Chapter 0.0: Epilog

164 12 108
                                    

"Kau terlihat hidup, Nona Adelaide," kataku pada lukisan yang baru saja kubuat.

Aku mundur selangkah menjauhi kanvas, kuas basahku kuletakkan. Sosok itu membuatku terpana. Wajahnya begitu cantik. Bibirnya ranum bak cermai, pipinya merona bak senja, matanya indah bak permata. Kularikan jemariku menyusuri lekuk tubuhnya. Betapa sosok itu membuatku terpana, sebab aku masih tak menyangka, bahwa manusia mampu mengabadikan kenangan dalam sebuah karya.

Ia mungkin telah tiada. Namun berbeda dengan fantasi yang kuciptakan. Dalam khayalanku, ia hidup.

"Baiklah. Aku sudah mendapat izin untuk pergi ke Menara Utara. Ayo, Nona."

Namun sayangnya, aku tidak sehebat Kak Kai. Nona Adelaide mungkin tetap hidup bagiku dengan segala kenangannya. Namun bagi dunia ini, ia memang telah tiada.

Maka kuangkatlah kanvas itu, seraya aku melangkah meninggalkan Requiem Locus.

♤♤♤


Banyak sekali hal-hal yang terjadi setelah penyergapan Hefalgra ke Akademi Dwiastara.

Kami masih sangat shock, tentu saja. Bagaimana tidak? Kami berhadapan dengan teroris yang kuatnya bukan main dan nyaris saja kami mati. Ditambah lagi, salah seorang teman kami rupanya bekerja sama dengan mereka dan malah mengkhianati kami.

Kami benar-benar takut, tapi untungnya, rencana kami berhasil. Kami berhasil memberi perlawanan balik pada Hefalgra. Farren dan Allista kembali dengan selamat dan membawa bala bantuan. Dan yang paling penting, kami berhasil merebut kembali Kunci Pusaka dan Magnum Horarium, juga melindungi Akademi Dwiastara.

"Ya! Ke kiri sedikit! Oke, bagus! Sekarang kita kerjakan pilarnya!"

"Pak! Ini kami tidak dikasih kopi?"

"Mau kupecat, hah?!"

"Ahaha!" Aku tak bisa menahan tawa melihat pemandangan itu.

Di bawah sana, aku bisa melihat Tuan Zuhal tengah sibuk menjadi mandor bagi para tukang yang ditugasi memperbaiki Akademi. Meski pekerjaan itu berat, jelas sekali kulihat seringai di wajah Tuan Zuhal yang sangat puas menyuruh-nyuruh orang.

Kami bisa melindungi Akademi, tapi tidak bisa dipungkiri, kerugiannya juga sangat besar. Layaknya film-film superhero, di mana para pahlawan bertarung dengan penjahat. Mereka saling melawan dengan barbar, tak peduli apapun. Saat pahlawan akhirnya mengalahkan penjahat, semua orang bersorak. Tanpa ada yang menyadari bahwa seluruh kota telah hancur karena parahnya pertarungan mereka.

Ya, mirip-miriplah dengan kondisi kami. Sedikit rasa bersalah muncul di benakku. Terutama saat aku melihat Tuan Nalendra komat-kamit karena pusing menghitung anggaran kerugian yang mencapai dua puluh triliun Karst. Semua itu karena kami memporak-porandakan Akademi saat bertarung melawan Hefalgra.

Hmm...apa jangan-jangan, Akademi ini harusnya dilindungi dari kesembronoan kami? Ckckck. Dasar anak muda kecanduan pertarungan.

Melihat bagaimana hatiku hari ini begitu melankolis, Menara Utara pun memutuskan untuk menghiasi jalanku dengan hamburan dedaunan.

Tidak, bukan kumpulan daun jati saat musim gugur. Lebih mirip daun-daun pohon mangga yang jatuh sebelum waktunya karena mereka terlalu lelah dilempari batu oleh anak sekolah.

"Sangat lucu, Menara. Sangat lucu."

Pilar-pilar pun bergeser, dinding-dinding terbuka. Cahaya mentari senja merebak melalui jendela-jendela tanpa kaca. Belasan makam muncul di hadapanku. Lalu aku bertemu sosok yang juga tengah merindukan seseorang yang telah tiada.

"Kak Naya?"

Melewati beberapa interaksi canggung, aku meletakkan kanvas lukisan Nona Adelaide di samping makam Kak Kai. Kak Naya merebahkan tongkat yang menopang kakinya. Setelah itu, aku duduk di samping Kak Naya. Kami berdua diam, hanya membiarkan hening menemani kami.

Netra Anugerah : Akademi DwiastaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang