Chapter 22: Akhirnya

121 9 171
                                    

JDAR!

Petir menyambar, membelah langit dengan amarah tanpa damai. Cahaya kilatnya memantul bertabrakan dengan pembatas yang mengurung Akademi Dwiastara.

"Ada apa, Kak?" aku bertanya pada Kak Alex yang tak henti-hentinya memandangi kubah transparan itu. Namun tanpa menjawab, Kak Alex hanya mengalihkan topik.

"Luca dan Naya?"

"Mereka masih bertarung dengan Gulana."

Kak Alex memberi anggukan sebagai tanggapan. Meski sekilas ia terlihat tenang, tatapan Kak Alex tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya pada dua temannya itu. Sejak tadi ia terus membunyikan ruas-ruas jarinya, berusaha mengusir kegelisahan yang mendatanginya.

"Gulana," gumam Kak Alex akhirnya, "pernah menyerang tempat tinggalku."

Mendengar perkataannya, kami menegakkan posisi duduk. Kak Alex pun melanjutkan, "dia membakar habis seisi kota, membunuh setiap orang yang ia lihat di depan matanya. Tidak ada seorangpun yang selamat dari tragedi itu. Kecuali...aku."

Aku menahan napas. Masa lalu yang kulihat di Dimensi Lukisan rupanya tak hanya sekedar khayalan semata. Api yang menggulung tinggi ke atas langit, membisukan jeritan Kak Alex di pelosok Kadipaten Estungkara, rupanya bukan hanya sekedar fatamorgana. Aku pun merenung jauh. Kiranya, ada berapa banyak lagi luka tersembunyi yang dirahasiakan teman-teman di balik senyuman seolah mereka baik-baik saja?

Kak Alex pun terdiam sejenak. Ia menarik napas panjang. Seakan teramat berat kalimat yang ia ucapkan. "Aku sama sekali tidak punya apa-apa waktu itu," katanya, "kecuali Luca dan Naya yang menolongku dan memberiku tempat tinggal. Hanya merekalah yang kumiliki setelah Gulana merenggut segalanya."

Kak Alex mengepalkan tangannya, terlihat jelas sekilat kemarahan di matanya. "Sampai sekarang, aku masih mengingat jelas aura pekat dan busuk yang dikeluarkan Gulana dari tubuhnya. Aku ingat pasti bagaimana aku bersumpah bahwa jika aku sampai menemukan aura itu lagi, aku akan melenyapkannya dari dunia ini. Membakarnya dengan api neraka, seperti bagaimana ia menghanguskan kotaku dulu. Karena itulah, saat aku merasakan aura Gulana dari tubuh Nona Adelaide di atas menara, tanpa pikir panjang, aku pun langsung menyerangnya. Aku benar-benar yakin bahwa dia adalah Gulana."

Jadi karena itulah Kak Alex langsung menyerang Nona Adelaide. Kami hampir salah paham mengira Kak Alex adalah pengkhianatnya karena tindakan itu. Namun sekarang, semuanya jadi lebih masuk akal.

Sekarang kembali hening. Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Kami terlalu lelah untuk beradu argumen, tidak enak pula menambahkan cerita duka yang baru saja diceritakan Kak Alex. Siapa yang menyangka bahwa orang sebaik Kak Alex bisa memiliki masa lalu sekelam itu.

"Jadi," satu kata yang dilontarkan Allister berhasil menebas kesunyian ini, "Gulana memang sudah bersama kita sejak di Menara Utara, yah?"

Aku mengangguk. Sambil melirik kristal hitam di tangan Farren, kubilang, "sepertinya dia ingin mengambil Kutukan Magnum Horarium, karena itulah dia mendekatiku, agar aku lengah."

Allister turut melihat benda pembawa masalah itu. Kedua alisnya tertaut, menunjukkan sosoknya yang sedang berpikir keras dalam situasi rumit ini. "Siapa sangka, malah Gibran yang hampir mengambilnya."

Kulihat raut wajah Allister berubah pucat pasi. Sepertinya ia sadar bahwa ia baru saja salah bicara. Tanpa kesepakatan tertulis, kami semua paham bahwa membicarakan Gibran adalah pilihan yang buruk saat ini.

Atensi kami teralih pada Ghaziya yang terus berdiri di dekat jendela asrama. Matanya memandang jauh ke langit sana, pada petir yang terus menyambar. Entah apa yang sedang ia pikirkan sekarang. Yang pastinya, aku tahu bahwa kami tidak seharusnya menyebut nama Gibran dalam kondisi ini.

Netra Anugerah : Akademi DwiastaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang