Langit mendung di pagi itu, menggambarkan suasana mendung di hati Abu. Dia mulai merasa sedih karena temannya Obi, tak bisa berangkat ke Tibul Qulub. Kelabu harinya semakin menjadi, setelah mendapat nasehat dari Abah, kang Munir dan Buya Sabarudin, semakin membuatnya menjadi bimbang. Tekadnya yang semula mantap, kini menjadi setengah hati. Abu masih mengganjal, tidak sepenuhnya yakin.
"Semuanya masih samar Abu...kamu belum tahu, Abah juga belum tahu. Terus apa yang di takutkan?
Kejar ilmu kemana saja dan dari siapa saja, karena hikmah adalah barang mukmin yang hilang. Dimanapun kamu mendapatkannya, maka kamu yang paling berhak mengambilnya.
Ingat Abu, tujuanmu adalah menghafal Al Qur'an, jadi tidak usah khawatir dengan sesuatu yang belum jelas". Abah memberi lampu hijau, menandakan pemebrian restu untuk perjalanan safar Abu menuntut ilmu.Setelah genap satu bulan mempersiapkan diri dan mental. Hasil dari perenungan dan istiqarahnya, Abu sudah bertekad untuk tetap berangkat ke pesantren, dia yakin, apa yang telah di putuskan dengan melibatkan Allah, tidak mungkin mengecewakan.
Sebelum keberangkatan, Abu melatih diri dengan memperbanyak tilawah, kata Abah, itu adalah salah satu cara untuk mempersiapkan diri menjadi penghafal Al Quran. Dengan target tiga hari khatam, cukup menguras tenaga Abu, karena artinya dia harus menyelesaikan tilawah satu hari sepuluh juz. nampaknya sangat keras usaha Abu, tapi itu semua dilakukan agar lisannya terbiasa dalam menghafal Qur'an.
Bukan hal yang sulit bagi Abu, untuk untuk mengkhatamkan Al Qur'an dengan cepat. Karena dia melihat teladan itu dari Abahnya, Bertahun-tahun Abah mewirid Al Qur'an dengan cara tilawah 7 hari khatam. Dengan rumus target hariannya adalah fami bi Syauqi, setiap huruf mewakili awal surat yang di baca perharinya. Fa menunjukan surat Al Fatihah, Mim menunjukan surat Al Madinah, ya menunjukan surat Yusuf, ba surat Bani Israil (Al isra), syin surat asy syara, wau surat Wa Shafati Shafa, qaf surat qaf.
Bahkan wiridan Abah ini, dinilai beberapa orang sangat ekstrim, karena saat Abah membaca Al Qur'an, dia tidak berkenan berbicara kepada siapapun, bagaimanapun keadaannya. Kalaupun terpaksa, Abah hanya memberikan isyarat. Begitulah ijazah wirid yang Abah dapatkan dari gurunya. Tujuannya agar tidak mencampurkan Kalam Al Qur'an dengan Kalam selainnya.Wirid ini tetap Abah lakukan meski dalam kondisi apapun. Bahkan saat Beliau menjadi satpam di salah satu pondok modern yang ada di kecamatan. Abah tetap mewiridkannya. Hal tersebut di lakukan di sela-sela jaga malam. pondok tersebut masuk dalam kategori 5 pondok modern yang paling di minati dan paling besar di Indonesia. Dalam keadaan menjadi satpam pun, Abah masih bisa menyempatkan diri untuk tilawah Al Qur'an. Karena kesolehanya di mata pimpinan, karyawan, asatidz, dan seluruh santri. Abah dinobatkan menjadi satpam teladan. Tilawah Quran yang menjadi wiridan Abah terus berlanjut, sampai beliau mulai sakit-sakitan, salah satu penyebabnya adalah udara malam yang tak bersahabat. Kebiasaan wirid Al Qur'an itu mulai berkurang, setelah Abah sakit-sakitan. Abah tidak lagi bisa dawam Al Qur'an. Sekaligus tidak bisa lagi bekerja sebagai satpam di pondok modern tersebut.
Mungkin benar juga apa yang disampaikan oleh Buya Sabarudin, bahwa Abah lebih luas pergaulannya. Abah yang berasal dari pondok pesantren tradisional tidak kaku untuk bergaul dengan orang-orang Pondok Modern. Padahal di kecamatan tempat Abu lahir, antara pondok modern dan tradisional, ada semacam persaingan. Memang pondok modern belum begitu banyak jumlahnya di kecamatan tersebut. Namun pesatnya pertumbuhan pesantren modern menjadi ancaman tersendiri bagi segelintir pengurus pesantren tradisional. Hal tersebut menyulut oknum masyarakat mengeluarkan statmen tendensius kepada pondok modern. Tapi itu tidak menutup ruang untuk Abah bisa masuk dan bergaul didalamnya. Bahkan Abah yang seorang satpam, sering di undang diskusi-diskusi keagamaan oleh asatidz disana. Dari mulai obrolan santai bersama santri-santri kelas lima dan enam yang piket menjaga gerbang. Sampai obrolan serius dengan pembesar-pembesar pesantren.
Semua itu Abah anggap adalah bagian dari dakwah menyambungkan lidah ulama-ulama yang bersanad. Agar lebih di fahami dengan sederhana oleh orang-orang di masa kini, yang belum mengenal metodologi keilmuan ulama-ulama Nusantara yang bersambung silsilah keilmuannya kepada santri-santri tradisional.****
Persiapan demi persiapan telah dilalui Abu, kini saatnya Abu berangkat menuju pesantren. Keputusan telah di tetapkan, jadwal berangkat sudah terencana dengan baik.
Abu berangkat ke pesantren tanpa di antar oleh orang tua lazimnya santri lain saat pertama mondok. Bahkan kelak, keluarganya tidak ada yang berkesempatan menjenguk Abu selama program belajarnya 3 tahun.Abu diantar oleh ustadz Nadi, kali ini beliau juga mengantar dua orang santri lain, yang juga dinyatakan lolos pada test satu bulan lalu. Abu baru tahu, ternyata dari kabupaten, dia tidak sendiri, ada dua orang lagi asal kota Rangkasbitung yang berhasil di terima mondok di sana.
Setidaknya itu menjadi penyemangat Abu, yang semula mengira akan berjuang seorang diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madrasah Cinta
EspiritualTemukan pemaknaan mendalam tentang arti keluarga dalam karya ini. Kamu bisa belajar menjadi anak yang baik, kakak yang baik, adik yang baik, suami yang baik, istri yang baik, ayah yang baik, atau ibu yang baik. Sebagian dari takdir kehidupan itu ak...