Chapter 4: Masa Orientasi Sekolah?

167 12 6
                                    

Mengapa tempat seindah dongeng ini tidak pernah diliput berita?

Hamparan rumput basah menyapu sepatuku tiap kali aku melangkah. Bunga-bunga berkelopak hitam yang tak pernah kulihat di balik gemerlap perkotaan menyambut kami dengan ramah. Pohon pinus banyak tumbuh di berbagai sisi pulau membangun hutan gelap yang sangat menggoda untuk dijelajahi.

Ingin terus kukagumi segala hal yang begitu asing, hingga ujung jaket kulitku ditarik oleh Aimee. Gadis dengan rambut bergelombang itu menunjuk pada sebuah pohon beringin yang sebesar 50 pohon pinus. Jika hanya sekedar pohon raksasa setelah segala keanehan tadi, aku tak akan terkejut. Namun Aimee tahu persis hal macam apa yang bisa membangkitkan jiwa anak-anakku yang terlampau liar.

Pohon beringin raksasa yang megahnya tentu saja sudah membuatku keheranan, ternyata hanyalah sebuah selubung untuk sesuatu yang jauh lebih menakjubkan lagi. Di dalam pohon itu, ada sebuah jam pasir raksasa.

Okelah, kalau semua hal di wilayah Ancient Grace bagaikan hadiah dari negeri raksasa. Namun jam pasir itu seakan dibuat langsung oleh seorang pengkhayal dan penyihir yang luar biasa. Bukannya bergerak turun, pasir emas di dalam kaca itu malah bergerak naik. Jam pasir raksasa yang mungkin mencakup waktu satu tahun itu bergerak terbalik.

"Magnum horarium, jiwa dan cahaya bagi Faksi Ancient Grace," suara Cendric menggema begitu ia sadar kami terpaku pada jam pasir raksasa itu. Dengan senyum penuh bangga, ia menjelaskan, "jam pasir raksasa itu adalah alasan kenapa malam berganti siang begitu kita melewati portal. Waktu dan cuaca di wilayah kekuasaan Faksi Ancient Grace itu terbalik dengan wilayah lain Kerajaan Pertiwi. Jika di Acalapati sedang jam 12 siang, maka di sini jam 12 malam. Jika di Acalapati sedang hujan deras, maka di sini mentari bersinar dengan teriknya."

Selepas mengucapkan kalimat itu, Cendric menatapku dari balik kacamata hitamnya. Kulihat deretan giginya yang putih tampak silau oleh pantulan mentari tengah hari. "Tak hanya mempengaruhi waktu dan cuaca. Jam pasir ini juga mempengaruhi perasaan hati seseorang," ujarnya dengan penuh ceria. "Buktinya kalian semua sudah tidak mengantuk lagi, bukan?"

Aku mengerjabkan mata berkali-kali. Benar juga kata Cendric. Kantukku yang tadi hilang entah kemana. Hebat sekali jam pasir ini. Kalau begini, aku yakin aku bisa begadang hingga 12 hari pe-

"Jangan senang dulu," tiba-tiba Andra menepuk pundakku dengan keras. Aku yang menahan kaget pun dibisiki olehnya, "bukan tidak mungkin kalau rasa mengantuk kita ini hilang karena tadi dia mengajak kita bunuh diri massal, kan?"

Mendengar hipotesis Andra, aku tak kuasa menahan tawa. Tawaku meledak begitu saja, membuat semua orang menatapku heran. Dengan sigap aku segera menutup mulutku.

Cendric sempat ikut tertawa sejenak, lantas berdehem kemudian. Pemuda itu menegakkan posturnya sembari mengeluarkan sebuah jam saku perak dari kantong kemeja birunya. Bunyi rantai berdenting begitu ia menggantungkan jam saku itu di jari telunjuknya. "Sudah waktunya, yah."

Cendric mengumbar senyum yang sama dengan ketika ia mengantar kami menggunakan busnya. Aku menelan ludah dengan kasar. Kegilaan apa lagi yang akan ia tunjukkan kali ini?

"Jangan khawatir," seolah bisa membaca pikiranku, ia berkata demikian, "aku akan selalu membawa kalian dalam kegilaan, tapi akan kujamin itu adalah kegilaan yang menyenangkan." Sungguh, Cendric. Tolong berhenti 'mencoba' menenangkan kami.

"Adik-adik, berpegangan tanganlah!"

Mendengar perintah itu, kami semua saling menatap satu sama lain. Namun pada akhirnya, kami tetap berpegangan tangan walau ragu-ragu. Bagi orang-orang yang telah pandai menggunakan sihir, hal ini mungkin wajar. Hanya saja, perlu kuingatkan, aku dan keempat temanku, juga mungkin empat orang asing yang baru saja kutemui hari ini, telah hidup selama hampir 15 tahun tanpa sihir.

Netra Anugerah : Akademi DwiastaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang