Chapter 15: Sakit

122 9 109
                                    

"Aimee, kau sedang apa?" tanyaku pada Aimee yang tengah duduk bersimpuh di atas lantai. Kitab Surya digenggam di tangannya, sembari mulutnya senantiasa melontarkan puji-pujian kepada Dewa kami.

Ia berhenti bergumam. "Berdoa?" jawabnya, seolah apa yang kutanyakan adalah hal yang sudah jelas jawabannya. "Agar ujian dadakan kita berjalan dengan lancar." 

Aku tertawa masam. Mungkin seharusnya aku merahasiakan soal ujian itu.

"Sepertinya setelah ujian, kita harus memeriksa lukisan itu," ungkap Nila setelah ia lama berpikir dalam diam. "Tidak mungkin tidak ada alasan di balik kejadian aneh itu."

Aku mengangguk, setuju dengan pendapat Nila. "Lalu bagaimana dengan Kak Luca?" tanyaku. "Apa kita bisa mempercayainya?"

Setelah kembali ke asrama jam 2 malam, aku melihat Nila terjaga. Ia menuju kamar Farren bersama Aimee dan Andra. Rupanya seperti yang ia bilang padaku, ia juga sudah memberitahu ketiga temanku yang lain saat aku sedang sibuk menjelajah di Akademi ini. Makanya, alih-alih tidur, kami berlima malah sibuk membahas kemungkinan sekolah kami dibajak teroris.

Dan aku sungguh, sungguh-sungguh mengantuk sekarang.

Masih dengan ekspresi sedang berpikir, Nila menjawab, "kalau kau tidak menjelaskan secara lengkap semua informasi yang Kak Luca berikan, aku pasti akan mengira bahwa dia juga terlibat. Caranya bicara denganmu adalah salah satu taktik untuk meraih kepercayaanmu. Membuatmu merasa nyaman, menunjukkan bahwa dia percaya padamu, agar kau lengah dan juga percaya padanya."

"Jadi...?" tanyaku ragu-ragu, takut mendengar jawabannya, takut kalau-kalau Kak Luca memang terlibat.

Namun Nila hanya mengedikkan bahunya sembari tersenyum tipis. "Menurutku dia memang orang baik yang peduli pada adik kelasnya, tidak tega kalau kau merasa canggung di sekolah baru," jawabnya. Aku segera menghela napas lega.

"Informasi yang dia berikan soal Anugerah itu juga benar," lanjutnya, aku kembali serius menyimak. "Aku melihatnya di ingatan Gentala waktu itu. Kak Luca dan Kak Alex memang benar-benar tidak bisa mengendalikan Gentala. Walau mereka memasang sihir pengendali pun, Gentala tetaplah makhluk sihir agung. Hefalgra tidak akan mau kalau Gentala lepas dari cengkraman mereka. Jadi jika memang mereka memasukkan Gentala ke Akademi ini, mereka pasti akan memilih seseorang yang bisa mengendalikan Gentala."

Aku mengangguk paham. "Jadi mereka aman?" tanyaku lagi, memastikan.

"Kak Luca aman. Aku akan memeriksa pikirannya untuk lebih amannya," jawab Nila. "Tapi kalau Kak Alex, kita masih butuh informasi tambahan. Biar bagaimanapun, dia adalah orang pertama yang tahu tentang mekanisme kurungan Gentala."

Aku kembali mengangguk. Kutarik napas panjang. Lega karena satu orang bisa kukeluarkan dari daftar kecurigaanku. Namun gelisah juga karena masih ada terlalu banyak tersangka.

"Ngomong-ngomong soal mengendalikan," celetuk Andra tiba-tiba. Ia akhirnya berhenti berbaring, turut bergabung dalam percakapan kami. "Ada satu orang yang bisa mengendalikan Gentala, kan?"

Perhatian kami tertuju padanya. "Gibran," ucapnya.

Kami semua terdiam, tak menyangka ada petunjuk yang begitu besar di depan mata. Namun mungkin kami memang sudah menyangkanya, hanya saja, kami menolak untuk percaya karena sekarang dia adalah teman kami.

"Tapi," Andra melanjutkan, "dia juga hanya bisa menyegel Gentala dalam wujud kecil. Jadi yah...tidak bisa terlalu diandalkan oleh Hefalgra, sih. Lagipula, dia memang tahu mekanisme kurungan Gentala, tapi dia ada bersama kita saat Gentala terlepas. Jadi dia punya alibi."

"Benar juga," ujarku menanggapi. "Gibran dan Allister ada bersama kita saat Gentala terlepas. Hanya Kak Alex yang pergi ke penjara Gentala saat itu."

Nila menepuk bahuku keras, membuatku berjengit kaget. "Kak Alex," ucapnya. "Dia benar-benar tidak punya alibi." Aku meringis. Bukan karena bahuku sakit ditepuk Nila, tapi karena satu lagi teman kami harus dicurigai.

Netra Anugerah : Akademi DwiastaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang