Bunda 08

9K 379 5
                                    

Rein sedang duduk di bangku kantin sambil memainkan ponsel. Dari arah pintu masuk, Ami datang dengan wajah kusut nya.

"Kenapa lo?" tanya Rein, sambil menatap Ami, yang menelungkup kan kepala di kedua tangan nya.

"Crush gue Rein, lo tau bang Aldo kan? Ternyata dia udah ada pacar. Sakit banget hati gue...," Ami mengerucut kan bibir nya, sambil menatap Rein yang kini menahan tawa.

"Masih banyak cowok lain, nggak cuma bang Aldo aja." ucap Rein, namun Ami menggeleng tak setuju.

"Nggak bisa Rein, soalnya nggak ada yang seganteng bang aldo hehe."

Aldo adalah kating mereka. Sekarang dia sudah semester 8, Aldo cukup ganteng menurut Rein dan juga baik. Di kampus dia cukup populer, selain kegantengan nya dia juga salah satu mahasiswa pintar.

"Udahlah nggak usah sedih, selama jalur Kuning belum melengkung, dia masih bisa di gapai," hibur Rein, karena tak tega melihat, Ami yang tampak lemas.

***

Rein dan Ami yang baru saja tiba di rumah, di kaget kan dengan suara pekikan.

"Cukup mah! Sudah berapa kali Davin bilang, Davin nggak akan menikah lagi!" Rein dan Ami berhenti seketika, kala mendengar suara teriakan Davin dari depan.

"Mi, itu om Davin." Ami menggeleng, kemudian menarik tangan Rein untuk menuju kamar mereka. Ia tidak ingin sahabat nya melihat apa yang sedang terjadi.

"Berhenti kamu!" tukas wanita yang Davin sebut mamah.

Ami dan Rein langsung menghentikan langkah mereka. Ami memejamkan matanya kemudian menoleh.

"Kenapa?" tanya Ami dengan wajah datarnya. Rein hanya diam saja, ia masih menatap mereka dengan bingung. Kini suasana ruang tamu tampak mencekam.

"Kamu dari dulu emang nggak ada sopan santun nya sama orang tua! Nggak di ajarin kamu, hah?" ujar nya sambil memandang Ami sengit.

"Oma ngapain disini? Kalau nggak ada kepentingan, bisa keluar kan. Oh iya, pintu keluar nya masih di sana," ujar Ami sambil menunjuk pintu keluar.

"Heh, siapa yang kamu panggil oma? Saya bukan oma kamu, kamu anak haram nggak pantas jadi cucu saya!" ucap nya santai, sambil memandang remeh Ami.

Ketiga orang yang masih berdiri di situ tertegun, mendengar ucapan yang di keluarkan wanita itu. Ami kini memejamkan matanya, menahan air matanya. Davin yang mendengar itu langsung menatap sang ibu dengan marah.

"Amir cucu mamah!" tukas nya marah. "Dia anak Davin dan bukan anak haram!!"

"Halah, diam kamu. Dasar anak durhaka," balas nya sambil menatap Davin yang mengusap wajah nya kasar. "Gara-gara dia menantu saya pergi, dasar pembawa sial!" lanjut nya sambil menatap Ami yang kini sudah meneteskan air mata.

"Ami bukan pembawa sial oma, kenapa oma selalu nyalahin Ami? Kalau bisa milih, Ami juga nggak mau mami pergi," ucapan Ami sambil menyeka air matanya.

Carissa adalah menantu yang sangat di sayangi oleh ibu nya, Fitriana. Dulu saat mengetahui Carissa hamil, Fitriana sangat antusias, mendengar berita itu.

Hingga akhirnya Carissa melahirkan namun ia meninggal, membuat Fitriana membenci Ami, ia pikir karena kehadiran Ami, menantu kesayangan nya pergi meninggalkan mereka.

"Mamah mending pergi," ucap Davin pelan.

"Jadi kamu ngusir saya, benar-benar nggak ada sopan santun nya kalian ini!" Fitriana memekik kesal. Pandangan nya tiba-tiba terhenti pada Rein yang sedang memeluk Ami.

"Kamu siapa?" tanya nya ketus.

Rein yang merasa di perhatikan, langsung menengok dan menatap Fitriana. "Saya Rein bu, sahabat Ami." ucap Rein sambil menunduk sopan.

Davin sudah was-was, takut ibu nya berbicara yang tidak-tidak pada Rein. "Ngapain kamu disini?" tanya nya lagi.

"Rein tinggal disini. Kenapa, Oma mau larang juga?" tanya Ami yang sudah menghentikan tangisnya, ia menatap kesal sang Oma, yang selalu ikut campur urusan mereka.

Baru saja akan menjawab, Davin langsung menarik tangan Fitriana dan membawa nya menuju pintu utama.

Ia mengabaikan Fitriana yang kini berteriak kesal. Memang dari dulu Davin kurang dekat dengan sang ibu. Wanita itu selalu mencampuri urusan nya, untung saat ia menikah dengan Carissa dulu ia setuju saja, jadi tidak ada cekcok segala macam.

"Mamah mending pergi, jangan ikut campur urusan Davin lagi." Setelah mengatakan itu, pria itu menutup pintu, meninggalkan kan Fitriana yang kini memandang pintu itu tajam.

"Dasar anak sialan! Awas saja kau!" wanita itu kemudian berlalu dari sana dengan emosi yang menggebu.

***

Rein menatap Ami yang kini hanya diam sambil memeluk boneka nya.

"Lo bisa cerita semua sama gue, gue siap dengerin."

Ami menoleh memandang Rein dengan bibir mencebik ke bawah, perlahan air muka nya berubah.

"Bund...," Ami menangis di pelukan Rein. Untuk saat ini Rein tidak mempermasalahkan panggilan itu.

"Kenapa gue di jauhin...gue di benci sama oma sejak mami pergi hiks..G-gue dia bilang pembawa sial, karena udah buat mami pergi hiks..."

Rein mengelus punggung Ami, ia mendengar kan semua racauan sahabat nya yang kini menangis sesenggukan di pelukan nya.

Sosok sahabat yang selama ini ia kenal dengan segala tingkah ceria nya, ternyata mempunyai sisi rapuh yang ia tutupi dengan rapat.

"Udah nangis nya?" tanya Rein. Mungkin sudah 30 menitan ia mendengar segala keluh kesah Ami, sahabat nya mengeluarkan semua yang ia pendam selama ini.

Ami mengangguk sambil memeluk Rein. Matanya terlihat membengkak dengan wajah memerah karena terlalu banyak menangis.

"Sekarang giliran Lo yang dengerin gue. Asal Lo tau, mami Lo pergi bukan karena kesalahan Lo."

Ami menatap Rein bingung, bukan kesalahan nya, lalu kenapa Oma nya selalu menyalahkan dia, atas kepergian sang mami.

"Ta-tapi kata Oma, gue yang udah-"

Rein menggeleng. "Bukan salah Lo. Lo percaya takdir nggak?" tanya Rein sambil menatap Ami yang kini menunduk.

"Kalau gue bilang kepergian mami Lo karena udah takdir nya, gimana?" ucapan Rein berhasil membuat Ami menatap nya penuh tanda tanya.

"Kita manusia nggak pernah tau tentang apa yang akan terjadi ke depan. Contoh nya, Lo tau nggak apa yang akan terjadi sama Lo untuk satu bulan ke depan, atau lebih mudah nya satu menit ke depan?" Ami menggeleng.

Tentu saja dirinya tak tahu. Bisa saja sekarang ia masih sehat, namun dia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah beberapa menit ke depan. Bisa saja terjadi hal buruk atau pun sebalik nya.

"Nah, begitu juga yang terjadi sama mami Lo. Kepergian beliau bukan salah Lo ataupun siapa-siapa. Ini sudah jadi takdir nya beliau pergi karena memang sudah waktu nya, namun kepergian beliau terjadi saat lo di lahir kan, itu yang membuat Oma Lo berpikir bahwa semua ini karena Lo. Tapi nyata nya itu semua salah, karena kepergian beliau murni karena memang sudah waktu nya beliau pergi untuk selama nya."

Buset puitis banget saiyaa...kalau misal nya kata-kata nya kurang gimana gitu, komen ya!

Ami mengangguk, beban yang selama ini ia tanggung, seketika terangkat kala mendengar ucapan Rein. Ia selama ini diam-diam menyalakan dirinya, karena berpikir bahwa kepergian sang mami karena dirinya.

"Makasih Rein." Ami memeluk Rein sambil tersenyum.

Dibalik pintu, Davin mengulas senyum tipis mendengar ucapan Rein. Ia bersyukur anak nya mempunyai seorang sahabat yang begitu baik seperti Rein.

🍂

TBC...

Maaf ya kemarin nggak up, and sorry kalau nungguin...

Semoga suka bab ini, btw maaf ke maleman up nya wkwk-:

Bunda ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang