Kepalaku memberat, nafasku memburu, obat yang harus konsumsi tidak berada di dekatku. Aku menjambak rambutku ucapan dokter benar apabila aku telat meminum obat akibatnya sangat fatal bagiku.
"Argh!" kesalku.
Aku bangun sedikit sulit karena rasa pusing di kepalaku semakin menjadi saja. Aku mengambil jaket milik Aditya berniat kabur dari rumah ini. Aku benci disini tidak ada kehangatan sama sekali.
Aku juga bisa mendengar canda tawa yang berasal dari ruang tamu. Sudut hatiku merasa tercubit mendengarkan itu semua. Percuma raga ini bertahan di keluarga ini tidak ada gunanya sama sekali.
Aku menuju balkon kamar tidak ada penjaga di gerbang rumah. Aku menyipitkan mataku melihat beberapa mobil asing terparkir yah palingan keluarga besar jelmaan setan.
Aku turun dari balkon menggunakan tiang rumah karena aku tidak mungkin melompat dari kamar. Kamar Aditya berada di kamar tiga bukannya kabur malah berakhir tertangkap tidak seru sama sekali.
Aku berhasil kabur saat akan kabur ada yang menarik kerah jaketku. Aku menendang pria dewasa itu dia nampak terkejut akan tindakanku barusan.
"Kau sudah berani Aditya!"
Dia kakak sepupu tertua dari Aditya namanya Lio Pratama. Sifat Lio dingin tak mau dibantah sama sekali. Lio juga pernah menyiksa Aditya di masa lalu.
Aku pergi tidak mempedulikan ucapan Lio sama sekali dia menarik rambutku rasa pusingku semakin menjadi akibat ulahnya. Lio terus menarik rambutku sampai tiba-tiba dia melemparkan aku begitu saja.
"Ajarkan Aditya sopan santun om. Dia tidak mendengarkan ucapanku sama sekali!" tegas Lio.
Kulihat ternyata semua keluarga besar berada disini waktu yang kurang pas. Aku berdiri menggelengkan kepalaku beberapa kali. Mataku terkunci pada sosok pemuda yang dipeluk Marina sangat erat. Miris sekali hidupmu Aditya anak kandung disia-siakan sementara anak pungut disayang.
"Dia masih bodoh Satria?" tanya kakek Aditya.
"Kudengar dia tidak masuk dua minggu kemarin," ucap nenek Aditya.
"Kau ini sudah bodoh semakin bodoh saja!" kesal Aprian.
"Membuat malu keluarga Pratama saja!" sinis Lio.
"Mungkin dia bukan keturunan Pratama!" remeh tante Aditya.
"Benar bahkan dia seperti anak autisme!" panas om Aditya.
"Setan semua kalian!" pekikku.
'PLAK' 'PLAK' 'BUG' 'BUG'
Kedua pipiku ditampar dan badanku ditendang dua kali oleh dua kakak sepupu yang badannya lebih besar daripada aku. Aku berdiri membiarkan tubuhku remukku ini. Kulihat tatapan mereka jijik, menghina, dan hal-hal yang seharusnya tidak didapatkan oleh remaja seusiaku.
"Satria kenapa kau tidak membunuh anak tidak berguna ini!" tegas kakek Aditya.
"Kerjanya cuma membuat malu saja!" remeh tante Aditya.
"Nih om ada revolver milikku sekarang bunuh saja nih anak," ucap Lio menyerahkan revolver kepada Satria.
"Selain bodoh dia juga tidak tahu malu ya!" remeh om Aditya.
"Gara-gara dia kita hampir kehilangan pewaris yang jenius!" kesal nenek Aditya.
"Pantas kau memilih menyerah Dit," batinku.
"AKU MENYESAL MELAHIRKANMU!" marah Marina.
'Deg'
Kata menyakitkan itu kembali di dapatkan olehku hal biasa bagi Aditya seperti makanan sehari-hari malahan. Entah kenapa aku merasakan sedih juga mendengar seorang ibu mengatakan itu pada anaknya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Ello (END)
General FictionNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah tentang keluarga saja tidak lebih. Othello Pranaja Zayan pemuda berwajah tegas, bersifat dingin, datar, minim ekspresi, benci pengkhianatan, baik sama orang yang disayang, dan tidak memandang bulu saat marah...