"Hmm? Apa yang membuat wajahmu cemberut, Mona?"
Mendengar pertanyaan itu, aku akhirnya mengangkat muka dari topangan dagu. Sekilas aku menatap wajah penasaran Cendric, lalu kembali menghela napas panjang.
Akhirnya Andra lah yang berbicara mewakiliku. "Dia sedang galau, Kak Cendric," jawabnya, sukses menarik atensi Cendric, "pertama, dia tercebur ke danau belakang perpustakaan. Kedua, Tuan Nalendra membuatnya patah tulang. Dan ketiga, dia tidak mendapatkan 'Pusaka' apapun."
Dahiku berkerut. Kembali teringat kejadian konyol hari ini. Cendric menatapku khawatir dari balik kacamata hitamnya. Guru Fisika itu bertanya memastikan, "apa itu benar, Mona? Kak Nalendra mengutukmu? Dan soal 'Pusaka' itu?"
Aku langsung menjatuhkan kepalaku di atas meja makan, membuat piring dan sendok garpu berdenting kencang. "Jadi," aku mulai menjelaskan, "ceritanya begini..."
♤♤♤
"AAAAAAAAAAAAAA!"
Lantai yang kami pijak tiba-tiba terjatuh! Lantai ini bergerak terlalu cepat hingga kami melayang di udara sambil berteriak tidak karuan. Sedang Nalendra? Dia hanya berdiri tenang tanpa memedulikan kami!
BRAK!
Akhirnya, lantai ini berhenti terjatuh. Tapi efeknya, kami semua harus menderita lebam-lebam dan patah tulang karena tumbukan dengan batu.
"Hei, kalian baik-baik sa-HOEK!"
"Aimee!"
"Impetro lost! Aqua videtur!"
"Nauseam tollendum!"
Ini lebih parah dari saat kami kabur dari kejaran Helianthus Fallen Grace palsu. Tubuh kami benar-benar jatuh keras di atas batu. Aimee langsung muntah begitu kami sampai. Nila sibuk memunculkan air dengan mantra dan Gibran sibuk merapalkan mantra penghilang mual.
Aku mencoba bangkit melawan pusing. Pelan-pelan aku mendudukkan diriku. Kaki dan kepalaku sakit sekali. Tengkorakku sepertinya hancur. Kenapa istana ini penuh dengan tempat-tempat berbahaya?
"Jangan berlebihan," lagi, suara dingin itu membuat luka kami semakin menyakitkan, "ini masih biasa. Hal seperti ini akan menjadi makanan sehari-hari kalian sebagai anggota Faksi Ancient Grace." Setelah berkata sinis seperti itu, Nalendra melenggang keluar dari ruangan sempit ini.
"Dasar manusia kolot."
Aku mengerjabkan mata berkali-kali. Anehnya, makian yang dibisikkan sekecil mungkin itu tidak keluar dari mulutku. Yang mengatakannya justru Ghaziya.
Wow. Harus kuakui keberaniannya sangat besar. Dia pasti belum pernah merasakan dibuat bisu oleh Nalendra karena salah bicara.
Setelah semua menghilangkan pusing, juga setelah Gibran dan Allister selesai mengobati kami dengan mantra penyembuh, kami akhirnya mengikuti Nalendra ke luar ruangan sempit ini.
Aku menarik napas panjang. Ancient Grace tidak pernah gagal membuatku takjub. Karena pergerakan benda tadi, aku yakin kami terjatuh ke ruang bawah tanah yang sangat dalam. Tapi, memangnya ada ruang bawah tanah yang berisi hutan belantara yang seindah ini?
Pancaran mentari menerpa kami dengan lembut. Bayangan pepohonan rimbun meneduhkan perjalanan kami. Rumput dan bebungaan tumbuh dengan suburnya. Embun sejuk membungkus hutan ini bak selimut. Desir angin berbalut kicauan burung bagaikan mahasimfoni mengiringi kehidupan alam bebas.
"Faksi Animancy pasti akan kegirangan melihat tempat ini," Andra berujar. Pasti. Para pecinta hutan itu akan gigit jari jika tahu Ancient Grace punya hutan seindah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Netra Anugerah : Akademi Dwiastara
FantasyBUKU '1' SERIAL NETRA ANUGERAH . . . . . . Namaku Mona. Mona Zaina Kala. Aku lahir dari keluarga penyihir. Ayahku seorang Wizard dan Ibuku seorang Enchanter. Ketiga adikku, Bella, Ginerva, dan Lisa, adalah calon penyihir berbakat. Semua anggota kelu...