Di ujung Ikhtiar

8 2 0
                                    

Ujian akhir kenaikan jenjang sudah hampir di mulai, Abu berpacu dengan waktu, menghafal dikejar-kejar target seperti ini sungguh tidak nyaman. dia harus memilih antara kualitas atau kuantitas. Tapi akhirnya kualitas tidak terlalu di pikirkan untuk orang seperti abu, yang memiliki keterbatasan dalam menghafal. Dia akhirnya terjebak pada menambah hafalan dan terus menambah hafalan. Kadang mengabaikan kelancaran dari hafalan-hafalan yang sudah di hafalkannya.

Mungkin bagi kawan-kawannya, target satu tahun sepuluh juz itu bukan kendala yang berarti, bukitnya mereka di pertengahan semester dua saja sudah jauh melampaui target. Bahkan beberapa diantara mereka hampir selesai hafalan hanya dalam waktu satu tahun.

Sementara itu, Abu mengerahkan seluruh tenaga, emosi dan harapannya agar tetap bisa melanjutkan pendidikan di pesantren ini. Saat seluruh santri beristirahat dari aktifitasnya, abu masih berkutat dengan mushafnya. Tidak jarang Abu menghafal dengan kondisi terkantuk-kantuk. Tempat paforit yang sering Abu gunakan untuk menghafal adalah mihrab bekas masjid tersebut. Tepat di kolong mimbar, abu terus mengulang-ulang hafalannya. Sambil terus membayangkan pesan dari ustadz Nadi bahwa Allah mentakdirkan dirinya kesulitan dalam menghafal adalah bagian dari cinta Allah kepada dirinya.
Rasanya payah sekali yang abu alami, padahal target yang sudah dia rancang sendiri begitu sederhana, menambah hafalan satu hari dua halaman saja, satu halaman di pagi hari dan satu lagi di sore hari.
Hitungan itulah yang paling cocok dan realistis untuk bisa mengejar hafalan satu tahun 10 juz. Sudah di potong ujian kenaikan juz dan pekan murojaah.

Terkadang abu dikecewakan oleh dirinya sendiri yang tidak mampu komitmen dengan apa yang sudah dirancangnya. Dia sudah merincinya dengan detail. Aktifitas harian dan target hafalan dia perinci sampai jam perjam kegiatannya.

Semakin ia melanggar komitmen, semakin ia sakit hati, karena di kecewakan oleh dirinya sendiri. Akhirnya abu harus  merubah strategi, waktu terus berjalan, metode menghafal sudah beberapa jenis di coba. Efeknya belum juga terasa.

Tibalah masanya sekitar dua bulan lagi untuk ujian akhir tahun, dimana semua hafalan harus di storkan dengan maksimal. Selain itu target sepuluh juz akan benar-benar di evaluasi langsung oleh dr. Dawud.

Abu semakin cemas, hafalannya yang tertatih-tatih itu baru sampai ke juz 3, artinya abu sudah menghafal 8 juz, lima juz dari belakang dari juz 26 sampai 30, dan tiga juz dari depan, juz 1 sampai 3.

Tidak masuk hitungan Abu, jika dua bulan ini harus menyelesaikan target sepuluh juz. Perlu ada strategi lain agar dia bisa mencapai target minimal itu. Apa lagi hitungan dua bulan itu belum di potong jadwal pekan murojaah, dan pekan persiapan ujian.

Seperti biasa, cara pamungkas yang bisa di tempuh Abu adalah kekuatan doa. Dia sangat percaya, bahwa doa kedua orang tuanya lah yang mengantarkan dia terhadap takdir ini, doa merekalah yang membuat dia bisa bertahan sampai saat ini. Doa itu pula yang akan membawa Abu melewati ujian akhir tahun dengan hasil yang di cita-citakan, minimal bisa melanjutkan belajar di tibul Qulub.

Dalam kondisi waktu yang sudah tidak memadai lagi, abu justru memberanikan diri untuk meminta izin pulang, dengan harapan, bisa mengalap berkah doa secara langsung dari Abah dan Ambu. Padahal abu bisa saja menggunakan hp inventaris pondok untuk menghubungi mereka. Tekad ini adalah jalan pintas terakhir di ambang logika. Jikapun dengan cara ini abu tidak berhasil melanjutkan studi di Tibul Qulub, setidaknya Abu bisa memberi pesan, bahwa mungkin abu harus mencari alternatif pendidikan lain, boleh jadi menghafal Alquran, atau kuliah, atau bahkan pilihan terakhir bekerja di kota.

Jika mengandalkan uang kiriman dari Abah, mungkin abu tidak akan pernah bisa pulang kampung. Untungnya abu pandai mengelola keuangan. Uang yang dia dapatkan dari keluarga ketika di rumah abu hemat,  seirit mungkin. Selain itu dia bisa mendapatkan pemasukan dari jatah uang makan yang diberikan dari pusat. Karena di tempat sekarang abu dan kawan-kawan makan dengan cara memasak sendiri, dengan itu jatah uang yang di kirimkan dari pusat bisa mereka hemat, jika jatah perorang setiap hari Rp. 27000-, mereka bisa menghemat menjadi Rp.20.000,- artinya 7000 dikali 30 hari menjadi Rp.210.000 dalam 1 bulan, santri bisa menyisihkan uang untuk keperluan lainnya.

Dengan menyisihkan uang itulah abu bisa menunaikan ikhtiar terakhirnya sebelum waktu ujian tiba.

Abu berangkat dengan restu pengurus pondok berangkat menziarahi Abah dan ambu, untuk ngalap barokah dan mendapatkan doa dari mereka berdua.

Seperti biasa, setiap perjalanan selalu abu sisipkan doa-doa, karena doa sang musafir Maqbul di sisi Allah.

Abu menyibukan diri dengan Dzikir dan murojaah, dia sudah membiasakan diri untuk perjalanan jarak jauh, mungkin ini kali pertama Abu berangkat tanpa di dampingi siapapun.

Dalam memorinya abu berusaha mengumpulkan kepingan-kepingan kisah bersama Abah dan Ambu, agar dia tambah yakin bahwa keputusannya dalam ikhtiar terakhir ini benar-benar tidak sia-sia.

Abu ingat, tentang bagaimana dulu dia memiliki penyakit yang sangat berat. Entah apa nama penyakitnya. Abu kecil yang sedang di sayang-sayangnya, sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Tiba-tiba terserang penyakit panas yang dahsyat. Pada masa itu, banyak seusia Abu yang kena penyakit ini. Bahkan diantara mereka ada yang memiliki keterbelakangan setelah selesai melewati penyakit ini.

Konon Abu kecil, terlihat kecerdasannya, karena sering di bawa oleh Abah ikut tahlilan, hanya dengan  mendengar, Abah dan Ambu bersaksi bahwa Abu hafal surat Yasin sejak kecil. Namun setelah penyakit itu menimpa, bukan cuma kehilangan hafalannya, bahkan Abu nyaris kehilangan nyawanya. Tapi ternyata takdir lain sedang menanti Abu, kini dia telah tumbuh menjadi pemuda. Barangkali Abah dan Ambu tidak menyangka bahwa Abu sampai di usianya saat ini.

Kabarnya, selamatnya Abu dari penyakit tersebut, tidak lain karena Doa dari Abah dan Ambu yang selalu di panjatkan tiada henti. Sudah sekian tabib dan dokter di hadirkan, penyakit abu tidak kunjung membaik. Ketika Abah dan Ambu mencoba merelakan Abu, dan pasrah dengan takdir terburuk sekalipun. Justru keajaaiban datang saat itu juga.

Kisah ini menguatkan Abu bahwa doa orang tua sangat mujarab sekali.

***

Madrasah Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang