"Aku lelah," ucapku pada langit-langit ruang makan yang telah dijamah peri kupu-kupu transparan.
Aimee menyodorkan segelas kopi hangat ke arahku. Namun setelah itu, ia pun merebahkan wajahnya di atas meja makan. Sama lelahnya denganku.
"Kejadian hari ini terlalu ajaib," tutur Farren yang sedang berbaring di atas tiga bangku yang disusun berjejer. "Terlalu ajaib hingga rasanya aku bisa tidur lelap selama dua puluh delapan jam ke depan."
"Kenapa kita selelah ini, yah?" tanyaku, heran dengan diri kami yang terkapar tidak berdaya di tengah ruang makan. "Padahal kita tidak terlalu banyak bertarung."
Bunyi tatakan gelas berdenting. Kulihat Allister mengeluarkan buku catatan kecil dari sakunya. "Sepertinya aku tahu alasannya," ucapnya. Tanpa mengubah posisiku yang terus menatap langit-langit kaca berwarna, aku mendengarkan dengan seksama.
"Apa?" tanya Andra. Allister tidak menjawab. Dari sudut mataku aku hanya melihat ekspresi cemberut kini terpampang di wajahnya.
"Harus kujawab?" ia bertanya balik. "Setelah kalian meninggalkanku di laboratorium selepas aku memadamkan api sendirian?"
Aku menahan tawa. Entah harus kasihan atau malah tertawa lepas dengan reaksi Allister. Ya ampun. Aku minta maaf kawan. Aku benar-benar lupa tentang keberadaanmu.
Allista menyodorkan sepiring buah stroberi yang sudah dipotong-potong. Setelah memakan sepotong stroberi, barulah Allister tersenyum cerah seperti biasa. Kucatat baik-baik kejadian ini dalam hati. Ternyata cukup mudah untuk membuatnya bahagia.
"Setelah memadamkan api tadi, aku pingsan," kini ia memberi penjelasan. Aku langsung duduk tegak, menatap khawatir padanya. Namun sebelum kami sempat bertanya tentang keadaannya, ia melanjutkan ucapannya. Seolah menolak kekhawatiran yang akan kami tunjukkan.
"Mungkin aku hanya terlalu lelah," ia melanjutkan. "Setelah sadar, aku kembali ke ruang rapat, membaca beberapa dokumen umum di sana. Menurut salah satu dokumen yang kubaca, menggunakan Pusaka, sihir, dan Anugerah itu menguras tenaga. Semakin banyak menggunakan sihir, kita akan semakin lelah. Tadi kita menggunakan sihir dan Anugerah habis-habisan, kan? Karena itulah sekarang kita tepar. Salah satu cara untuk mengurangi efek samping ini adalah dengan banyak-banyak latihan fisik dan membangkitkan Anugerah secara sempurna."
Kami semua ber-oh ria dan mengangguk paham. Sepertinya mulai sekarang kami harus lebih sering berolahraga.
Gibran tampak antusias dengan buku catatan di tangan Allister. Ia memangku dagunya dan mengajukan pertanyaan baru. "Dokumen apa saja yang sempat kau baca?" tanyanya.
"Macam-macam. Apapun yang bisa membantuku menghabiskan waktu sembari menunggu kalian datang kembali," jawab Allister. "Ada apa memangnya?"
"Aku penasaran tentang satu hal."
Atensiku kini berpindah pada Gibran. Ghaziya yang sejak tadi tertidur pun kini turut menyimak. "Aku tidak tahu apakah kalian juga mengalami hal yang sama," ucap Gibran memulai topik, "tapi sebelum kelas pertama kita bersama Kak Luca, aku sama sekali tidak bisa menggunakan sihir. Sama sekali tidak bisa. Membaca mantra pun tidak bisa. Ghaziya juga begitu, kan?"
Ghaziya mengangguk, masih dengan kepala yang terbaring di atas meja.
"Kami juga begitu," tambahku mewakili keempat sahabatku, "bahkan karena kami tidak bisa menggunakan sihir sama sekali, kami sempat berpikir bahwa kami bisa saja menjadi Tanpa Faksi yang tidak punya Anugerah apapun."
"Nah," ujar Gibran, "dan sekarang kita bisa menggunakan sihir. Cukup aneh, kan? Di Faksi lain, mereka memang menerima Anugerah hanya setelah mereka berusia lima belas tahun. Namun sebelum mendapat Anugerah pun, mereka tetap bisa menggunakan mantra sihir, melihat aliran sihir, juga mengendalikan sihir. Jadi, apa yang menyebabkan kebangkitan sihir kita berbeda?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Netra Anugerah : Akademi Dwiastara
FantasyBUKU '1' SERIAL NETRA ANUGERAH . . . . . . Namaku Mona. Mona Zaina Kala. Aku lahir dari keluarga penyihir. Ayahku seorang Wizard dan Ibuku seorang Enchanter. Ketiga adikku, Bella, Ginerva, dan Lisa, adalah calon penyihir berbakat. Semua anggota kelu...