Bagian 1; Namanya Jendral

809 87 9
                                    

Kata Bunda, punya banyak teman itu anugerah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kata Bunda, punya banyak teman itu anugerah. Bisa saling bersenda gurau, membuat momen bersama yang katanya juga akan menjadi kenangan terindah sepanjang hidup. Tapi kalau kata Ayah, cukup punya satu teman saja.

Satu teman yang bisa diajak susah, satu teman yang kalau ada sesuatu pasti datang untuk sekedar mendengar keluh kesah, satu teman yang siap kapanpun kita merasa resah. Dengan begitu kita bisa jadi tahu bagaimana rasanya memiliki teman sejati dan bagaimana rasanya dicintai.

Beda lagi sama anaknya, si tunggal dari keluarga Pamungkas. Nasihat dari sang Bunda dan Ayah ternyata diterapkan dalam kehidupan remaja berumur belasan tahun itu. Teman temannya udah kaya tukang bakso, ada dimana mana. Bahkan sampai yang beda sekolah pun tahu siapa dia.

Tipe manusia yang seneng kalau ketemu manusia baru. Ibarat magnet, semuanya dia ajak kenalan. Bahkan gak jarang dibilang caper— alias cari perhatian — atau SKSD. Tapi beruntung telinganya bukan tipe yang mengurusi omongan orang, cuma dianggap angin lalu.

"Ali nanti mau ke kantin?" Itu Asta, teman baru Ali di sekolah. Asta itu sebelas dua belas sama kulkas, dingin banget. Terus galak juga, wajahnya gak bosen nampilin ekspresi sinis, tapi anehnya kalo ke Ali dia malah ramah banget gak tau kenapa.

Ali tau itu, dia dikasih tahu sama Lucio— si saudara kembar beda sepuluh menitnya Asta. "Nggak ah, nanti ketemu si Panglima." Ali menolak, bukan karena dia sombong tapi manusia satu itu sedikit aneh menurutnya.

Yah, meskipun Ali akui Jendral itu ganteng, tapi tetep aja orang bakalan bikin kesan pertama baik dimata orang baru. Ali gak mau suudzon juga, tapi kalo kata Asta 'mencegah lebih baik daripada nyoba nyoba.'

"Masih sering gangguin dia?"

"Gak gangguin sih, cuman omongannya pas pertama kali aku masuk beneran kejadian. Dia sering banget ketemu sama aku atau akunya yang ketemu sama dia, gak tau kebetulan atau nggak."

Lucio terkekeh ditempat duduknya, jarak sejauh tiga bangku tidak menghalangi Lucio buat nguping pembicaraan kakaknya sama Ali. "Demen kali ah." celetuk Lucio yang membuat Ali melotot horror kearahnya.

"Do'a lo jelek banget, Ci."

"Ya kan siapa tau? Jendral orangnya baik, cakep kuadrat, meskipun akhlaknya minus tapi dia gak pernah keliatan nge buaya sana sini."

Serius, Ali mau ngejambak rambut coklat gelap Lucio yang emang udah keturunan itu. Kenapa jadi seolah olah dia ngedukung banget dia jadian sama si Panglima Jendral Abimana? Kemaren kemaren aja galak abis biar gak deket deket. Emang otak mereka kayaknya perlu di setel ulang pabrik.

Asta merotasikan bola matanya malas, Lucio kadang suka prik kalo ngomong. "Jangan di dengerin, kantin aja ya? Kamu belum makan dari pagi, nanti ada rapat koor di ruang osis, butuh tenaga."

Dan Ali gak punya kuasa apapun selain ngangguk kalo Asta udah mode ibu ibu kaya gini.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bandung; HoonsukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang