12 (menyerah)

14.9K 1K 16
                                    

Aku ke taman bersama Aditya. Kami berdua menjalani home schooling, yang memang sudah diputuskan secara tegas oleh Oliver. Oliver bilang, setelah kondisi semuanya aman, aku dan Aditya bisa kembali bersekolah.

"Keluargaku benar-benar tidak memiliki hati nurani, ya, bang," lirih Aditya, suaranya penuh kegetiran.

"Jelmaan setan semua," jawabku sarkastis, tanpa menahan rasa kesal.

"Kau tahu, kejadian itu seperti direncanakan oleh pengawal pribadi bang Aprian. Suasana yang sepi memudahkan dia menjalankan rencananya, bahkan setelah kuingat, CCTV saat itu dalam masa perbaikan," ucap Aditya, menceritakan semua dengan detail.

"Rasanya ingin kuhajar dia," ucapku, geram.

"Biar aku yang menghajarnya saja. Kondisi kesehatanmu bagaimana, bang?" tanya Aditya, khawatir.

"Harusnya aku sudah pergi satu minggu yang lalu, cuma karena pengobatan ini jadi lebih lama saja hidupku," ucapku, menghela napas.

"Bukan abang yang mati, tapi aku," ucap Aditya, suara kesedihannya kembali muncul.

"Apabila sebaliknya bagaimana?" tanyaku, melihatnya dengan tajam.

"Maksud abang?" tanya Aditya, bingung.

"Jangan bertanya kembali, aku meminta jawaban, Aditya!" tegasku, menahan emosi yang mulai membuncah.

"Aku tidak rela kau, orang yang telah memberikan aku arti kasih sayang orang tua, malah harus pergi demi menggantikan aku," ucap Aditya dengan nada penuh kesedihan.

"Cengeng banget lu," jawabku dengan nada remeh, berusaha menahan emosi.

"Bukan cengeng, air matanya yang turun tahu!" protes Aditya, mulai kesal.

"Eleh, sama saja!" ledekku, tidak peduli.

"Abang!" Aditya kesal, suaranya semakin meninggi.

"Hahahaha," tawaku, tak bisa menahan rasa geli.

"Kenapa tiba-tiba abang berkata seperti itu?" tanya Aditya, penasaran.

Aku menghentikan tawaku, lalu menatap orang-orang yang berlalu lalang di hadapan kami. Sejenak aku menggaruk belakang kepalaku, berpikir.

"Tidak ada cara untuk kita kembali ke raga masing-masing, Dit," ucapku, nada suaraku serius.

"Jangan bilang abang mau berkorban demi aku?" tanya Aditya, ragu.

"Iya, aku akan membiarkanmu bahagia bersama keluargaku," ucapku, mencoba memberi kepastian.

"Tidak mau!" protes Aditya, langsung menolaknya.

"Rasa sakit ini membuatku semakin lemah, Dit. Aku sedikit lega apabila aku pergi, ada seseorang yang membantu ayah menjaga bunda dan Rasen," ucapku, dengan suara pelan.

"Ini raga abang, bukan milikku!" pekik Aditya, memukul dadanya dengan keras.

"Yah, itu ragaku, dan aku memberikannya padamu," ucapku, menepuk pundak Aditya dengan lembut.

"Kenapa semakin rumit sih?!" kesal Aditya, frustasi.

"Abang sudah merasakan kasih sayang kedua orang tua. Sekarang giliranmu, aku tidak masalah," ucapku, mencoba memberi pengertian.

Aditya memeluk tubuhku, menangis dalam diam. Semakin lama, aku mengerti bahwa Aditya ini benar-benar orang yang pintar menutup lukanya dengan wajah cerianya. Aku benar-benar menyayangi Aditya, karena sebenarnya dulu Rasen akan memiliki adik, tetapi Rianti keguguran akibat jatuh dari tangga.

Tentu, berikut adalah versi yang telah diperbaiki tanpa kata "hiks":

"Jangan... aku tidak mau... merebut... itu semua," tangis Aditya, suaranya semakin terisak.

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang