13 (pengkhianat)

15K 1K 14
                                        

Kepalaku terasa sangat berat, nafasku memburu. Obat yang seharusnya kuminum tidak ada di dekatku, dan kata-kata dokter terngiang di kepala aku harus meminum obat tepat waktu, jika tidak, akibatnya bisa sangat fatal.

"Argh!" kesalku, merasa tak berdaya.

Dengan susah payah, aku bangkit. Pusing di kepalaku semakin menjadi-jadi. Aku mengambil jaket milik Aditya, berniat kabur dari rumah ini. Aku benci berada di sini, tidak ada kehangatan, hanya kesepian.

Dari ruang tamu terdengar canda tawa yang menyakitkan hatiku. Kenapa aku bertahan di tempat ini? Rasanya semua sia-sia. Aku menuju balkon, melihat sekitar rumah. Tidak ada penjaga di gerbang. Kulihat beberapa mobil asing terparkir. Pastinya, keluarga besar datang. Mereka yang aku sebut sebagai "jelmaan setan."

Aku turun dari balkon dengan memanfaatkan tiang rumah, karena tidak mungkin melompat langsung dari kamar. Kamar Aditya terletak di lantai tiga. Kalau aku melompat, aku pasti akan tertangkap, dan itu tidak seru.

Aku berhasil keluar, namun saat itu, seseorang menarik kerah jaketku. Tanpa berpikir, aku menendang pria itu. Dia terkejut dengan tindakanku.

"Kau sudah berani, Aditya!" teriaknya.

Dia adalah Lio Pratama, sepupu tertua Aditya. Lio dikenal sebagai pribadi yang dingin dan tidak bisa dibantah. Dia juga sering menyiksa Aditya di masa lalu.

Aku mencoba pergi, tidak peduli apa yang dia katakan. Lio menarik rambutku, rasa pusingku semakin hebat. Ia terus menarik rambutku sampai tiba-tiba melemparku begitu saja.

"Ajarkan Aditya sopan santun, om. Dia tidak mendengarkan ucapanku!" tegas Lio.

Keluarga besar mereka ada di sana, dan aku melihat pemandangan yang semakin memuakkan. Aku berdiri, menggelengkan kepala. Mataku terpaku pada sosok yang dipeluk Marina erat, dan aku merasa sangat miris. Aditya, anak kandungnya, disia-siakan, sementara anak pungut disayang.

"Dia masih bodoh, Satria?" tanya kakek Aditya.

"Kudengar dia tidak masuk sekolah dua minggu kemarin," jawab neneknya.

"Apa-apaan ini, semakin bodoh saja!" seru Aprian.

"Kamu membuat malu keluarga Pratama!" sindir Lio.

"Mungkin dia bukan keturunan Pratama!" ejek tante Aditya.

"Benar, bahkan seperti anak autisme!" kata om Aditya dengan nada sinis.

"Setan semua kalian!" pekikku, merasa marah dan kesal.

Tiba-tiba, dua kakak sepupu yang lebih besar dariku datang, menampar wajahku dan menendang tubuhku. Mereka menatapku dengan jijik, seolah aku tidak layak untuk hidup. Aku membiarkan tubuhku terjatuh, rasanya remuk, tidak ada yang peduli.

"Satria, kenapa kau tidak membunuh anak tak berguna ini?" perintah kakek Aditya.

"Kerjanya cuma membuat malu saja!" ejek tante Aditya.

"Nih, om, ada revolver milikku. Sekarang bunuh saja anak ini," ujar Lio sambil menyerahkan revolver kepada Satria.

"Dia bodoh dan tidak tahu malu!" kata om Aditya.

"Gara-gara dia, kita hampir kehilangan pewaris yang jenius!" kesal nenek Aditya.

"Pantas kau memilih untuk menyerah, Dit," batinku.

"AKU MENYESAL MELAHIRKANMU!" marah Marina.

Kata-kata itu menohokku. Aku telah terbiasa mendengar kata-kata kejam seperti itu, tetapi kali ini, terasa lebih sakit karena itu datang dari seorang ibu.

Aku berusaha keluar, namun ratusan bodyguard menghentikan langkahku. Saat hendak melawan, seseorang memukul kepalaku. Rasanya sangat menyebalkan.

Aku terbangun dalam keadaan dingin, dan Lio berdiri dengan tangan tersedekap di depan wajahku, tersenyum miring. Anggota keluarga lainnya juga ada di sana. Lio mengambil batu bata dan melemparkannya ke arahku, tepat mengenai kepala. Setelah itu, mereka bergantian menyiksaku, seolah aku ini hanya mainan yang bisa mereka perlakukan sesuka hati.

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang