Kenangan di Al Uswah

1 0 0
                                    

Sudah hampir maghrib, Abu belum juga tiba di rumah. Padahal awalnya Abu sangat  berharap semoga bisa  berbuka puasa bersama keluarga  hari ini. Pastinya sangat menggembirakan. Dia berpisah dengan kang Ali dan ustadz Nadi di Al Uswah. Abu pamit undur diri, setelah beberapa saat acara training motivasi selesai. Sepanjang perjalanan Abu terngiang-ngiang kata-kata dari ustadz Nadi, saat dirinya mengeluhkan hafalannya.

"Ustadz, ternyata menghafal Al Qur'an itu sulit ya?, saya merasa tidak berbakat. Begitu payah saya berusaha mengejar ketinggalan dengan santri-santri yang lain. Ustadz bayangkan saja, saya mengurangi waktu tidur dan bergadang semalaman. Sambil terkantuk-kantuk tetap menghafal. Paginya,  hanya dapat satu halaman yang siap di setorkan, itupun tidak lancar. Sering di ditolak setoran hafalan, dan  mengulanginya di waktu yang lain.

Padahal ada satu teman saya, anaknya sangat pemalas, lebih banyak tidur daripada menghafal, tapi di saat  yang sama, dia mampu menyetorkan hafalan dua lembar, malah bisa tiga lembar".

"Terus menurut Abu masalahnya di mana?" Sela ustadz Nadi

"Mungkin saya tidak berbakat".

"Bukan".

"Terus apa ustadz?"

"Tidak ada masalah".

Abu mengernyitkan kening, merasa kalimat dari ustadz Nadi kurang difahami.

"Kadang masalah itu menjadi serius, karena kita salah menyikapi masalah".

"Maksud ustadz?"

"Coba Abu bayangkan, berapa banyak pahala bacaan Al Quran yang abu peroleh, karena kesulitan menghafal?"

"Mohon maaf ustadz...Mungkin bisa di perjelas?"

"Bukankah satu huruf berbalas 10 kebaikan? Bukankah Alif lam mim itu bukan satu huruf, tapi masing-masing dari tiga huruf itu mendapat 10 kebaikan? Lalu berapa kebaikan yang abu peroleh ketika satu ayat  diulang berkali-kali sampai bergadang dan suara serak. Boleh jadi Abu hanya mendapat hafalan satu halaman, tapi siapa yang tahu bahwa  pahalanya disisi Allah begitu banyak tak terkira"

"Bukankah usaha tidak akan mengkhianati hasil?, Kenapa orang yang berusaha keras seperti saya, terkalahkan oleh orang yang terlihat malas-malas?". Abu coba membantah argumen Ustadz Nadi.

"Itukan hanya prasangka Abu saja. Bisa jadi yang dimata Abu terlihat malas-malas, justru punya amalan rahasia yang membuatnya di mudahkan dalam menghafal?"

"Maksudnya?" Abu semakin tidak faham apa yang disampaikan ustadz Nadi.

"Kalau melihat orang lain, pandanglah dengan prasangka yang baik. Sementara kalau melihat diri sendiri, pandanglah dengan prasangka curiga. Itu lebih membuat kita menjadi rendah hati dan menilai orang lain lebih baik dari kita"

Abu terhenyak sejenak, dan berusaha mencerna kata-kata ustadz Nadi.

"Saya mulai faham ustadz, letak kesalahannya ada pada diri saya, mungkin terlalu sombong, terlalu merasa baik, terlalu menilai orang lain buruk..."

"Atau bisa jadi itu bukti kasih sayang Allah kepada Abu, Allah ingin Abu mendapatkan pahala yang lebih banyak dari orang lain, Allah ingin Abu menikmati Ayat demi ayat, agar semakin kuat keimanan Abu terhadap Al Qur'an.

Maksud saya, Abu harus  lebih banyak bersyukur dengan apapun yang Allah karuniakan. Karena selalu ada sudut pandang kebaikan untuk menilai takdir Allah. Kalaupun Abu menganggapnya ini adalah musibah, Abu masih tetap bisa mendapatkan pahala dengan cara bersabar".

Percakapan itu terpotong karena ada salah satu siswa yang izin kepada ustadz Nadi untuk meminjam Motor  yang akan digunakan membeli makanan berbuka.

"Ini kuncinya, Annisa bisa ambil motornya di bawah pohon mangga". Perintah ustadz Nadi kepada perempuan tinggi semampai yang menjabat sebagai ketua panitia.

"Terima kasih ustadz". Jawab Annisa dengan penuh takdzim.

Obrolan berlanjut, terutama antara kang Ali dan Ustadz Nadi yang sudah lama tidak bersua. Sementara Abu lebih banyak terdiam, sepertinya sedang mencerna nasehat-nasehat dari ustadz Nadi.

Selang beberapa menit kemudian, Mereka bertiga di kejutkan kembali oleh Annisa yang meminta izin karena motor ustadz Nadi tidak bisa di hidupkan.

"Masa tidak bisa hidup, baru kemarin di servis" ustadz Nadi tidak percaya.

Kang Ali melirik Abu, sekakan memberi isyarat. Maka Abu langsung merespon isyarat tersebut.

"Biar saya periksa ustadz" Abu menawarkan bantuan.

"Coba cek ya Bu, Nanti kalau ada problem bisa kabari saya". Pinta ustadz Nadi.

Abu berjalan di depan dua perempuan yang lapor kepada ustadz Nadi menuju pohon mangga  di area parkir. Mereka adalah Annisa ketua pelaksana dan Aisyah bagian konsumsi.

Ternyata setelah Abu cek, memang starter nya sudah tidak berfungsi, namun ketika menggunakan selah, sekali selah langsung hidup.

"Maaf ya ka...sepertinya saya kurang tenaga untuk menselah motor".
Mereka berdua tersipu malu. Maklum, Anisa memang baru beberapa waktu lalu sembuh dari sakit tifus nya. Terlihat matanya pun nampak sendu.

"Apakah teteh yang satu lagi bisa mengemudi motor?" Tanya Abu.

"Saya belum bisa ka.." jawab Aisyah

"Kalau boleh saya usul, bagaimana kalau teteh yang ini istirahat saja, dan teteh yang satu lagi, bisa cari panitia lain yang bisa mengendarai motor, yang terpenting juga  bisa menselah motor".

"Baik terima kasih ka...Aisyah nanti kamu berangkatnya sama Nia saja ya? Dia bisa bawa motor insha Allah..."

"Baik teh..."

Annisa langsung mengambil hp nya dan menghubungi Nia agar segera ke tempat parkir.

Beberapa saat kemudian, Nia sudah tiba di antara Abu dan dua orang temannya.

"Nia, kita saja yang beli konsumsi?" Pinta Aisyah

"Siap". Seperti biasa Nia selalu menunjukan dirinya yang riang gembira.

Motor sudah Abu matikan lagi untuk menguji, apakah benar perempuan ini bisa menghidupkan mesin atau tidak.

Saat Nia mulai menselah motor. Terlihat celana panjangnya menjuntai di balut kaus kaki warna krem dengan bagian dampalnya berwarna hitam. Nia menggunakan sandal warna biru meskipun dia berpakaian sekolah lengkap putih abu dengan kerudung yang menjuntai panjang dan rok lebarnya.

Ada desiran halus di hati Abu.
Betapa beruntungnya mereka,  sejak SMA sudah mengenal bagaimana berpakaian yang menutup aurat dan menjaga pandangan lelaki. Bergaul dengan orang-orang baik dan lingkungan yang baik. disibukan dengan aktifitas yang bermanfaat mengisi hari-hari muda mereka. Berbeda jauh dengan dirinya semasa SMA, dia jadi ingat, bagaimana sebagian besar teman-teman sekolahnya yang perempuan  bersolek dengan gaya-gaya anak muda zaman itu, belum lagi di tambah dengan Baju sekolah yang sengaja di ketatkan, agar terlihat lekuk tubuh, rok SMA yang sengaja di potong di atas mata kaki. Mereka begitu fulgar mempertontonkan kecantikan. Semua itu mengiris hati Abu, mengingat adik-adiknya juga perempuan.

****

Lamunan Abu di kejutkan oleh Pak kondektur Bus mini yang berteriak,

"Gajrug...gajrug...!!!"
Abu sudah tiba di persimpangan menuju rumahnya. Bus tidak sampai ke kampungnya. Dari pasar gajrug, Abu masih harus menggunakan ojek menuju rumah.



Madrasah Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang