Mulailah lamunannya menuju satu tahun ke belakang. Waktu kenaikan kelas, dari kelas sepuluh ke kelas sebelas SMA. Abu mendapatkan beasiswa dari pihak sekolah, dana CSR dari pabrik rokok. Nilainya cukup besar. Setiap semester cair lima ratus ribu rupiah, dan kebetulan pencairan pertama langsung untuk dua semester. Jadi, Abu memiliki uang senilai satu juta rupiah. Abu mengira uang sebesar itu, cukup untuk mewujudkan niatannya belajar agama di pesantren. Meskipun sebenarnya, selama di kampung pun, Abu tidak pernah berhenti untuk belajar agama. Baik kepada Buya Sabarudin, gurunya sejak kecil. Ataupun kepada Abahnya sendiri yang memang dikenal sebagai kiyai kampung. Abu berharap, ketika dia belajar di pesantren, bisa bersikap lebih dewasa dalam memaknai hidup, dan tidak banyak tergantung kepada orang tua. Setidaknya mencari suasana baru selain suasana rumah.
Sebenarnya ide ini, dimotivasi kuat oleh pilihan matematisnya. Jika Abu tinggal di pesantren sembari sekolah, maka akan menghemat ongkos sekolah, artinya bisa dipastikan setiap hari tidak ada kendala berangkat sekolah. Kebetulan pesantren yang Abu inginkan itu, jaraknya dekat dengan sekolah. Apalagi, beberapa kawannya juga memilih nyantri sambil sekolah.Kampung dekat sekolah itu, dikenal dengan kampung santri. Hampir setiap rumah dikampung tersebut adalah pesantren. Suasananya sangat syahdu dan religius. Tempat itulah yang Abu rindukan, setiap hari berangkat sekolah, pasti melewati kampung itu, dan setiap hari juga Abu selalu berharap bisa tinggal bersama mereka.
Abah yang tamatan pesantren sangat setuju Abu nyantri. Beliau langsung menghubungi salah satu keluarganya yang menjadi kiyai besar di kampung santri. Memang karakter Abah tidak pernah mau mengecewakan putra-putrinya. Abah tidak pernah berhitung matematis seperti Abu. Padahal Abah juga tidak tahu, bagaimana cara Abu bisa bertahan hidup di pesantren. Berapa lama uang satu juta bisa membiayai kehidupan Abu di pesantren?. Tapi itulah Abah. Meskipun Ambu sudah memberikan argumen yang lebih realistis untuk jangka panjang. Niat Abu mondok diiringi keridhaan Abah, membuat semuanya berjalan lancar.Abah mengantar Abu ke pesantren dan mengajak sowan kiyai, begitulah salah satu tradisi, ketika ingin memasukan anak ke pesantren. Tradisi penerimaan santri di pesantren tradisional tidak begitu ribet dan banyak prosedur. Tinggal datang kepada Kiyai, hari itu juga otomatis dilantik menjadi santri.
Baru sehari di pesantren, Abu kaget dengan kultur kehidupan di sana. Jauh dari perkiraannya, jika selama ini Abu mengira pesantren hanya tempat belajar agama, kata temannya tentang pesantren justru sebaliknya.
"pesantren itu tempat berletih-letih, mengerjakan apa saja, karena kita tidak tahu, pintu rezeki untuk santri ada di mana. Ada yang di angkat derajatnya dengan ilmu, bahkan ilmu itu yang membuat rezeki mengejar-ngejar dia. Tapi tidak semua santri jadi kiyai. Tubuh santri harus luwes dengan takdir apa saja yang kelak menjadi jalan hidup pencarian nafkah, karena belajar agama bukan untuk mencari nafkah".Kata-kata teman barunya ini, benar tampak jelas di mata Abu. Ada santri yang bertugas memanen padi di sawah, Ada yang bertugas menjemur gabah yang basah, ada juga yang bertugas menjaga kandang ternak ayam, bahkan ada juga yang bertugas membantu pembuatan pembangunan asrama. Semua itu dilakukan santri salama proses pembelajaran di pesantren. Mungkin lebih tepatnya belajar realita kehidupan.
Tepat di hari Abu mondok, kebetulan sedang hari bekerja. Artinya semua kegiatan belajar kitab, di alihkan ke 'belajar' bekerja. Model Abu, si anak yang tidak tahu kemana-mana kecuali sekolah dan rumah. Kehidupan seperti ini, perlu banyak adaptasi.
Hari pertama di pesantren, Allah mentakdirkan Abu untuk melihat kenyataan. Dia ternyata tidak setegar di rumah. Abu harus berinteraksi dengan orang yang belum sama sekali dikenal, dengan karakter yang beraneka ragam. Apalagi tatacara tatakrama dalam berbahasa dan bergestur tubuh, Abu perlu belajar banyak. Bagaimana cara takdzim kepada senior, kepada ibu Nyai, kepada Kiyai. Semuanya belum terinstal dalam mindset Abu selama ini.Ketidaksiapan Abu untuk hidup dengan suasana baru, telah menelan korban seorang santri. Ceritanya, seorang santri sudah siap-siap menghadap Kiyai untuk meminta izin pulang ke rumah ziarah ke orang tua dan melepas rindu dengan keluarga. Artinya santri ini Sudah siap mental untuk menghadap Kiyai. Maklum, perihal izin, menjadi sesuatu yang sangat sungkan di lakukan santri. Si santri ini sudah mengemas barang-barang sudah siap pulang. Begitu hendak turun dari tangga Asrama, santri itu berpapasan bertemu dengan Abu dan Akang Munir. Akang Munir putra kiyai yang juga pengajar di pesantren tersebut, memerintahkan Si santri menemani Abu hari ini. Santri tersebut mengiyakan dengan penuh rasa takzim.
Sang Kiyai cukup bijak, mensatukamarkan Abu dengan santri yang sama-sama sekolah di SMA. artinya Abu bisa ditemani berangkat sekolah, bertanya pelajaran dan lain hal. Abu bisa ngobrol lebih nyambung ketimbang dengan santri yang fokus pesantren saja. Nama santri tersebut Didi. Ada lagi santri yang sekolah SMA bernama Anwar, tapi Anwar berada di Asrama bawah. Mungkin kiyai menilai karakter Didi lebih cocok dengan Abu.
Demi patuh terhadap perintah guru, santri yang bernama Didi ini, akhirnya tidak jadi pulang ke rumah, diperintahkan Kiyai untuk menemani Abu, agar betah tinggal di pesantren. Didi mengajak berkeliling pesantren, mencari tempat-tempat strategis yang biasa dia gunakan, memasuki kebun Kiyai, dan ngobrol dengan Abu seharian. Sementara itu, santri-santri yang lain, tengah sibuk bekerja dengan tugas masing-masing. Ada toleransi dari teman-teman santri senior, agar santri baru tidak wajib bekerja, dipersilahkan istirahat terlebih dahulu. Agar tidak kaget hidup di pesantren.
Entah apa yang ada di hati Didi, Abu tidak berani menebak. Tapi dia nyaman berbicara dengannya. Didi bercerita banyak tentang kisah perjalanannya masuk pesantren, suka duka di pesantren, tentang sekolah, dan banyak hal lain, inti obrolan panjang ngolor-ngidul ala Didi ini, bertujuan meminta Abu harus betah di pesantren.
Betapa lugunya Abu, dia masih terngiang-ngiang perkataan Abahnya pada Kiyai,
"Kalau Abu sehari dua hari ingin pulang, tolong izinkan saja Kiyai, mungkin dia perlu penyesuaian dengan lingkungan baru". Begitu kata Abah.Barangkali Abahnya sudah punya firasat, bahwa Abu tidak akan betah dengan kehidupan gaya pesantren tradisional. Karena Abah begitu dekat dengan Kiyai, beliau mengangguk saja, tanpa berpikir bahwa Abu akan nekat melarikan diri.
Keesokan harinya, setelah seharian mengamati kehidupan pesantren. Abu butuh waktu untuk menata niat. Apakah benar ini jalan yang akan dia pilih, atau dia akan mengurungkan diri. Kembali menjalani hidup seperti biasa. Abu butuh waktu untuk memilih. Padahal sebenarnya dia sudah memilih, tapi dia ragu dengan pilihannya itu. Abu benar-benar nekat pulang tanpa pamit kepada Akang Munir atau Kiyai. Kebanyakan hidup di rumah, Abu tidak terlalu paham etika dan tatakrama yang baik. Dia jadikan legitimasi perkataan Abahnya tempo hari, sebagai kata mufakat yang diketahui semua orang.
Bukan cuma itu, Abu sudah mempersiapkan Jawaban kepada Abah dan Ambu, Alasan konyol yang tak masuk akal. Rupanya setan membisikan dengan licik,
"kalau Ambu dan Abahmu bertanya, kenapa pulang? Jawab saja, ingin buka puasa bulan Rajab hari pertama bersama Abah dan Ambu". Memang hari tersebut adalah tanggal satu di bulan Rajab. Orang-orang kampung mujur menyambutnya dengan berpuasa.
Abu perlu menata niatnya kembali. Abu perlu berpikir ulang. Semua ini di luar perkiraan. Dia mendadak tidak yakin bahwa kehidupan model pesantren, cocok dengan gaya hidupnya selama ini.Seperti orang pedalaman yang datang ke kota pertama kali. Ketika orang itu melihat segala pernak-pernik suasana kota, dia terkaget-kaget keheranan. Dalam kaguman ada ketakutan. Tengoklah, betapa kemiskinan telah membuatnya begitu lugu memandang kehidupan. Sampai dia lupa, bahwa di dunia ini, banyak hal yang harus di jelajahi dan di nikmati.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Madrasah Cinta
SpiritualTemukan pemaknaan mendalam tentang arti keluarga dalam karya ini. Kamu bisa belajar menjadi anak yang baik, kakak yang baik, adik yang baik, suami yang baik, istri yang baik, ayah yang baik, atau ibu yang baik. Sebagian dari takdir kehidupan itu ak...