"Halo, Mona," sapanya dengan senyuman yang memuakkan, "senang bisa bertemu denganmu lagi."
♤♤♤
"Anda yakin, kami tidak perlu memberi bantuan apapun? Finansial, atau sekedar bantuan koneksi?"
"Tidak, tidak perlu, Nak. Jangan risaukan kami. Fokuslah memperbaiki Kediaman Zaina lebih dulu."
Hari itu adalah hari terakhir aku menginjakkan kaki di Kediaman Zaina. Aku, ayah, ibu, Lisa, Bella, dan Ginerva tengah bersiap-siap untuk berangkat ke Acalapati.
Koper dan tas sudah tertata rapi di dalam mobil menuju stasiun kereta. Tidak banyak yang kami bawa, hanya barang seperlunya. Ibu bilang, kami benar-benar harus mulai dari awal. Bawa sedikit saja kenangan dari tempat ini. Tidak perlu mengikutsertakan kesedihan yang sudah-sudah dalam hidup baru kami.
Meski ayah sudah naik pangkat menjadi Jenderal Besar Kepolisian Pertiwi pun, yang mengantar kami keluar waktu itu hanya Kak Waradana dan Kak Serana. Paman-Bibi dan sepupu-sepupu lainnya masih enggan menerima kami. Aku yakin, itu pun hanya sekedar formalitas bagi mereka yang kini menjadi Kepala Keluarga Zaina dan wakilnya.
"Tuan Sahya."
Ya. Aku yakin semua kata-kata manis yang dikeluarkan oleh Keluarga Zaina selama ini hanyalah kemunafikan belaka. Kebohongan yang mereka tancap begitu tinggi di atas langit agar harga diri mereka tidak terlukai.
Karena itu, aku sangat terkejut saat Kak Waradana menundukkan kepalanya pada ayah.
"Atas nama kakek, nenek, juga ibu dan ayah saya, saya minta maaf atas segala perlakuan buruk Keluarga Zaina pada Anda. Saya akan memastikan hal seperti ini tidak terjadi lagi di masa mendatang."
Ayah sama kagetnya denganku, sama kikuknya pula. Walau ialah orang yang disalahi, ia malah turut menunduk juga pada Kak Waradana.
"Sudah, Nak! Yang terjadi di masa lalu, biarlah di masa lalu. Yang penting, mulai sekarang Keluarga Zaina akan menjadi lebih baik lagi. Agar kalian bisa saling menjaga dan mendukung satu sama lain, yah?"
Dalam beberapa detik yang singkat, sempat kulihat alis Kak Waradana menukik tajam mendengar kalimat terakhir ayah. Ia melanjutkan ramah tamah dengan ayah, seolah tidak terjadi apa-apa. Setelah beberapa waktu yang melelahkan, akhirnya percakapan mereka selesai juga.
Ayah pun pergi berbicara dengan beberapa anak buahnya. Ibu sibuk mengajari adik-adikku tentang cara memakai sabuk pengaman yang benar. Aku masih duduk di atas bangku taman, mengamati kejadian di sekitarku. Terutama Kak Waradana yang kini sedang membicarakan sesuatu dengan Kak Serana.
"Jadi, apa yang akan kau lakukan dengan si bungsu kita?"
Aku tahu menguping itu tidak baik, tapi Dewa, ekspresi Kak Waradana tadi membuatku penasaran. Lagipula, bukan salahku kalau mereka berbincang dengan volume yang keras, kan? Dan lagi, 'si bungsu'? Apa mereka sedang membahas Ayla?
"Mengantarnya ke lingkungan yang tepat, tentu saja."
"Dibuang, maksudmu?"
"Kenapa? Kau keberatan, Serana?"
"Yah...biar bagaimanapun, dia adik kita."
"Memangnya kau itu Mirza? Budak cintanya Ayla?"
"Kau itu kenapa, sih?! Sejak menjadi Kepala Keluarga, kau selalu menjelek-jelekkan kedua adikmu itu. Mirza bahkan sudah mati, hei! Aku bahkan tidak mau memikirkan apa yang kau bicarakan tentangku saat aku tidak ada di dekatmu!"
"Ya. Dia memang adik kita. Adik yang meracuni makan malammu berkali-kali dan menyewa pembunuh bayaran untuk membunuhku. Jadi, Serana, apa kau masih bisa bersimpati pada Ayla?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Netra Anugerah : Akademi Dwiastara
FantasyBUKU '1' SERIAL NETRA ANUGERAH . . . . . . Namaku Mona. Mona Zaina Kala. Aku lahir dari keluarga penyihir. Ayahku seorang Wizard dan Ibuku seorang Enchanter. Ketiga adikku, Bella, Ginerva, dan Lisa, adalah calon penyihir berbakat. Semua anggota kelu...