Fajar telah berlalu, matahari yang malu-malu, mulai menampakan cahayanya. Setiap detik semakin meninggi dan semakin benderang menghangatkan semesta. Semakin lama Ia gagah sempurna, terbit di ufuk timur. Hari senin, menjadi tradisi semua sekolah, di kampung atau di kota, sekolah negeri ataupun swasta, dari tingkat SD sampai SMA, dalam keadaan suka atau terpaksa, semua harus mengikuti upacara bendera. Ritual ini, adalah bagian dari ekspresi bangsa menghormati jasa pahlawannya. Tradisi yang baik dan wajar dilakukan sebuah negeri.
Namun perlu di ingat, jika anak-anak sekolah lebih memilih berada di tempat rental game, atau malah mangkal di warung belakang sekolah, itu sekedar luapan dari fenomena kenakalan remaja. Bukan berarti mereka radikal atau intoleran. Hanya belum tumbuh rasa cinta dan penghargaannya kepada simbol-simbol negara.
Adapun guru BK yang berhasil menciduk mereka, kemudian menjatuhkan sangsi yang menakutkan, semisal berjemur sembari hormat bendera, biarkan saja. Bagus untuk pendidikan tanggung jawab mereka. Hitung-hitung mengqadha upacara bendera yang di tinggalkannya. Toh matahari pagi, masih cocok untuk kesehatan. Lagi pula, dimana solidaritas persatuan, jika siswa lain berjemur di terik matahari saat upacara, mereka berandal sekolah itu, malah enak-enakkan menghisap rokok di warung belakang, atau tertawa terbahak memainkan papan game-nya. Sungguh tidak mencerminkan nilai Pancasila pada sila ke tiga. Sekaligus tidak mengimplementasikan Pancasila yang ke lima.Kampung Mujur tempat Abu tinggal, adalah salah satu daerah pelosok yang sudah padat penduduknya. Gang antara rumah ke rumah, semakin hari semakin menyempit. bak gang-gang pinggiran kota. Mereka rela berdesak-desakan tinggal di kampung, bukan karena disana ada mata pencaharian yang menjanjikan, tapi tradisi warga kampung Mujur yang masih lestari hingga kini, yaitu menikah dengan orang sekampung, itulah penyebab utamanya. Keluarga-keluarga baru bermunculan dan tetap menetap disana, memakai tanah warisan dari orang tua mereka yang tidak seberapa. Tidak jarang rumah satu atap dirubah jadi dua atap, agar keluarga baru mereka tetap bisa tinggal di kampung. Dulu kampung Mujur adalah rawa-rawa, sebagiannya sawah. Karena semakin banyak penduduk, akhirnya dibeberapa titik, rumah demi rumah di bangun berjejer padat. Di kampung itulah Abu hidup bersama keluarga sederhananya.
Sama saja bagi Abu, Senin dan hari lainnya tidak memiliki arti khusus seperti yang di katakana orang-orang. Jika siswa sekolah di kota-kota besar sana, menghukumi hari senin menjadi hari malas sekolah. Mungkin karena mereka lelah selepas weekand menghabiskan waktu liburan dengan keluarga. Tapi bagi Abu, setiap hari adalah perjalanan takdir yang penuh kecemasan. Setiap hari yang dipikirkan justru Apakah bisa berangkat sekolah atau tidak. Apakah Abahnya punya uang untuk ongkos sekolahnya hari itu, atau tidak. Kalaupun sekolah, apakah akan di izinkan ikut belajar atau tidak. Seperti mengira-ngira jumlah biji manggis yang sudah di kikis bagian kulit bawahnya. Tidak mudah ditebak.
Sudah lewat jam tujuh, abahnya belum pulang dari wiridan di Musala. Padahal dia sudah berseragam putih-Abu nan gagah. Tinggal minta uang ongkos, lalu pamit sekolah, kemudian berangkat cari angkutan umum, dan belajar seperti siswa lain. Tapi, yang dinanti belum juga tampak bayangannya. Apa berarti, hari ini Abu kembali tidak bisa sekolah lagi, seperti hari Senin yang lalu?. tidak usah menebak-nebak. Bagi Abu, tidak ada pilihan kecuali pasrah dengan keadaan, sambil terus komat-kamit berdoa. Itu yang biasa Ambunya ingatkan, saat Abu menanti Abah pulang dari Musala.
Untuk sekedar bisa berangkat sekolah saja, Abu telah banyak belajar tentang ridha atas takdir baik dan buruk. Toh kata Abah, aslinya tidak ada takdir buruk, yang ada semuanya takdir baik. Hanya manusia saja yang salah menyikapi takdir, sehingga timbulah masalah. Begitu ajaran yang Abu terima dari Abahnya.
Yang membuat Abu tidak mungkin protes tentang keterbatasan ekonomi keluarganya itu, karena dalam hati kecilnya, Abu merasa tidak layak anak seusia dirinya, masih jadi beban orang tua. Padahal anak lain, sudah terbiasa bekerja di kota dan mengirimkan uang bulanan untuk orang tuanya.
Tapi orang seperti Abu, mau kerja apa?. Tenaga?, Semua orang tahu, Abu tak bisa diandalkan untuk kerja tenaga. Badannya yang kurus kering dan pengawakannya yang kecil, tidak bisa meyakinkan orang untuk diberdayakan tenaganya. Berjualan? , Jualan apa yang bisa dia lakukan anak pemalu seperti Abu, mana bisa menawarkan dagangan. Apalagi kalau jenis usaha yang membutuhkan modal. Lebih tidak mungkin.
Yang Abu sadari, satu-satunya andalan untuk bisa meringankan beban biaya, harus dapat beasiswa. Karunia dari Allah berupa pemahamannya dalam mencerna pelajaran, adalah andalan Abu. Dia sempurnakan ikhtiar, dengan belajar yang rajin agar dapat rangking, setelah itu, bisa seleksi beasiswa sekolah. Itu saja yang di pikirannya sehari-hari.Sebenarnya ekonomi keluarga mereka terpuruk, belum terlalu lama. Bermula dari kesehatan Abah yang semakin memburuk. Dokter memvonis Abah punya masalah dengan jantungnya. Saat itu Abah bekerja sebagai keamanan di salah satu pesantren modern terbesar di kecamatan. Sejak penyakit itu menyerang, Abah jarang hadir jaga malam. Hingga turunlah surat pemberhentian. Sejak itulah semakin menurun ekonomi keluarga sederhana Abah. Sudah kesulitan biaya hidup harian, di tambah lagi beban biaya berobat. Beruntung, pesantren tersebut masih berbaik hati, mendanai abah untuk rutin mengecek kesehatannya.
Abah datang dengan membawa dua lembar uang ribuan. Uang yang hanya cukup untuk ongkos sekolah itu, langsung diterima Abu tanpa banyak tanya. Kemudian Abu mencium tangan Abah kegirangan, dan tanpa babibu langsung berangkat secepat kilat.
"Dari mana lagi Abah pinjam uang?", tanya Ambu sesaat setelah Abu keluar rumah.
"Tidak terlalu penting bu, yang penting anak-anak bisa sekolah". Jawab Abah mengentengkan masalah.
"Tadi Ambu menghutang gorengan di warung Bi Jumriyah, semuanya total sepuluh ribu". Ambu memberi tahu Abah.
"Catat saja seperti biasa, masukan di buku hutang. Oh ya, Fatimah sudah sarapan?", Abah dengan ringan menanggapi, dan mencari topik lain.
"Fatimah sudah makan Bubur bayi, Umar, Utsman, Khadijah dan Aisyah sudah berangkat sekolah, dan Ali sedang Bermain". Ambu menjelaskan dengan detail keadaan anak-anaknya.
"Alhamdulillah", jawab Abah lega.Sudah terlalu siang untuk menunggu angkutan umum, Kemungkinan terakhir, Abu harus berangkat bersama ibu-ibu pemilik warung yang hendak berbelanja di pasar. Kebetulan letak SMA Abu, tidak begitu jauh dengan pasar. Maklum di pelosok desa, bukan hanya ekonomi yang susah, sampai perkara transportasi juga ikut susah.
Hari seperti ini, bukan hari pertama yang harus Abu lalui dengan harap cemas. Hampir setiap hari selalu dalam keadaan seperti ini. Seragam sudah siap terpakai, bisa jadi ongkos sekolah tidak ada. Ongkos ada, belum tentu angkutan umum dapat. Begitulah kehidupan menguji keluarga Abu, Kebiasaan ini memang memerlukan kesabaran, dan Abu beserta keluarga, sudah teruji kesabarannya. Mereka sudah hampir tiga tahun bisa bertahan dengan kehidupan cara ini.Angkutan umum akhirnya datang juga. Tanpa pikir panjang, sebelum benar-benar kesiangan, Abu langsung naik angkutan umum dengan tergesa-gesa. Perjalanan bisa menghabiskan waktu setengah jam. Cukup untuk mempersiapkan jawaban bagi guru mata pelajaran pertama, menyusun kalimat tentang alasan keterlambatannya. Tidak lagi jadi pertimbangannya tentang upacara, pasti sudah lewat, dan sudah pasti ada konsekuensi tersendiri. Inilah hidup, harus siap dengan sebab akibat. Menerima konsekuensi atas apa yang sudah diperbuat. Tak perlu cari kambing hitam, di nikmati saja tahapan-tahapannya, Abu yakin kehidupan itu seperti roda, mungkin ada kalanya suatu saat keberuntungan bisa menghampiri.
Apa salahnya, kalau sambil menunggu angkutan umum sampai ke lokasi tujuan, Abu mengingat-ngingat perjalanan hidupnya. Apa lagi yang bisa di lakukan anak pemalu seperti Abu di dalam angkutan umum. Satu angkutan umum penuh dengan emak-emak yang hendak ke pasar. Mana nyambung ngobrol dengan anak SMA.
Tidak jarang Abu berprasangka, barangkali ibu-ibu yang biasa naik angkutan umum bersamanya, sering memperhatikan dengan pandangan penuh heran,
"kenapa anak ini sering berangkat kesiangan?".
Untuk itu, Abu pasang wajah yang tidak bersahabat. Diam, kaku, beku, cuek, dan sering terlihat melamun. Semua itu ditujukan, agar mereka mengurungkan niat untuk melontarkan pertanyaan.
Tapi entahlah, apakah ibu-ibu itu benar berselera untuk bertanya, atau barangkali, isi kepalanya penuh dengan sayuran dan ikan asin.
Muka Abu, memang terlihat penuh dengan guratan kemurungan, menandakan begitu berat beban hidup yang dia rasakan. Tapi lagi-lagi tidak ada pilihan. Mau berontak dan tidak sabar pun, tidak menyelesaikan kemiskinannya. Lalu untuk apa memilih tidak bersabar, kalau bersabar lebih mendatangkan kemanfaatan.***
KAMU SEDANG MEMBACA
Madrasah Cinta
SpiritualTemukan pemaknaan mendalam tentang arti keluarga dalam karya ini. Kamu bisa belajar menjadi anak yang baik, kakak yang baik, adik yang baik, suami yang baik, istri yang baik, ayah yang baik, atau ibu yang baik. Sebagian dari takdir kehidupan itu ak...