Chapter 5: Jangan Marah

157 12 6
                                    

"Tempat ini...!"

Sangat indah.

Ruangan ini berbentuk heptagon atau persegi tujuh dengan gapura di masing-masing sisinya. Walau berada puluhan meter di bawah tanah, ruangan ini menjulang tinggi hingga tujuh lantai. Di setiap lantainya ada pintu, atau portal yang menghubungkan tempat ini ke dunia luar. Di lantai pertama, cahaya keunguan memancar, menunjukkan jurang tak berujung. Di lantai kelima aku bisa melihat cahaya keemasan memancar terang juga bentuk yang familiar. Magnum horarium.

Di tengah ruangan ini ada tugu kecil yang di atasnya melayang sebuah permata hitam sebesar telapak tangan. Permata itu memancarkan cahaya yang mengalir melalui garis-garis lantai seperti panggung upacara. Menjadi sumber energi bagi setiap lantai dan pintu.

Ingin aku memuji keindahan tempat ini, tapi tiba-tiba...

PROK PROK PROK PROK!

Suara tepuk tangan itu berasal dari atas. Dari lantai kelima, di dekat portal yang menghubungkan ruangan ini dengan Magnum horarium. Dia, mereka di sana, sosok jangkung berjubah hitam dengan topeng Rumyang. Juga dua orang berbadan besar dengan topeng Panji dan topeng Ruwana. Di balik topeng mereka, aku mendengar tawa meremehkan dan senyuman sinis pada kami.

Kami langsung bersikap waspada. Kami saling merapatkan diri, melindungi punggung masing-masing. Mencari apa saja yang bisa kami gunakan sebagai senjata, dan bersiap untuk lari jika diperlukan. Mereka muncul. Para penyerang, yang tentunya jauh lebih kuat dari kami dan sangat berbahaya.

Sontak kuacungkan pentungan kayuku pada mereka. Tak merasa terancam sedikit pun, si topeng Ruwana berkata, "hebat!" Hebat? Apa maksudnya? "Awalnya kami ingin melenyapkan kalian bersama dengan penyihir Ancient Grace lainnya. Namun siapa sangka, anggota baru yang bahkan belum tahu cara menggunakan sihir, bisa menuntunkan kami ke suaka ini."

"Suaka?" Farren di sampingku bergumam.

"Ya, suaka," jawab orang itu, "tempat paling berharga bagi Faksi Ancient Grace. Kumpulan portal yang menghubungkan istana ini dengan tempat-tempat suci yang menjadi sumber kehidupan mereka. Dengan portal ini, kami akhirnya bisa melenyapkan Ancient Grace, pelindung Kerajaan Pertiwi, dan merebut takhta Raja!"

Aku tercegang. Netraku membulat. Tidak mungkin. Secara tidak langsung, kami telah membantu mereka?

"Aku tidak begitu suka membunuh anak-anak. Lagipula, karena kalian berhasil menyenggol lukisan yang tepat, kami bisa menemukan tempat ini. Jadi akan kubiarkan kalian tetap hidup. Terima kasih anak-anak!"

Ia berkata demikian, seraya melangkah mendekati portal Magnum horarium. Ada yang bilang, kegilaan itu menular. Entah aku telah terpapar kegilaan Cendric, atau memang sejak awal aku punya kecenderungan untuk bertindak melawan logika. Yang jelasnya, tanpa sadar, tubuhku bergerak dengan sendirinya. Aku mencabut permata hitam itu dari tugu.

"Hei! Apa yang kau lakukan?!" gadis dari Mangata itu meneriakiku. Belum sempat aku menjawab, hampir seluruh cahaya di ruangan ini menghilang. Kami terjebak dalam gelap yang meredupkan mata. Aliran sihir terputus. Semua portal, termasuk portal menuju Magnum horarium, telah tertutup.

"Magnum horarium, jiwa dan cahaya bagi Faksi Ancient Grace," aku mengulang kembali perkataan Cendric saat dia mengantar kami. "Aku tidak tahu bagaimana kejelasannya. Yang pastinya, ini adalah harta paling berharga bagi Ancient Grace, bagi Cendric juga. Kita tidak bisa membiarkannya jatuh ke tangan kriminal itu! Kriminal yang berniat menghancurkan kerajaan!"

Semua emosiku tumpah meluap-luap. Aku juga tidak tahu apa yang menjadikanku seperti ini. Aku baru mengenal Ancient Grace belum genap 10 jam. Aku juga tidak akan rugi jika aku membiarkan mereka lolos.

Netra Anugerah : Akademi DwiastaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang