Chapter 18: Sang Seniman

120 8 62
                                    

"Kabar terbaru dari Jenderal Besar Kepolisian Pertiwi, Tuan Sahya Kala. Beliau menyampaikan hasil penyelidikan terbaru pada konferensi pers siang ini. Pembobolan perpustakaan Sekolah Bina Pertiwi yang terjadi beberapa hari yang lalu rupanya disebabkan oleh rusaknya portal 'Dimensi Lukisan' yang menjadi celah bagi oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang merusak Buku Sejarah Dunia milik Faksi Paladin."

Setelah nona reporter itu berhenti menyiarkan berita, muncullah sosok ayahku di depan istana negara. Dikerumuni wartawan dan jurnalis yang getir ingin menyampaikan kebenaran pada rakyat, ayah tetap tenang menyampaikan pesannya.

Seperti yang disebutkan nona reporter tadi, ayahku menjelaskan. Ia bilang pula, "kami, Kepolisian Kerajaan Pertiwi, akan segera menangkap pelaku pembobolan Sekolah Bina Pertiwi dan perusakan Buku Sejarah Dunia Faksi Paladin. Kami juga akan segera memperbaiki portal 'Dimensi Lukisan' yang menciptakan keresahan di negeri kita."

Kalau dilihat dari jauh seperti ini, ayahku tampak seperti pahlawan.

Bukan tanpa sebab segenap rakyat Pertiwi menyayanginya. Ayah adalah seorang pejabat tinggi negara yang berasal dari rakyat biasa. Meski begitu, ia adalah orang paling kompeten di antara pejabat tinggi negara lainnya. Ayah bukanlah orang yang banyak bicara, kecuali jika ia harus meredam keresahan massa. Ayah sangat jarang berkata-kata manis di depan televisi, tapi begitu ia bertindak, pekerjaannya selalu selesai dengan sempurna.

Bagi negeri Pertiwi, ayahku adalah seorang pahlawan. Dia adalah penyihir hebat yang selalu melindungi dan mengayomi rakyat. Ia jujur dan adil pada rakyat, kompeten dan dapat diandalkan dalam kondisi seterpuruk apapun.

"Mona, bapakmu ada di TV!"

Namun bagi segelintir orang, ayahku adalah seorang penjahat.

Biasanya aku akan tertawa pada setiap celetukan yang dilontarkan Farren, terutama kalau itu tentang ayahku. Namun melihat Ghaziya yang duduk terdiam di samping Farren, aku hanya bisa diam menunduk.

Aku menghela napas panjang. Sejak kami menonton berita itu, Ghaziya tidak pernah bicara. Dia tidak marah ataupun kesal, atau bahkan sekedar sedih. Hanya diam, memandangi ayahku yang disanjung-sanjung oleh rakyat Pertiwi yang mendoakan keberhasilannya pada kasus kali ini.

Ya. Bagi rakyat Pertiwi, ayahku adalah seorang pahlawan. Namun bagi Ghaziya, ayahku adalah seorang pembunuh yang telah merenggut nyawa adiknya.

"Urgh!" aku meremas rambutku frustrasi. Meski terus kubilang 'tidak apa-apa', perasaan tidak enak ini tidak bisa hilang. Aku tahu Ghaziya tidak menyalahkanku, tapi tetap saja! Pemaafan darinya tidak mengubah kenyataan bahwa ayahku telah membunuh adiknya.

"Haah...." aku menghela napas panjang sekali lagi.

Aku harus bicara dengan ayah. Apapun yang terjadi, aku harus bicara dengannya.

Namun mungkin tidak sekarang. Ayah sedang sibuk, dan aku pun sedang bergelut dengan perang kecil.

"Jika seorang seniman jatuh cinta padamu, dirimu akan abadi dalam karyanya."

Ucapan Miss Martha langsung menarik atensiku.

Padahal Miss Martha baru pergi selama sehari, tapi entah kenapa sudah sangat lama rasanya kami tidak bertemu dengannya. Setelah sehari yang sangat panjang itu, akhirnya dia berada di hadapan kami. Memberi kami pelajaran baru, sembari dirinya mengelus Gentala yang sedang tertidur di atas pangkuannya.

"Lukisan para penyihir Pertiwi itu aneh," ucapnya membahas berita yang baru saja kami tonton. "Mereka diciptakan dari beragam emosi dan kisah. Mereka abadi. Bahkan setelah pelukisnya mati, mereka tetap hidup dalam setiap torehan kuasnya."

Netra Anugerah : Akademi DwiastaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang