lah yang tau betul karakteristik dari darah murni.

Mengingat ia sudah hidup berabad abad dan terlibat dalam kejadian lima ratus tahun lalu yang artinya Simon sudah pernah mencium bau serta melihat darah murni milik Belyva dengan mata kepalanya sendiri.

Lester keluar dari ruang kesehatan tak lupa menguncinya sebelum kembali ke kelasnya.





Tbc

Kakak jangan lupa votenya😉

(scrlyrrnz)

Vampire [End]✓ (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang